BAB SEPULUH
KAMAR SITI yang jadi sasaran. Tak mengerti apa sebabnya orang itu melakukan begitu. Yang ia tahu, baru saja adik-adiknya itu sedang bermain di luar dengan riang, setelah pada akhirnya mereka mengotori lagi halaman depan rumah pria itu ketika ia sedang membersihkan. Siti menangis, ketika pria itu teriak minta tubuh adik-adiknya. Ibunya masuk rumah mencari Siti dan baru pulang, dan yang ia dapati tubuh anaknya itu menggigil karena ketakutan. Semenjak ia menutupi diri di kamar, terdengar keributan di luar. Ayahnya keluar, tampaknya ia tak ada selama perselisihan itu.
Kedua adik laki-lakinya berlindung di pojokan dapur. Polisi tak lama meredamkan situasi. Siti aman. Ia baru berani keluar. Mereka menahan ibu juga ayahnya dan dibawa ke kantor polisi sekitar. Juga para tetangga lainnya menimbun. Dipandangi satu-satu anak-anak ini, tak tahu sebab. Juga si pria itu juga istrinya. Darah mengucur pada dahi pria itu yang juga didapati istrinya bersusah payah menuntunnya jalan.
Mana ada para tetangga menimbrung begini. Tak tahu apa yang mereka bicarakan. Siti tak merasakan apapun setelahnya, apakah ia berada di pihak yang salah ataupun benar, juga tak ia tahu. Berkumpul lama-lama, orang-orang di depan rumah Siti juga akhirnya membubarkan diri. Tampak semua orang jadi lebih tenang, dan didapati kepala dari pria itu kini telah terbalut kain putih bercak darah ketika mereka pulang.
"Jangan diulangi lagi," tuding istri pria itu kepada adiknya paling bontot. Tembok yang bekas sabetan golok itu juga masih tersisa di kamarnya Siti. Ia pandangi benda perak berkilauan itu, dalam pikirannya,
"Bagaimana jadinya kalau aku mati?" Pikir Siti dalam kegetiran. Tak lama muncul suara pekik tangis adik-adiknya. Pekiknya pun ikut tersulut, tak bisa membendung. Satu dari ratusan perkelahian lagi.
"Tidur di luar saja! Di rumah perempuan itu!" dengan kolot, Aini berang terhadap suaminya. Tak dapat yang dilakukan adik-adiknya, begitu pula Siti, yang setiap hari harus mendengar berkali-kali suara pukulan ke dinding tiap ada perkelahian di rumahnya. Belakangan hari sudah membuatnya amat gusar.
Darahnya melonjak naik. kesadarannya sudah tak bisa ia kenali lagi. Adik-adiknya, yang ia tahu mereka tak bisa berhenti merengek. Tetangga sudah biasa, hanya menjadi penonton. Kadang ada yang terang-terangan mengintip dari balik jendela rumahnya. Kaca-kaca dibiarkannya terbuka untuk panggung warga. Rumah sudah tak jadi lagi tempat persinggahan, disulap menjadi panggung dan siapa saja siap sedia jadi penontonnya. Orang-orang tahu, kalau ada panggung begini di dalam rumah, sudah jadi pemandangan sehari-hari. Kadang mereka kerap bergantian. Kadang di rumah Siti, kadang di rumah tetangga-tetangganya yang lain.
Ayahnya tak pulang lagi semalam. Ibunya percaya bahwa ia kabur ke rumah perempuan lain. Sempat disinggung oleh para tetangganya pula. Sang suami memang sudah lama tak bekerja. "Memangnya, ke mana lagi ia pergi? Kalau tak jelalatan matanya melihat-lihat perempuan di desa lain," pikir ibunya dalam benak Siti.
Kadang ibunya berpikir untuk mengakhirinya saja dengan menghilangkan hidupnya. Sudah berkali-kali ibunya mengatakan itu jika masalah di rumah terlalu berat untuknya. Sejak ia masih berusia sembilan tahun pun ibunya sudah pernah menyuruhnya mengambil pisau. Dan, bahwa anak berusia segitu belumlah mengerti maksudnya namun tetap ia laksanakan. Namun, ketika Siti tumbuh baru pahamlah ia, bahwa ungkapan itu hanyalah semata-mata kemarahan ibunya saja yang meluap-luap. Pemasukan menipis, suami tak punya pekerjaan. Kondisi rumah dinas juga dipertanyakan. Ke mana lagi mereka akan tinggal? Ibunya kadang sakit-sakitan, banyak pikiran barangkali. Suatu ketika, ia berbaring di kasur dan Siti dimintai untuk membawa pisau dapur itu.
Berkali-kali Siti bertanya, "Untuk apa?" ibunya selalu menjawab, tanpa kata.
"Bunuh saja. Ibu tak sanggup lagi menahan penyakit ini," lirih hati Siti ketika ibunya sudah berkata seperti itu. Dan perintahnya tak Siti turuti kali ini. Sebab Siti bingung setengah sadar. Saking penurutnya, ia agak berat meninggalkan ibunya sendiri di atas kasur, tanpa menuruti ucapannya. Ia tetap menganggapnya satu kejadian yang tak pernah terjadi. Ia melupakannya, sungguh. Seperti kejadian-kejadian sebelumnya.
Sore hari, ia dapati lagi, ayah dan ibunya saling bercumbu di dapur. Tak sengaja ia melihatnya, juga ia palingkan mata pada pandangan itu. Bertindak seolah tak pernah melihat apa-apa. Selalu itu yang ia lakukan, bila ingin menjadi anak yang berbakti. Pagi, baru juga ia bukakan matanya, ia rasakan jantungnya berdetak tegang. Terbangun oleh suara teriakan-teriakan dari balik dingin pintu.
"Jangan hari ini," ucapnya menyayangkan, setengah terbangun.