BAB LIMA
Pangledjar, 21 Februari 193x
AKU YANG MENGURUSI perusahaan, aku pula yang mengurusi keluarga. Kata siapa mengurusi keluarga lebih mudah. Aku kehendaki keduanya. Sentimentil seorang suami pada istrinya, yang secara mentah-mentah mengumbar aib dirinya. Berselingkuh di baliknya. Berhubungan gelap dengan seorang pribumi. Pembantu rumahnya sendiri. Aku sendiri pula yang bertanggungjawab, apa-apa bila anak itu kembali dan meminta pertanggungjawaban padaku.
Aku pula yang menanggung kemarahan pada istriku kelak. Aku pula yang nantinya bakal terus menjaga kehormatan nama keluargaku di Belanda sana. Juga nama baik di hindia. Juga nama baik atas nama seorang pemimpin perkebunan dan seorang suami. Tak ada pembelaan. Aku kembali sebab aku ingin meminta pertolongan pada pihak ketiga. Perihal perkebunan, yang makin ke sini makin tak tentu arahnya. Para pekerja berbuat sesuka mereka.
Muncul pekerja yang entah darimana, membuat sedikitnya porak-poranda seisi perkebunan. Mengotak-atik apa-apa yang ada di dalamnya. Juga para pengurus lebih mementingkan diri mereka sendiri ketimbang perintah tuan administraturnya sendiri. Aku memang masih anak muda yang baru kemarin lulus. Begitu pun aku seterusnya. Seharusnya tak ada kewajibanku untuk memutuskan untuk tetap menjadi tuan Administratur di awal masa lulusku.
Semua sudah terjadi, dan terlambat bagi insan yang menyesali. Aku masih muda juga belum tahu apa-apa tentang dunia luar. Juga perkara yang menyelimuti kehidupanku. Kau hanya manusia yang menikmati apa-apa yang menimpa diri. Juga bukan manusia yang selalu dianggap benar. Kadang aku bertindak demikian. Berbuat sesuka hati, yang dirasa nilai benar terhadap diri ini selalu aku benarkan.
Sama seperti tindakan awal ketika aku memutuskan untuk segera melancongan ke Radjamandala, bahkan ke Hindia sekalipun. Apa hubungannya aku dengan Hindia? Punya sanak-keluarga saja pun tak punya. Rela menodai kesucian sosok eropa ke dunia yang belum terjamah ini. Aku bukanlah aku sepenuhnya, sebelum aku dicelupkan api pada hutan belantara yang membara di dada ini. Aku senang kembali, bisa dapat bertemu pada orang tua yang setiap saat, anak muda meminta saran darinya.
Wajahnya kurasai sejak awal pertemuan, selalu mendukung diri untuk bersikap bijak. Pria yang telah hidup hampir setengah abad. Setengah abad pula ia habiskan untuk menyesali hidupnya. Aku diajari tentang semua kepenatan, kemudian aku taruh semua kebimbangan pada saku celana, lalu aku pindahkan pada pertemuan yang kali ini memang menyentuh hati. Sudah berapa lama pria ini makin tampak agung. Ditanyanya aku dengan terheran. "Kau kah, Frisch?" seolah tak mengenal aku.
Aku turunkan topiku, lalu aku cium punggung tangan dari perempuan selembut sutra itu. Bibirku tak mengenai langsung kulit tangannya. Namun tetap halus bagai tak memakai penutup kain. Dan, tampaklah seorang perempuan yang semakin terperangkap pada balutan suaminya. Tanpa melakukan apa-apa, ia tampak tetap agung. Ia lebih diam dari sebelumnya. "Sebentar lagi," katanya. Perempuan itu tak sanggup menahan tangis lagi. Ia menunduk dan menghilang dari pandangan.
"Sebentar lagi apanya?" aku berusaha untuk mengerti. Walau aku mengerti, bahwa usianya yang kini makin menuju pada ujung akhir abadnya. Tubuhnya juga tak sanggup menanggung dosa-dosa lagi. Aku sirami ia dengan kepengetahuanku tentang kereligiusanku. Sewaktu-waktu lalu, sudah lama aku tak gunakan itu. Mati di hadapan urusan duniawi. Bila sudah bertemu dengan orang yang sudah tertimpa begini, tinggal menunggu waktunya. Akan lebih mudah baginya untuk mengeluarkan apa saja yang ada di benaknya. Tentang semua ketakutan, naluriah manusia sebenarnya. Tak bisa tertahan lagi. Memang sepatutnya begitu. Saat-saat menunggu ajal, memang manusia punya caranya tersendiri. Ada yang tampak lebih agung di waktu mendekati ajalnya, ada yang rapuh di waktu mendekati ajalnya. Dan tuan ini tampak ketidaksanggupannya dalam menahan apa-apa yang ada di dalam dirinya. Semua yang sebetulnya sudah ada, namun selalu ia pendam. Karena lebih mengenal duniawi, ia lupakan urusan batin. Begitu pula aku, Frischboten.
Di akhir pertemuanku di rumahnya, ia tak lupa-lupanya untuk mengerti dan mengenal dirinya sendiri lagi. Setelah sebelumnya, ia sempat kehilangan ingatan terhadap dirinya. Setengah tersapu akibat duniawi, akibat urusan perkebunan. "Penambahan pekerja tak bisa terelakan. Dan pemasukan berbanding terbalik dari pengeluaran. Perusahaan diambang kehancuran."
Setelah meninggalkan Poerwakarta. Aku buru-buru ke Radjamandala. Perusahaan yang diurus harus cepat-cepat diselamatkan. Membutuhkan pekerja lebih. Uang di kas pun tak sanggup membayar upah pekerja. Bagaimana nasibku, dan pula perusahaan? Bila tak ada orang tua-orang tua yang diberi upah, bagaimana nasib anak-anak mereka nantinya? Aku sempat meminta bantuan pada seorang mandor besar untuk mencari kandidat pekerja baru, yang rela bekerja separuh waktu, tidak terikat kontrak, dan rela dengan biayar upah yang lebih kecil.