BAB SEBELAS
KADANG KEGADUHAN orang-orang tanpa sepengetahuannya membangunkannya, saat ia tengah berbaring di ranjang itu. Matanya awas, membelah langit biru-jingga subuh hari. Sudah sepantasnyakah ia menyiapkan sarapan pagi? Barang lantai ruang tamu belum juga disapu.
"Ah..." lirih perempuan kecil itu, kesulitan setiap saat terbangun dari tempat tidurnya. Siti ingat, saat-saatnya sekarang sedang tak sendiri.
Sekali lagi teringat. Siti masih juga dalam pengurungan rumah ini, atau menatap ke arah luar tanpa memedulikan sedikitnya tanduk kehinaan perasaan. Sudah secukupnya ia bersyukur, masih punya seseorang yang dikasihi. Sangat luas jangkauan bak kepakan sayap burung kecil di atas langit. Udara pagi masih bersahabat kala itu. Terkadang terpikirkan oleh Siti, mereka seperti saudara seibu. Siti ingin sesekali memeluknya. Memeluk erat langit biru-jingga subuh hari.
Sebab, belum berakhir. Angan tetaplah angan. Seperti hembusan angin pagi yang membangunkannya. Siti bisa merasakan, tapi Siti juga tak bisa memiliknya. Semuanya yang meniupnya lembut hanyalah barang titipan. Tidak untuk disimpan. Dikantongi saja rasanya enggan, apalagi sekedar untuk dibagikan. Mengapa dunia seakan memusuhinya, selagi ia meninggalkan keluarganya, dan hidup sebagai istri bagi seorang mandor besar?
Semenjak saat itu, Siti memutuskan untuk rela bangun subuh hari hanya untuk bisa merasakan hembusan lembutnya angin pagi lagi. Pagi ini, ia ucapkan rasa syukur atas apa yang selama ini ia lakukan belakangan. Siti tetap pada jalurnya, mengikuti jalan hatinya. Mengikuti cintanya. Di satu sisi, Siti kadang merasa gagal menahan kemauannya pribadi. Kadang sering bertentangan dengan prinsip pasangannya. Maka, ia pun siap menolak mengikuti kemauannya.
Barangkali itu jalan terakhir untuk menyelamatkan rumah tangganya. Kadang Siti harus mengukuhkan sekali lagi agar tidak berakhir jadi kesalahan, sesekali hal yang berada jalur berlainan dari suaminya. Hal yang paling membuatnya berbangga diri, setiap hari tanpa adanya penolakan pada pribadinya. Siti bersyukur bisa memenggalnya lebih dulu. Sebab tak mungkin ada sekarang ini dan berdiri sebagai pribadi perempuan yang mendekati perempuan-perempuan eropa.
Atau mungkin ia tak mendapatkan lagi kursus-kursus bahasa belandanya. Mungkin jika Siti belum mengenalnya, mungkin ia sekarang masih memetik teh di Radjamandala. Dengan kepatuhan tiap titah ibu juga bapaknya. Tuntutan pula yang menjadinya tunduk akan semua kehendak mereka. Mungkin, Siti yang sekarang ini berbeda, mungkin Siti yang sekarang ini lebih lagi keras kepala. Sebab, mungkin beda cerita lagi kalau di awal ia tetap di rumah orang tuanya.
Tidak sesering sekarang untuk menyukai tuntutan baru ini, yang lebih menjanjikannya pada kehendak pribadi. Apa jadinya bila Siti terus terang dengan semua perasaannya? Namun, lebih beruntung lagi ia tak pernah menceritakannya. Barangkali pada istri-istri lain yang dimiliki suaminya. Entah mengapa mesti Siti harus meminta pertolongan. Pada siapa? Percayalah Siti selalu bisa diajak memainkan peran selama suaminya selalu menganggap perasaannya itu, yang tak pernah terjadi.
Siti mungkin pula masih bertarung dalam keteguhannya sendiri. Untuk melepaskan kehendak seorang gadis dibutuhkan sebelas tahun, dan Siti sekarang ini sudah berumur delapan belas tahun. Sudah cukup umur untuk memiliki keturunannya. Barangkali malam-malam pertama, suaminya sering meninggalkannya, melancong ke istri-istrinya yang lain, yang sama-sama pribumi. Tak mengapa, bela Siti kala itu. Hingga sekarang ini, untungnya ia masih bisa melihat bintang menari-nari manja dekat rembulan kala subuh hari di luar jendela kamarnya.
Namun, mengapa yang ia lihat hanya satu bintang, selagi yang lain ikut menari? Dalam tulisannya, mengapa yang muncul wajahnya lagi? Di sini rupanya Siti mengukir indah namanya. Sudah berapa hari ia meninggalkannya? Siti pun tak tahu. Enggan rasanya bersusah mengingat. Sudah berapa kali Siti mengikuti persoalannya tentang urusan siapa dulu yang harus dicintai? Tentu, tetap ia semakin jauh. Sebab, Siti tak menghendaki apa-apa.
Langit biru-jingga tersenyum. Menyeringai melihat tingkah laku seorang anak manusia dari jauh.
"Hei, sudah cukupkah kamu membatu?" Seolah kata langit biru-jingga tersenyum itu. Dalam hati Siti, ia mengharapkannya. Juga, kenapa mesti dipersulit? Siti terus bergelut dengan sisi lain, hingga mengantarkannya pada sekarang ini. Mengungkapkan perkara untuk menyakiti? Terpaku Siti dengan ungkapan-ungkapannya sendiri. Ia merobeknya. Sekali lagi, ia memulai dengan kertas yang baru.
Siti merasa asing bagi dirinya sendiri. Seperti bukan dirinya kini. Mengapa ia selalu merasa terancam bila memandang keadaan di luar? dan mengapa pula ia selalu menutup-nutupi dirinya yang sebenarnya selama merasa terancam? Ia tahu, ia ada. Bagi siapapun yang pernah berhubungan langsung dengannya, ia ada di dalam dunia itu. Namun, entah alam yang mana membawanya pada hal yang berlainan. Sebab ia masih menunggu kedatangan mesiah-nya barangkali.
Barangkali ia lebih tersiksa apabila tak menghendaki kehendaknya. Tidak mengikuti kemauannya untuk terus bersikap menjaga siapa dirinya. Barang ia malu terhadap dirinya, juga ada sejumput penyesalan yang tumbuh di dalam dirinya. Siti tinggal dalam rumah yang berisi tiga kepala keluarga sekaligus. Artinya ia tak selamanya punya kehendak untuk hidup tunggal. Bahkan, sekedar untuk berduaan bersama suaminya sendiri. Mustahil ia bisa tinggal sendiri.