BAB ENAM
SERING PARA PRIA putus di tengah jalan, atau hanya menebar ketidakpastian pada perempuan-perempuan. Itulah penting punya sikap 'jantan'. Mungkin saja pria dapat sepenuhnya mengendalikan perempuan, namun sebagaimana dalam firman Tuhan di mata-Nya, baik pria maupun perempuan, sama-sama makhluk yang sederajat. Hari-berhari, dan Tuan Mr. F merasa ketidakpandaiannya dalam menilai kebahagian dalam hidupnya. Tak tahu bagaimana pertimbangan dari kebahagiaannya itu. Atau yang pasti ia takut bahagia. Perdebatan memiliki kehidupan yang sempurna kerap kali jadi perselisihan di antara manusia.
Aneh memang manusia ini. Mereka menilai atau beranggap bahwa kaum pria adalah satu-satunya manusia yang dapat berkompromi di muka bumi. Perempuan sebaliknya, mereka hanya jadi objek dari para pria. Tak heran banyak perempuan-perempuan yang mengandung di luar perkawinan. Bahwa manusia memandang hubungan intim adalah sebatas rekreasi belakang, bukan sesuatu hal yang sakral, yang memang betul-betul dikehendaki dalam hukum dan agama.
Apakah bijak mendahulukan rasa takut atas segalanya? Kenapa rasa takut selalu jadi penghalang manusia dari segala urusannya dalam menjalani kehidupan mereka? Seolah takut adalah musuh paling besar dari peradaban manusia. Setiap insan manusia selalu berada di dekatnya. Tak jarang banyak manusia yang mendakwai bahwa dirinya kikuk, pecundang, atau bodoh, jika melewati masa ini. Sekalipun penyakit itu menyerang, selama itu pula ia terjangkit. Nyatanya sama saja. Tak ada yang buruk, ataupun baik. Semuanya bersifat perspektif, tergantung dari mana mau menilainya. Mau mendakwai bahwa seorang pria yang dengan segala keasyikan pekerjaannya adalah manusia keji atau lebih lagi. Atau ia hanya seorang berdarah tulen yang hanya mendahulukan prinsip moralnya saja.
Ia masih membisu kala itu. Hari menjelang malam, dan makanan di meja makan belum kunjung disiapkan. Apakah ini masanya ia dan istrinya mengalami masa kekeringannya dalam hubungan? Atau apakah ini jalan permulaannya dalam mengambil langkah untuk terus mengolah perasaannya menjadi seimbang, di mana sering kerap termakan isu-isu politik yang kian hari makin merambat pada lahan perkebunan-perkebunan di Hindia. Betapa memprihatinkannya surat-surat yang didatangkan itu. Dari situ juga Tuan Mr. F kirimi surat untuk para tuan sinder agar segera mengadakan pertemuan dengan para pengolah. Dalam setiap tahunnya hanya beberapa kali mereka bertemu begini, sekedar mengatasi masalah. Juga kian hari, ia makin sadar akan peringatan dari tuan Administratur besar ketika masih di Poerwakarta.
"Persarikatan pekerja dan turunnya jumlah tenaga pekerja pasti selalu terjadi," mungkin itu yang kerap menghantui setiap malam. Pekerja-pekerja yang masih setia mulai resah dengan kebijakan tuan Mr. F yang mengelola perundang-undangan baru. Bahwa sekali seminggu, upah yang dibayarkan hanya setengah, demi menutupi pengeluaran, yaitu sekitar dari upah 3-4 hari biasanya dalam seminggu.
Bahwa itu sangat tidak diharapkan para pekeja, di mana setiap dari mereka bekerja setiap minggunya, mereka belum siap untuk menerima bayaran setengahnya. Tuan Mr. F juga mengharap bahwa bukan orang baru itulah yang mengakibatkan banyak para pekerja yang mulai memberontrak. Bukan hanya saja skeptis bahwa indo itu pernah bersekolah, dan Tuan Mr. F tahu, juga ayahnya rupanya turut pula seorang pengurus perkebunan. Sebelum adanya kebijakan para pekerja upahan, tak pernah pengeluaran separah ini.
Hari sudah larut, dan istrinya baru hendak menyajikan makanannya pada meja makan. Tanpa omongan, piring yang masih juga ditata ia rampas, dengan segala pikiran yang makin berkecamuk. Istrinya bersikap dingin pula. Masing-masing di dalam benaknya ada hal yang ingin mereka sampaikan. Tuan Mr. F mengigau saat tidur mengenai banyak soal pekerjaan. Pagi harinya, ia tetao tak menanggapi istrinya, juga ia lahap duluan ikan asapan hasil tangan orang suruhan Hasel, asisten setianya.
Dengan rasa jengkel, juga lapar, istrinya hendak mengambil posisi duduk yang berada dekat dengannya. Anaknya masih tidur di atas boks ranjangnya, dan ia baru memulai penyelidikannya.
"Apa sayang suka kehidupan di sini?" Perempuan itu berkata. Mendengar itu, ia telan terlebih dahulu kunyahan di mulutnya. Juga Tuan Mr. F jawab seperlunya,
"Tak ada barang yang lebih suka ketimbang bekerja di hindia," ia masih melanjutkan mengunyah makanannya.
"Bukankah aku ini ingin bersikap lancang pada suami. Namun, ingin sekali hati bertanya, hendak mengapa suamiku menjadi kurang perhatian terhadap istrinya?"
Tuan Mr. F mendengus. Mencoba berpikir sesaat, dengan ayunan-ayunan garpunya, sebelum menggapai santapannya.
"Barang jika ada yang perlu ditanyakan, tanyakan saja, sayangku," Tuan Mr. F benar-benar kehabisan bahan omongan. Dari situ, seolah muncul pintu terbuka selebar-lebarnya untuknya. Untuk mendakwainya, seorang suami yang tidak pantas untuk dikatakan suami ini.
"Apakah suamiku tercinta ini hendak memikirkan hal-hal lain, selain pekerjaan?" tuduhnya langsung mengarah dirinya. Juga ia sambar lagi pertanyaan kedua.
"Apakah engkau merasa kehilangan anak pribumi itu?" sarapan ia henti. Namun segera ia sanggah dakwaan itu.