BAB SEMBILAN
"BAGAIMANA, TUAN? Belum juga laku berasnya?"
Lalu seorang penjaga warung menjawab, "Masih belum juga nampaknya. Mungkin sore nanti, Insya Allah laku," dengan memberikan kupon milik kepunyaan Siti, ibunya memanggul sekantong beras ke atas pundaknya.
"Terima kasih, ya, Ah Tong!" ia bawa beras itu tergopoh-gopoh ke rumahnya, dengan gembira. Sebelum berangkat pulang, Ah Tong sering memperhatikan Siti.
"Seharusnya ia harus buru-buru dikawinkan," ucap Mian. "Kasihan dia, ke mana-mana sendirian. Harus punya lelaki yang bakal menafkahi."
Perempuan itu selalu setuju pada Ah Tong. Keluarga Siti sesekali harus menerima dengan lapang dada dengan pemasukan yang semakin sedikit. Tambah karena suaminya selalu di rumah dan tak pernah bekerja. Tak ada lagi yang diharapkan kepada pemimpin keluarganya itu. Sebentar lagi pun ia diusir pikir Mian. Ingin sekali pria itu diseret pada pengadilan, namun yang ia tahu, seorang pribumi sulit menggugat cerai suaminya. Sebab alih-alih harus menghabiskan uang untuk mengurus ini-itu, mereka justru lebih memilih menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan makan.
Walaupun Mian menghendaki perceraian, namun ia tetap memilih untuk hidup bersama suaminya untuk seumur hidupnya. Mian sampai di rumah, Siti belum juga di rumah. Ke mana anak ini? kemudian ia ke dapur untuk menyiapkan beras untuk segera dimasak. Ia segera mencuci, memasak, lalu memberi makan perut-perut kempes anak-anaknya, dan suaminya. Si anak bungsu terkadang rewel, minta susu. Namun, seadanya, segera Mian kasih air matang, lalu diberi sedikit gula. Berhentilah anak itu dari rewel.
Ia selesai masak, belum juga Siti pulang. Tak lupa ia sisihkan nasi untuk Siti nanti. Nasinya kadang cepat lengket, mungkin karena seharian ibunya sengaja menutupinya dengan mangkuk agar tak ada serangga yang menempel. Namun, semut selalu saja punya jalan untuk menemukannya. Maka tak jarang jika ada yang ingin makan, setidaknya harus menyisihkan waktunya untuk memilah antara nasi dengan semut-semut yang tercampur itu.
Kadang suaminya tak peduli dengan keberadaan semut, ia langsung saja memakannya. Lauknya sisa-sisa kemarin, ikan-ikan asin yang durinya bisa dimakan. Kadang suaminya memprotes mengapa ia masak lauk yang sama setiap hari. Dan memang benar, di dalam benak orang-orang di keluarganya, jelas mereka juga ingin menikmati cita rasa masakan yang enak, bukan sekedar kenyang, seperti halnya para tuan-tuan perkebunan; para mandor-mandor.
Biasanya Mian membawa bekal segumpal nasi ketika ingin bekerja memetik teh di perkebunan. Kadang pula sesama pekerja membagi bekal mereka, namun ada pula yang tidak suka memberikan bekalnya. Tapi, tak sedikit mereka yang mau membagi bekalnya, juga tak berharap imbalan apa-apa. Mungkin mereka berharap imbalan untuk bisa hidup di surga. Tidak menghamba, tidak menunduk kepada para mandor.
"Di mana adik-adikmu?" Siti terperangah. Ia baru saja selesai menaruh ikan-ikan lele goreng ke piring biasa ibunya menaruh lauk.
"Mungkin sedang main di luar," jawabnya.
"Panggil! suruh mereka makan," titah ibunya. Sebelumnya yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana membuat ikan-ikan cukup untuk semua keluarganya, kemudian pada akhirnya juga mungkin ia harus mengalah dan pergi mencari adik-adiknya.
Hari mau mulai sore, dan awan juga mendung. Siti risau, takut terjadi apa-apa dengan adik-adiknya. Dari kejauhan sudah terdengar suara latar sekumpulan wanita, para tetangga, juga terdapat ibunya yang ikut mengumpul bersama mereka. Sampai di halaman belakang, yang terdapat kebun-kebun liar, ia melihat adik-adiknya tengah asik bermain di atas tanah.
"Satu..." ketika Afi mengeluarkan suaranya, samar-samar pula suara ibu-ibu di belakang latar. Sjef memukul kepala Afi, sementara Afi masih tak menangkap pergerakannya. Sjef cepat-cepat memutar tubuhnya selagi Afi melihat ke depan.
"Dua..." Sjef menepuk dahi Nur.
"Bukan saya!" balas Nur lirih, dengan bahasa daerah mereka bicara.