Pangledjar

Donny Setiawan
Chapter #12

Bab 12

BAB DUA BELAS

JUGA MEREKA tak bersenjata, hanya modal suara lantang dan tindakan kasar, juga perut yang terus lapar. Hari raya mestinya membuat mereka berhenti berbuat keonaran seterusnya. Tubuh Siti basah kuyup. Benjolan di perutnya makin saja besar. Dan sebentar lagi, ia rasakan akan hidup lagi di rumah orang tuanya. Dan untuk sementara waktu mengasingkan diri. Mungkin waktunya tak sampai besok, sebab pasti suaminya mencarinya yang bermodalkan watak yang keras.

Ia bisa melakukan apa saja pada perempuan pribumi ini. Maka sebabnya perempuan-perempuan seharusnya menuruti saja apa-apa yang dikehendaki suaminya. Apalagi pria-pria berdarah belanda tulen yang sangat berbakti bekerja. Cenderung mereka berwatak pekerja keras, juga paling bisa memimpin. Sebab, ia menggeser nilai apa-apa saja yang berada di bawah kendalinya. Ia harusnya kuat. Menindas satu atau dua orang dari rumah ini sudah cukup membuatnya kuat.

Karena bapaknya lebih keras dari sebelumnya, ibunya harus menerima perlakuan pertengkaran yang tiada hentinya. Maka ibu siti tidak tidur bersamanya di ruangan. Ia mengawasi juga kandungan Siti. Barang sampai besok. Hanya beralaskan kain tipis, juga selimut berbahan kain batik, mereka gunakan setidaknya untuk tidur di ruangan paling depan, dekat dengan pintu masuk. Cahaya remang-remang menghiasi wajah sendu Siti. Keringat yang sedari tadi mengucur masih tertampak padanya. Sebelum ia bisa tertidur, kembali ia terbayang, bagaimana wajah suaminya kelak bila melihat ia kembali ke Pangledjar. Kembali hidup bersama para pekerja.

Pagi harinya, betul bapaknya marah besar. Seluruh warga melihat-lihat dari kejauhan, mencari tahu dari mana suara kegaduhan itu berasal. Dan tak lain dari komplek rumah bapaknya. Selalu jadi bahan ocehan. Dan karena keramaian itu, suami Siti jadi tahu, bahwa istri gundiknya ada di komplek pekerja. Sebab ia seorang berdarah tulen, ia merasa segan untuk menghampirinya.

Jadi ia tunggu dari kejauhan, mengarah ke rumah orang tua Siti dengan pakaian pekerjanya, serba putih. Ia kadang disalahartikan oleh pekerja sekitar. Sekelebat ketika hendak berada di dekat seorang pria berbaji putih-putih, pekerjaan mereka menjadi lebih dua kali lipat lebih cepat. Dan suami Siti menggunakan kesempatan itu untuk berusaha lebih mendekat. Dari balik bukit-bukit kebun teh hingga sampai ia pada pemukiman para pekerja, orang-orang yang tadinya bergumul jadi berpencar.

Melihat ada pria berbaju putih-putih, menggunakan perangai seperti mandor, selayaknya mandor mereka. Ia semakin mendekati perumahan. Suara keras dari balik pintu rumah yang tertutup itu makin menarik hatinya. Erangan seorang perempuan ikut menggema. Ia tampak ragu, dan akhirnya, ia tak jadi masuk ke dalam. Tanpa kata dan ucap pun, satu gedoran tangan yang besar itu pasti sudah cukup membuat kegaduhan itu terhenti.

Sebetulnya ia tak mau mempunyai hubungan dengan para pekerja pribumi ini. Yang ia kehendaki hanyalah keinginannya dalam melihat diri sebagai adikuasa terhadap siapa pun. Bahwa kehormatannya sebagai pemimpin tak bisa dikalahi. Oleh perempuan apalagi. Ia mau, semuanya terlaksana atas keinginannya. Seketika hatinya dibuat tak enak dan segera pergi. Sampai ia melewati barangkali sepuluh rumah warga, ia kembali mendengar keributan itu. Sementara pekerja lainnya sibuk mengintip dari balik jendela kaca mereka.

Bapaknya mengusirnya setelah itu. Ibunya tak bisa menyelamatkannya. Sebab bukankah begitu semestinya peran seorang istri? Menuruti permintaan suami. Yang lebih ia kehendaki adalah peranan seorang perempuan terhadap dirinya sendri. Tak bisakah seorang perempuan punya haknya berjuang menghadapi para lelaki? Para suami. Tepat hari itu, ia meninggalkan untuk kembali pada rumah suaminya. Berada di emplasmen perusahaan baru.

Telinga rasanya memekak seperti membengkak ketika hendak berjalan di jalan raya. Udara begitu lembab. Orang-orang selalu mengintipinya dari balik jendela. Bakal ada omongan baru di antara para pekerja pagi ini. Dan, Siti tampak malu atas perlakuan orang-orang di sekitarnya. Ini bahkan lebih menjemukan dari hari sebelumnya. Ia harus berjalan kaki beberapa kilo meter ke atas bukit kebun teh, dengan diikuti tatapan orang-orang pribumi yang menuduh wanita pribumi yang tak lagi pribumi.

Patut jadi omongan yang tak baik di belakang. Perempuan-perempuan pekerja perkebunan bahkan enggan melihat padanya lagi. Ada rasa jijik di antara mereka. Para mandor melirik padanya sekali. Kali ini bukan apa-apa, hanya pandangan seorang lelaki yang memandang hasrat pada seorang perempuan. Wajahnya memang tampak sendu, namun itu saja bisa membuat para mandor bertekuk lutut padanya saat pertama kali. Tak ada yang ia celah terhadap penampakan dirinya.

Tak boleh menyerah. Hanya saja jika keadaan tak berpihak pada diri, bukan begitu saja Siti menyerah pada situasi. Siti bisa menciptakan peluang baru terhadap tindak-tanduk berikutnya. Pertahankan nilai diri sendiri, kata hatinya. Utamakan sikap tanpa menunduk pada lain. Jangan menyembah pada siapapun. Orang lain boleh menuduh, memaksa, berbuat sesuka hati mereka. Selayaknya pria. Hendak kau buang saja semua kedamaian perempuanmu? Mengapa tak lepas juga bayang kepergian sosok pria itu?

Lihat selengkapnya