Pangledjar

Donny Setiawan
Chapter #4

Bab 4

BAB EMPAT

TAK BISAKAH surat itu tersampaikan? Barang telah lewat lima hari, masih belum juga ada balasan. Surat yang dikirimkannya kepada istrinya. Tuan Mr. F bukannya pasrah saja bila surat pemberiannya belum juga terbalas. Ia gundah. Sekali gundah terhadap keluarganya, sekaligus gundah terhadap perkara pekerjanya. Gundah atas kesulitan yang ditutup-tutupi oleh para pengelola, yang dirasanya menyembunyikan sesuatu. Sekali lagi ia berpikir sesat. Bukan tidak punya dasar, sampai-sampai ia bisa berpikir seperti itu.

Sebab apa-apa yang terjadi belakangan, seperti ada yang main-main. Ia seperti dipermainkan. Seperti, Multatuli di Lebak. Sekarang, ia teringat lagi, belum lagi urusan istrinya yang belum juga membalas surat. Kemana cintanya? mengapa ia kini sangat membutuhkan cinta? Cinta yang belakangan ia bentuk dan ia jaga. Kalau dipikir-pikir, tidaklah mungkin sirna dalam satu malam. Sebuah ikatan janji telah mengukuhkan hatinya. Belum juga habis masa untuk mengenang peran cinta, pikirnya kembali pada persoalan pekerjaan.

Satu bulan terlewat, dan ia sudah seperti Tuan Administratur yang resmi, menggantikan tuan besar sebelumnya, sang mentornya. Ia terpikir kejadian belakangan, ketika ia berkunjung pada rumah tuan besar. Para pekerja membludak semasa pria tua itu masih turun tangan. Barang satu rumah pekerja tak sanggup menampung satu atau dua kepala orang lagi katanya. Sudah cukup dalam satu hari Tuan Mr. F terus-menerus mencari pendektan kepada para pengelola. Bukannya malah mempercayai mereka sebagai rekan sesama kerja, malah pikiran lain yang bersinggah.

Bukankah dalam suatu pekerjaan yang dibutuhkan adalah kepercayaan? Tiga ratus gulden habis dalam sebulan, untuk menebus kekurangan kupon kebutuhan hidup para pekerja. Tak terkecuali upah pembantunya di rumah yang ia bayar dua puluh sen perhari. Pembantunya kerap meminta pertolongan belakangan hari, barang untuk pinjaman katanya. Perempuan itu berjanji ketika upahnya yang dulu dibayarkan, kupon itu seluruhnya akan digunakan untuk bayar hutang keluarganya kepada pemilik warung-warung yang berkisar sepuluh sampai lima belas gulden. Tuan Mr. F tidak memikirkan bagaimana perempuan itu mengganti kebaikannya nanti. yang terpenting, ia bisa membantu.

Membantu masalah pribadi pekerja bukan perkara yang menjadi kewajibannya seorang Administratur perkebunan. Ia tahu bahwa sebelumnya tak ada yang berbuat begitu. Namun berkat kebaikan hati tuan Adminstratur baru ini sekarang, banyak pekerja lain yang terdorong melakukan hal yang sama. Maka akan lebih banyak lagi dua gulden tambahan yang ia berikan pada masing-masing dari mereka. Semua itu ia lakukan dengan gaji pertamanya. Belum terhitung biaya untuk keperluan kebutuhan selama ia selama di Hindia. Juga belum dipikirkan biaya hidup menyangkut kehidupan istri dan anaknya.

Selepas menghabiskan hampir seribu gulden, yang sebagian ia pakai dari uang tabungannya, pada akhir tahun ia menerima surat dari Batavia. Surat itu ditulis tepat sebulan ia sudah bekerja di perkebunan ini. Akibatnya, ia harus mengeluarkan uang tabungannya lagi untuk menebus biaya istrinya dari kantor pengasingan di Batavia. Sementara, di satu sisi, uang tabungannya semakin menipis akibat membantu para pekerja agar dapat upah yang semestinya. Dalam pikirannya, apakah ia akan menelantarkan istri dan anaknya? Pasalnya surat itu baru ia terima lewat dua bulan. Surat itu dibawa oleh seorang petugas pos setelah beberapa hari para pekerja menagih upah tambahan. Tak banyak yang ia lakukan, hanya meminta para pengelola kebun lain untuk membantunya.

Melalui berbagai pendekatan, akhirnya ada di antara mereka sepakat untuk membantu dan segera menutupi biaya ongkos sang istri dari Batavia ke Radjamandala. Hasel sangat terbuka ketika permintaan bantuan itu dinyatakan. Sementara, di antara pengelola yang kurang sepakat ada Tuan Plikeer. Pria itu beralasan masih memiliki kebutuhan lain yang mendesak. Tuan Mr. F tak pernah memaksa rekan kerjanya. Dengan sisa upahnya, ia juga harus membayar hutangnya pada para mandor besar, asisten manufaktur pabrik, juga beberapa sinder perkebunan dalam tiga puluh hari mendatang. Bukan rasa malu yang membuat ia harus menutupi wajahnya, melainkan rasa pengabdiannya sebagai manusia yang lebih besar. Bukan balasan duniawi yang ia harapkan. Ia teringat pesan Kyai di Poerwakarta itu.

Setelah setengah hari habis untuk berurusan dengan laporan-laporan perkebunan, malamnya ia juga habiskan untuk menulis. Menulis tentang harapan-harapan terhadap atas karunia Sang Maha Pencipta. Dalam tiap permasalahan, tertanam kebaikan yang akan dipetik setelahnya. Pengharapan di dunia tidak lain adalah sebatas rumput yang tak berbuah. Saat pembantunya meminta undur diri dari rumah dinasnya, saat itu pukul empat, benar-benar pukul empat, Tuan Mr. F meminta perempuan itu untuk menetap sebentar. Perempuan itu tahu, bahwa tidak biasanya tuan Administratur begini. Namun tetaplah ia menuruti tuannya. Baginya sekarang adalah kewajibannya untuk mematuhi pria itu.

Lihat selengkapnya