Pangledjar

Donny Setiawan
Chapter #8

Bab 8

BAB DELAPAN

SITI SEHARUSNYA pulang ke rumah tepat pukul empat. Seharusnya ia meninggalkan ayahnya di rumah dinas kepala perkebunan yang merupakan seorang Belanda itu. Tapi kenyataannya, selesai bekerja menemani ibunya, ia banyak menghabiskan waktu menetap untuk melayani tuan Administratur baru. Tak sampai hati Siti membayangkan kemarahan ibunya nanti jika ia tidak pulang. Anak perawan seharusnya tidak keluar sampai larut malam. Ayahnya dituduh sebagai pencuri. Akibatnya ia ditahan sementara di rumah dinas Administratur itu. Apakah ia harus meninggalkan ayahnya sendirian di rumah tuan Administratur? Siti seharusnya bisa menjelaskan alasan mengapa ia pulang sampai selarut ini pada ibunya. Ya, karena ayahnya bakal kehilangan pekerjaan. Tapi, bukankah itu juga malah menimbulkan masalah lagi bagi ibunya? Apalagi kalau wanita itu tahu bahwa sebetulnya Siti lebih menginginkan mandornya, yang seorang Belanda, dan ia rela memendam perasaannya selama tuan itu harus meladeni istri sahnya, daripada dipaksa kawin dengan Ah Tong.

Selama berada di rumah tuan Administratur, Siti diawasi ayahnya supaya ia menjaga rahasia tentang kebiasaannya berjudi. Sebagai gantinya, ayahnya mau ditinggal di rumah dinas tuan Administratur sebagai tahanan pekerja, daripada menjadi sasaran amukan para pekerja; Tuan Administratur baru itu memberi kamar khusus untuk ayahnya bermalam. Sebab satu-dua pekerja yang menghajar habis ayahnya itu tidak akan berhenti mencarinya.

Sebelum hendak meninggalkan pelataran rumah dinas itu, ia sempat bertemu seorang pria, seorang Ploegbass perkebunan, yang hendak berjalan menuju pulang. Tak menginginkan rahasianya terbongkar, Siti menjaga mulut kepadanya, bahkan sampai akhirnya ia berhadapan dengan ibunya di rumah. Masih berusaha keras untuk menjaga sikap polos. Dalam benaknya, inilah sosok perempuan yang tampak polos, namun menyimpan dosa yang besar. Siapa yang sangka?

Sampai di rumah, Siti sering dipukuli dengan batang sapu kalau pulang setelah magrib. Selama dua jam penuh ia habiskan untuk mengurusi adik-adiknya. Satu perempuan, dua laki-laki. Ketiganya kerap berkelahi. Anak yang paling kecil selalu menjadi sasaran keusilan saudara-saudara tertuanya. Siti pula yang harus menengahi. Biasanya mereka kerap bertengkar apabila makanan yang ada di meja hanya tinggal satu. Saat itu, Siti pulang tak membawa apa-apa. Biasanya ia membeli dua ekor lele goreng, yang sering ia beli di warung pinggir jalan sepulang bekerja. Di tempat tinggalnya, Siti juga anak perawan yang diidam-idamkan pria-pria bujang pekerja perkebunan. Ibunya hanya merestuinya dengan seorang singkeh, yang belakang ini kerap mampir, bernama Ah Tong. Namun, Siti selalu tak memberi respon apapun. Ia menuruti apa-apa yang dikatakan ibunya dan ayahnya, namun selalu membantah mengenai perjodohan. Ia bahkan tak pernah mengeluh makanan yang harus dimakan. Nasi yang sudah berlendir dan bau pun ia makan.

Ia makan tanpa sebuah pertanyaan. Bahkan, ia rela tak makan menunggu adik-adik dan orang tuanya kebagian makanan. Apabila sudah selesai makan, mau ia kebagian atau tidak, tetap ia membersihkan perlengkapan alat makan yang habis dipakai itu. Tak pernah ada sedikitpun rasa tersinggung di dalam hatinya, ia bakal melakukan itu semua jika memang sudah menjadi kewajibannya. Semua berkat kehendaknya, sebabitulah yang telah tertanam sejak kecil kepadanya. Siti diperlakukan sebagaimana perempuan priangan oleh orangtuanya.

Ibunya risau saat itu, dan menanyakan kepadanya mengapa ayahnya belum pulang. Siti mengatakan bahwa ayahnya tidak akan pulang hari ini, namun tak memberi alasan sebenarnya. Baru sekali ini ia berbuat begitu. Biasanya ia adalah anak yang penurut dan berbakti, serta anak yang tidak pernah berbohong. Sekali ia dirundung masalah, selalu dipendam sendiri. Ia menjadi sangat pendiam. Mian, nama ibunya, memang biasa pulang dari perkebunan ketika senja sore merebak dan jarang membawa lauk makanan ke rumah. Pekerjaan sehari-harinya pergi setiap pagi, ke kebun teh untuk memetik daun teh, dan sorenya ia pulang.

Entah mengapa hari ini menjadi hari yang tak biasa bagi ibunya. Wanita itu tak tahu bahwa anak perempuannya diam-diam telah kehilangan keperawanannya. Wanita itu hanya tahu bahwa Tuan Plikeer hanya majikan putrinya. Tak lebih. Jadi ia tak pernah punya pikiran macam-macam kepadanya.

Ia tak boleh keluar pada jam malam, sudah harus bangun sebelum pria-pria bangun, menyiapkan sarapan, juga membersihkan rumah. Setiap hari dijalaninya tanpa melawan. Namun, apakah ia tak bisa sekedar meminta satu permintaan pada ibunya? Bahwa ia hanya mau dijodohkan dengan Tuan Plikeer, kepala mandornya. Seorang singkeh menjadi penghalang besar restu kedua orang tuanya. Ah Tong itu dikenal seorang yang mesum. Pikirannya hanya pada perempuan. Apapun yang menempel di tubuh perempuan adalah hasrat birahi baginya. Apakah ibunya mau mengabulkannya? Dalam hati Siti, hanya satu permintaan itu saja untuk membuatnya berbahagia.

Hari ini, tak mau ia singgung. Sebab ia tak mau menjadi perempuan pendosa, juga perkara ayahnya masih menggantung di kepala. Seharusnya ia bisa menyelesaikan masalah yang datang bertubi-tubi ini satu per satu. Sulit pula ia harus memilah. Sehabis mencuci piring, ia belum juga mau mengatakan keinginan pada ibunya. Siti memang seperti itu, menahan segalanya pada bibir yang terkatup manis.

Ibunya mendadak menjadi pendiam, sebab ia ingin beranjak tidur di kasurnya yang tipis di lantai itu. Ibunya sedikit jengkel, sebab besok pagi ia harus bangun, memasak, menitipkan sarapan, lalu pergi ke kebun teh. Lalu sorenya pulang ke rumah, untuk memberi makan anak-anaknya. Beruntung kalau Siti juga ada di rumah, urusannya dapat diringankan.

Hari ini mereka tidur tanpa kehadiran ayahnya lagi. Kemudian sang ibu tampak kelihatan seperti orang yang banyak pikiran pada hari berikutnya. Mungkin yang ada di pikirannya: besok ia harus bangun lebih pagi lagi demi mendapat hasil tambahan. Bukan ibunya tak mencintai suaminya, mungkin baginya, cinta itu bisa ditaruh pada tempat lain ketika urusan kepada dunia jauh lebih besar. Ibunya takut, mereka tak bisa makan lagi. Barangkali tanpa sepengetahuan Siti, ibunya juga mencari pekerjaan tambahan; menjadi pembantu rumah tetangga-tetangganya misalnya. Rupanya masih belum cukup bila digabungkan dengan hasil Siti memetik, sebab Siti juga kadang tak menghasilkan uang yang cukup lebih banyak dari pekerjaannya di rumah tuan Administratur. Kalaulah jika dihitung, masing-masing menghasilkan satu gulden perharinya. Dua gulden masih tetap tak memenuhi kebutuhan. Setiap kebagian waktu penukaran kupon, penghasilan mereka pasti selalu dipotong habis untuk bayar hutang.

Ayahnya pulang ketika subuh, esok harinya. Ia tak banyak bicara setelah sampai di rumah. Ia pulang langsung meminta kopi. Ibunya sudah tak ada di rumah. Siti baru selesai membersihkan rambutnya ketika itu, dan mengambil kainnya yang digantung semalaman agar paginya dapat dipakai lagi. Ia gunakan kain itu, bercorak kembang, berwarna kecoklatan. Lalu ia ikat rambutnya hingga terbentuk tanpa ekor. Ia yang buatkan kopi. Juga ibunya telah berpesan untuk tak lupa sembahyang subuh. Namun ketika ia mengingatkan kepada ayahnya, pria itu membentak Siti.

Tak takutkah ayahnya pada Tuhan? Siti menimbang, apakah ayahnya bertindak seperti para mandornya? Perkara ghaib pun kurang mereka percayai. Kedekatannya dengan seorang kepala mandor itu rupanya dapat memunculkan buah pikir semacam itu. Tak tahu mengapa ia terus punya dorongan pada Tuan Plikeer. Pernah satu hari, pria itu mengajarkannya bahasa belanda. Juga meminjamkan buku-buku yang ia punya. Siti membacanya sembunyi-sembunyi, walaupun belum paham tulisannya. Ayahnya tak banyak bicara padanya, setelah kejadian Siti meninggalkannya di rumah dinas tuan Administratur itu. Ia tetap mengingatkan Siti untuk menutup mulut kejadian kemarin itu. Siti hanya menuruti perkataan apapun ibu, dan ayahnya.

Lihat selengkapnya