Pangledjar

Donny Setiawan
Chapter #3

Bab 3

BAB TIGA

BERADA JAUH di depan, sang kusir, yang tak lain merupakan sosok pribumi, selalu terlihat bersusah payah dalam menaklukkan medan jalan yang berlumpur tanah serta berbatu ini. Angin siang hari yang dingin ini mendesakan tubuh kecilnya, dan juga berkulit sawo matang. Juga nampaknya ia tidak paham bahasa Tuan Mr. F.

"Bapak itu sendiri penduduk asli sini?" awalnya nampak pria Indo di sampingnya itu tak menaruhkan minat pada pertanyaannya. Namun, Tun Mr. F balik bertanya berusaha mendapat jawabannya, kali ini dengan nada serius.

"Betul, tuan. Dulunya memang tinggal dekat sini," dari situ ia beri jeda. Barang dua menit. Baru ia mulai berbicara lagi.

"Sekarang bagaimana, Tuan?" Sudut Tuan Mr. F memotong. Pria indo itu mencoba mencari soal perkara lain. Juga Tuan Mr. F tak mau tanggapi. Ia kembali termakan sepaan mulutnya sendiri. Selesai membuang nafas, ia mengulanginya lagi.

"Sebelum sebuah perusahaan berdiri di sekitar tanah-tanah penduduk tentunya, Tuan." balasnya pada akhirnya. "Mereka semua tidak punya pekerjaan tetap, awalnya," Tuan Mr. F tertarik.

"Jadi, jauh sebelum perusahaan itu ada, banyak tanah-tanah penduduk yang dipakai?"

"Disewa lebih tepatnya Tuan. Demi penghidupan warga sekitar juga, Tuan." kata Hasel. "Sebelumnya mereka hanya mengurusi tanah-tanah tanpa tahu berbuat apa untuk anak-istrinya," sementara pria Indo menerangkan, Tuan Mr. F tenggelam dalam raga sosok di depannya. Seorang pria setengah baya, kurus, bekerja sebagai kusir, dan lebih sering menggunakan pakaian tipis seperti dadanya. Sementara Pria itu meneruskan.

"Para penduduk kemudian dibawa untuk bekerja kepada perusahaan, mereka mendapat penghasilan tetap dengan layak," kata Hasel. "Mereka tinggal di hunian yang lebih nyaman. Barang tentu kalau tuan mau tahu, mereka menggunakan listrik di rumah-rumah mereka. Mendapatkan kebutuhan tiap bulan, yang tercukupi tentunya, Tuan. Bakal terheranlah orang-orang terhadap kemajuan yang sangat pesat terhadap bumi hindia ini sekarang. Lihat ke sekeliling, tuan." ia menunjuk pada pemukiman-pemukiman para pekerja yang tepat berada di kaki-kaki bukit perkebunan teh.

"Seluruh kehidupan warga semuanya terjamin oleh perusahaan, dengan catatan," ia masih terus meneruskan. "Selama mereka masih mau bekerja."

Ketika mereka masih sibuk berbincang, sudah sampailah pula Tuan Mr. F pada pelataran pabrik perkebunan Pangledjar. Di sekeliling pabrik itu, tak jauh, terdapat bangunan rumah-rumah sederhana yang terlihat seirama, tak jauh pula dari jalan utama. Tuan Mr. F tak begitu memperhatikan orang-orang yang dengan cepat telah mengelilinginya. Banyak pula di antara mereka yang masih anak-anak kecil, dan juga sebagian besar orang dewasanya adalah kaum perempuan. Antara mereka ada yang tengah sibuk menyusui anaknya, sekaligus mengempit gendongan sambil menatap kereta kuda berjalan terkukuh-kukuh menaiki bukit menuju halaman depan pabrik. Tuan Mr. F merasa kelihatan tampak kaku. Punggungnya terasa ditusuk-tusuk oleh tatapan orang-orang yang sekarang berada di sekitarnya. Mereka para pekerja kebun yang nantinya ia kepalai, juga terdapat pemikiran bahwa mereka kurang suka terhadap topinya. Maka ia melepaskan topinya. Begitu pikiran yang merajatnya, beginilah keluwesan yang dimiliki Tuan Mr. F. Ia dengan kemudahannya tidak akan sungkan untuk mengakui kekurangannya. Barang dengan mengakuinya, mungki membuat para pekerjanya bakal menghormatinya.

Ia mengambil buku-bukunya, sekedar mengecek dan memeriksa jadwal yang ditulis pada kertas itu. Bagi orang yang memperhatikan perangai Tuan Mr. F pasti mengerti, bahwa ia adalah seorang yang hidup cukup tertata. Segalanya harus diatur. Pria di sampingnya sadar akan perangai Tuan Mr. F. Semuanya bisa dijelaskan bahwa pria Belanda tulen itu lebih banyak menghabiskan waktunya menulis dan memperhitungkan.

"Rupanya Tuan lebih suka tulis-menulis daripada mengurusi orang-orang, ya?" pojok pria indo yang masih berada di sebelahnya. Tuan Mr. F baru saja menamatkan tulisan singkat barunya. Sebab ia tak tahu kapan dan di mana lagi ide-idenya itu akan muncul, kecuali memang untuk tulis di atas kertas-kertas itu sekarang. Itu lebih baik menurut Tuan Mr. F daripada hilang kewarasannya di tengah perjalanan atau terselip di antara persoalan pribadi. Mau tak mau sedari kereta api yang membawanya dari Batavia ke Radjamandala tadi, tak pernah ia lupa, barang menulis apapun yang muncul dalam terbesit pikirannya daripada menyimpannya begitu saja dalam kepala. Ketika pria indo itu mengoceh perihal perkebunan, ia pun sebetulnya sudah mengalihkan pikirannya untuk tidak memedulikan tulisan-tulisan baru di kertasnya. Bahkan keinginan untuk membaca buku ia pinggirkan. Ia gapai pijakan pertamanya pada bumi Pangledjar itu, sebagai seorang Employee baru.

"Selamat datang di Radjamandala, Tuan Frisch," lalu muncul beberapa pria bertubuh tegap, berdarah Belanda tulen, dengan pakaian yang cukup rapat namun sekenanya. Kebanyakan mereka menggunakan kacamata, yang menambah nilai penampilan padanya. Adapun pria yang paling menonjol dari yang lain itu, tak lain, adalah seorang manajer manufaktur pabrik perkebunan, Tuan van Bouten.

"Bagaimana perjalanan tuan belakangan ini?" ia menjabat tangan Tuan Mr. F tanpa ragu. "Sudah berkelit hari rupanya tuan ini." kemudian ia tetap melanjutkan. "Suka rupanya tuan pada negeri ini?" tak lama keluar dakwaan lain. "Kerap mengunjungi teman, barangkali, Tuan? Wah, hebat, Tuan. Baru pertama kali ke Hindia Belanda sudah memiliki teman," pada hari berikutnya, pria satu ini kurang dihormati Tuan Mr. F, walau pria itu lebih rendah dari jabatannya. Mungkin karena perkenalan awalnya yang tak mengenakan hati. Tak tahu. Namun, begitu pun, ia dan rekan-rekannya, sesama Belanda tulen, tetap harus dapat bekerja sama dan selalu mendukung perkembangan perusahaan swasta ini dan mengesampingkan urusan pribadi.

Ia dan sinder baru itu digiring menuju pelataran rumah dinas yang bakal dimiliki Tuan Mr. F.; dengan upacara seadanya, mereka mengesahkan jabatan baru pada seorang tuan muda berdarah tulen lulusan sekolah tinggi itu. Kelihatan bagi mereka, mandor-mandor berdarah indo, Tuan Mr. F adalah sosok yang mudah dipengaruhi, namun tak begitu adanya bagi Tuan Mr. F.; walaupun ia kurang berpengalaman, tuan Mr. F tetaplah berlagak sebagai kepala mereka, dan untungnya, orang-orang eropa sangat menjunjung nilai kerja sama. Upacara penyambutannya hanya berlangsung tak lebih-kurang tiga puluh menitan. Hanya sebuah perjamuan minum-minum kopi. Begitu Tuan Mr. F bersenang dan bersuka-ria di rumah dinas barunya, di luar rumah itu para pekerja, kebanyakan para pekerja petik dan pekerja pabrik, satu per satu mulai mengadu keluhan-keluhan kepada tuan Administratur baru.

Masalah-masalah tentang para pekerja. Belakangan masalah tentang upah yang mengakibatkan pemogokan, hingga permasalahan urusan kehidupan rumah tangga. Semuanya datang sekaligus, tanpa ucap dan salam selamat datang, mereka embankan padanya. Begitulah Tuan Mr. F kala itu dan jiwa bebasnya kian hari, kian meredup. Tak ada satu hari tanpa persoalan baru, seolah seperti tak ada habis-habisnya mengurusi orang, bagi Tuan Mr. F. Para kepala rumah tangga pekerja kerap berkunjung ke rumah dinasnya setelah hari berikutnya, yang saat itu Tuan Mr. F masih menerima dan memperlakukan mereka seperti tamu. Merupakan hal yang wajar bagi Tuan Mr. F, namun semakin ke sini semakin ia paham. Bahwa para pekerja tidak merasa terhina bila diperlakukan sebagai layaknya pekerja, kata lain: bawahannya. Sebagaimana tanggungjawabnya sebagai orang yang harus mengepalai perkebunan. Tuan Mr. F lebih banyak menghabiskan waktu bekerja di balik meja kerja, mengurusi lembaran laporan mingguan yang rutin bolak-balik ke Purwakarta, daripada turun langsung ke perkebunan. Mulai pertengahan bulan, ia berjalan-berjalan mengunjungi perkebunan dengan kedua kakinya.

Hasel, Sinder baru sekaligus teman dekat satu-satunya, saat itu beranjak dari tempat tinggal nyamannya. Rumah dinasnya agak menjauh dari pelataran rumah dinas Tuan Mr. F. Saat itu kerumunan pekerja mengikuti sinder baru itu sampai pelataran rumah Tuan Mr. F. Tepat di bawah atap pelataran rumah dinas Tuan Mr. F., ia menghampiri Tuan Mr. F, minta membantunya menyelesaikan persoalan.

Hamparan daun-daun teh kehijauan gelap menghamparkan pemandangannya, ketika Tuan Mr. F menghadap sinder baru itu di depan pintu rumahnya. "Apakah tuan-tuan ada yang berkenan menyampaikan keluhan masing-masing?" Tuan Mr. F berdiri tepat berada di tengah-tengah antara para pekerja. Ada seorang Ploegbass berbaju putih-putih mencolok di paling depan, sementara perempuan-perempuan yang bekerja sebagai pemetik teh mengikuti di belakang agak menjauh. Perempuan yang belum jadi istri tidak boleh berada dekat-dekat lelaki yang bukan suaminya, apalagi bersentuhan. Kadang Tuan Mr. F bekerja sampai letih karena berusaha terus agar suaranya terdengar sampai belakang.

"Sudah tuan dengar kabar soal pencurian di antara para pekerja, tuan?" tanya Ploegbass itu. Seorang Ploegbass biasanya bertanggungjawab dengan tugas yang diberikan mandor besar kepada mereka untuk mengawasi pekerja, baik di pekerbunan maupun di pabrik. Tuan Mr. F sejak pagi tadi masih sibuk mengurusi kertas-kertas di meja kerjanya. Mana tahu ia persoalan yang terjadi di kalangan pekerja. Kemudian, ia menunjuk sindernya untuk menjelaskan.

"Ada dua pekerja pabrik melapor, bahwa ia kerap kehilangan dua-tiga kupon gajinya," Hasel mengencangkan ikat pinggang di pinggulnya untuk menunjukan bahwa ia serius. "Orang pertama mengatakan bahwa kejadian itu tak sekali-dua kali, namun sudah berkali-kali setiap bulannya belakang ini," Tuan Mr. F menyediakan tempat duduk kepada Hasel, namun ia tetap berdiri sambil bersusah payah menjelaskan suapaya suaranya terdengar sampai belakang. "Kemudian orang kedua melapor, baru saja kehilangan satu kupon gajinya."

Lihat selengkapnya