BAB TUJUH
BUKAN SOAL PENDIDIKAN, bukan pula soal pertunangannya yang menjadi perkara rapuhnya posisi Tuan Mr. F sebagai seorang Administratur perkebunan Pangledjar di Radjamandala, yang menghasilkan gaji cukup, dan bisa membiayai sekolah Max. Namun, yang ia sangat khawatirkan adalah dengan sikap suaminya itu yang semakin hari semakin mendekati pria-pria yang ada di kota kelahirannya, Amsterdam. Barangkali, ia juga harus mencari pekerjaan setelah suaminya pensiun dini dari Pangledjar. Pertengkaran di antara suami istri adalah hal yang wajar, tapi tidak pada keluarganya bagi Miriam.
Untunglah ada dinding penghalang antara anggota keluarga di rumah itu dengan rumah-rumah pengelola perkebunan, sehingga tidaklah mengundang banyak perhatian. Tuan Mr. F kembali mendapati semprotan ketika kesekian kali ia mendapati istrinya memojokkannya. Ia tak terima. Bagai ada yang mengusik kedudukannya sebagai pemimpin rumah tangga.
"Sayang..." buka istrinya, "barangkali tentu saat inilah waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya," pikiran Tuan Mr. F penuh sesak.
Semacam ada todongan pistol buatan amerika, yang entah dapatnya dari mana, mengancam hidupnya. Hujatan yang terus menimpanya dari tempatnya yang paling aman, yaitu rumahnya sendiri, tidak juga ditanggapi. Istrinya berubah pikiran. Ia justru kini menahan kesedihan dalam pelukan tangannya sendiri. Dari tangisan yang ditahan istrinya, Tuan Mr. F mulai membuka diri.
"Mir, tolong, jangan sekarang," istrinya makin tak bisa membendung penderitaannya lagi. Isakannya kini membuat setiap bulu kuduk Tuan Mr. F meremang. Ingin rasanya ia memutar balikan setiap ucapannya, dari tiap inci perkaranya, ingin rasanya ia tarik kembali.
"Saya ingin meninggalkan Radjamandala," leher Tuan Mr. F terasa kaku. Ketika saat ia menenggak habis minumnya, ia tetap tak berbicara. Kembalilah ia mendengarkan tangisan istrinya. Tanpa menyela. Max keluar dari kamarnya, mencari suara ibunya kemudian memandang ibunya dengan penuh keprihatinan. Ia ikut merengek. Tambah pula satu anak yang minta perhatiannya. Kadang Tuan M.r F tak mengerti. Barang mana yang perlu harus diperhitungkan. Pekerjaan atau tuntutan menjadi suami? Mengapa tubuhnya terasa kecil, lalu ia rangkul dalam pelukan anak kecil itu.
"Ingin tidur, nak?" tanya Tuan Mr. F berusaha menengah.
"Baru tadi ia bangun tidur!" jawab istrinya sedikit agak tinggi.
"Tidak usah tinggi nadamu!"
"Kamu juga kadang membentak!"
Balas-balasan itu hanya membuat Tuan Mr. F ingin rasanya mencambuki dirinya sendiri. Ia pernah menampar istrinya sekali. Dua kali. Lalu, hingga yang terakhir, benar-benar membuat dirinya merasa hidup kembali. Perampasan hak peran rumah tangga sudah beralih pada genggamannya kembali. Tak perlu lagi membela, bahwa ia tak mengamini istrinya meninggalkan rumah dinasnya. Sebab, ia masih ingin menjadi utusan dari perkebunan, mengurusi penghidupan para pekerja dan pengelola.
Namun, sang istri masih bersikukuh dengan pendiriannya, dan Tuan Mr. F makin terpojok dengan tingkahnya. Barang tentu ini bukan sekali dua kalinya istrinya bersikap begini. Makanya, sang istri tampak menyesuaikan keadaan rumah tangganya dengan sikap sewajarnya. Sementara mereka masih saling berselisih, keduanya lupa bahwa hanya anaknya yang mendengar semua perkataan-perkataan kasar dan keras itu, dari balik dinding penghalang. Bukan para pengelola maupun para pekerja.
Dengan gugatan di atas kertas tidak juga membuatnya menjadi suami yang lebih baik. Ia belum lagi gagal menjadi suami. Pikirannya saat itu hanya sedang hancur karena masalah pemogok. Dia hanya tak sanggup menahan semuanya secara bersamaan. Mungkin kurang bijak menumpahkannya dalam rumah tangga sendiri. Barang itu pula yang sebenarnya disesali Tuan Mr. F. Ia kembali pada permulaan. Ia hampiri istrinya, lalu mengucapkan kata maaf. Sekali lagi istrinya menerima maafnya.
"Untuk Max," jawab istrinya dalam nada lembut, seperti halnya kelembutan seorang ibu yang telah melahirkan manusia di muka bumi. Ia sepatutnya punya sikap lembut terhadap dirinya sendiri. Untuk anak katanya, sudah cukup menyayat hati tuan Mr. F. Sebab belum lama lagi ia kalah dalam menjadikan dirinya pria. Istrinya sudah tak menjadikannya sebagai seorang suami secara utuh. Sekarang hanya sisa-sisa sikap mereka untuk memenuhi kewajibannya menjadi orang tua untuk Max.
Berperan menjadi orang tua yang selalu ada untuk anak. Bukan untuk menjadi sepasang kekasih. Itu pula yang makin menyayat hati tuan Mr. F, makin meringis dalam kepahitan benalu pekerjaannya. Seharusnya ia lebih giat lagi bekerja. Jauhi hal-hal yang di luar itu, jangan mengambil lebih pusing lagi yang berada di luar pekerjaan. Para pemogok belum menunjukkan adanya pemberhentian dari aksinya. Belum berhenti meminta upah untuk dinaikkan.
Belum lama lagi, ia bakal mengunjungi rumah tuan salah satu kerabat kerjanya, seorang mandor besar perkebunan Pangledjar. Juga masih banyak para pengelola yang dikirimi surat untuk ke sini, demi hal-hal yang menentukan nasib berkelanjutan perkebunan, rela bakal ada pertemuan begini. Tanggapan tuan rumah atas keprihatinan perkebunan malah tak diambil pusing baginya. Kepala Manufaktur Pabrik mengirim pengawalan tambahan kepada para pekerja yang masih bekerja di pabrik. Rombongan polisi sudah mengawasi hampir ke penjuru perkebunan. Hari ini, ia sendiri dan para pengelola lainnya bakal menghampiri para pemogok.
Melalui pengawalan yang sangat ketat, mereka mengadakan pertemuan. Hasel mengusul kepada Tuan Mr. F untuk menangkap para pemogok selagi mereka masih bersedia menunjukkan wajah. Perundingan masih berlanjut sampai matahari terbenam. Ia dan para pemogok akhirnya membuat kesepakatan. Mulai dari hari sekarang, mereka bakal boleh diliburkan. Boleh pulang ke kampung halaman. Mereka juga menuntut uang hari raya untuk dilipatkan. Alasannya kebutuhan hidup semakin hari semakin tinggi. Barang semua keluhan itu dibenarkan oleh mendiang Tuan Besar sendiri, selama ia masih mengurus di Radjamandala.
Tuan Mr. F masih perlu berurusan dengan istrinya di Poerwakarta. Sebagai wali dari Max, ia masih mempunyai hak atasnya. Belum lagi, ia juga masih berurusan kepergian istrinya. Mungkin itu yang bakal nantinya membuat hati Tuan Mr. F menjadi berkabung. Sebab bunga satu-satunya bakal pergi selama-lamanya.
"Saya punya permintaan," sekali lagi Tuan Mr. F membuat permintaan. "jika engkau masih bersikap begini, saya tak segan-segan menggugat perpisahan," ucapan itu menyayat hati istrinya. Perempuan itu tak bersuara, juga tak bersikap apa-apa. Bagai kancil kecil yang kehilangan induknya. Ia menunduk, sambil memegang tangan kecil Max di pangkuan. Nyonya tua, yang merupakan seorang tuan rumah, sekaligus istri dari mendiang Tuan Besar menyusul mereka ke meja makan. Segalanya sudah disiapkan, dan sebelum memulai jamuan makan malam ini, ia mengucapkan doa: