BAB TIGA BELAS
BETAPA INDAHNYA hidup bila selalu menghendaki kemauan diri sendiri. Apa kau percaya tentang tahayul? tanya Siti pada dirinya sendiri. Suatu hal yang dibesar-besarkan. Suatu hal yang belum tentu terjadi, namun karena begitu meyakininya, kau merasa seolah itu benar-benar terjadi. Seperti apakah seorang perempuan yang telah lama selalu menghendaki kemauan diri sendiri? Apakah ia akan mendapatkan apa-apa yang sepatutnya ia banggakan dan syukuri? Siti pun tak menghendaki diri berbuat begitu, sekarang ini. Sebab itu adalah halnya tahayul baginya.
Kebahagiaan itu sepatutnya datang dari kehadiran orang lain yang dapat memenuhi hatinya. Dan membuat hatinya tak merasa kesepian lagi. Begini hidup kalau selalu menghamba pada cinta, apapun yang hadir selalu kurang baginya. Barangkali Siti lebih menghendaki apa yang berada lebih dari itu, keresahan hatinya berkata. Kadang Siti memandang dirinya kurang. Selalu kurang bagi mata orang-orang di sekitarnya. Ke mana lagi memang bila bukan untuk memuaskan yang ada pada diri sendiri?
Barangkali belum tentu ia bisa membahagiakan orang lain, justru sepatutnya ia membahagiakan dirinya sendiri. Mungkin hal ini terpikir karena suatu wujud pelariannya. Hidup terlalu sempit untuk terus mengincar dan mencekam yang tidak ada. Tidak perlu juga harus menggema perasaan yang seharusnya tidak ada. Sepatutnya ia memilih hidup yang sudah ada pada dirinya. Barangkali ia masih membutuhkan sosok pria seperti suaminya, dan bukan pria yang selalu ia cintai.
Barangkali ia pula membutuhkan hatinya sekedar diisi. Sebab ia tak selamanya bisa merasa hidup dan mengabdikan sisa umurnya untuk menahan kemauan yang ditahan. Barang tentu sewajarnya ia keluar dari kurungan yang ia buat sendiri. Maka, pertanyaanya, mengapa ia bisa membuatnya terkurung sementara ia pula yang kesulitan untuk keluar? Dari situ ia lebih sering menyendiri, memikirkan kehendaknya. Bukan sepatutnya lagi bagi perempuan pribumi, sebab ia adalah perwujudan suatu kegagalan dalam nilai pribumi itu sendiri.
Setiap orang adalah polisi dan penjaganya masing-masing. Tak terkecuali bagi Siti. Seorang perempuan pribumi yang menuntut kehendak pribadi. Menuntut keadilan bagi dirinya. Ia menampik keras kegilaan seorang singkeh itu. Ia menganggap penuh kebiadaban pada diri orang itu. Seorang manusia yang kehidupannya serasa ia selalu merasa haus pada perempuan. Manusia yang selalu ke mana-mana merasa sendiri. Manusia yang butuh setidaknya sekali seumur hidupnya bersikap begitu.
Ia tak lagi menghendaki bersikap layaknya perempuan eropa yang kuat. Ia menjadi rapuh. Memang sudah rapuh sebelum kejadian-kejadian lalu. Ia tak menyalahi dirinya, juga kejadian-kejadian yang sebelumnya pernah terjadi. Malah lantas ia mempertanggungjawabkan sikap seorang singkeh itu yang lebih lagi merugikan sifat alami dirinya. Seorang singkeh yang kelak mempertanggungjawabkan tindakannya. Ia tak menyesali lagi dan hanya bisa menuangkan kesedihannya melalui tangis di masa dulu ketika kehilangan sisi gadisnya.
Juga ia terbilas habis dengan perasaan keruh juga pedih dalam hatinya. Inikah yang namanya hidup? yang harus dicelakai berkali-kali baru dapat merasakan apa artinya hidup itu, pikir Siti. Mengapa semua harus berurutan sebagaimana ia menderita sampai sekarang. Ia sendiri kah yang menghendaki? Mungkin Siti membutuhkan sekalinya ia bersikap seolah tak ada lagi penghakiman terhadap dirinya.
Sebetulnya, ia juga sesekali ingin menolong singkeh itu untuk melepas semua kepenatan yang selama ini ia pikul. Namun juga tak memperhatikan sikapnya setelah memperlakukannya. Ia tetap perempuan yang anggun juga tenang. Seakan ia membutuhkan sebuah petunjuk. Jalan yang selalu ia tempuh adalah jalan yang gelap. Tak ada penerangan selama perjalanan itu. Hanya sebatang lilin, ia bisa melihat-lihat dari kejauhan. Itu adalah kehendaknya sendiri. Sudut pandangnya yang terbilang sempit itu. Ia harus juga menimbang-nimbang apa-apa yang harus ia dapatkan darinya.
Juga harus ia akui bahwa ia belum sepatutnya menjadi kancil kecil yang berevolusi menjadi pemangsa. Ia hanya seekor itik kecil yang kehilangan induknya. Hei, si itik kecil, ucap Siti pada dirinya, yang berlarian di tengah hutan rimbanya manusia-manusia yang tak tahu iman. Siti sepatutnya berhenti sebelum benar-benar tersesat di dalamnya. Ia mendahului apa-apa yang ada diperkirakan. Setidaknya itulah yang terjadi. Ia tak menghendaki apa-apa, walau sebetulnya ada saja yang ingin ia kehendaki.
Tapi, itu selalu berlawanan pada keadaan sekitarnya. Ia tak mau merepotkan, juga mau lebih praktis. Hidup semakin melipat, bagai lipatan kosong tak berarti. Itulah makna hidup bagi Siti. Ia berjalan seperti layaknya akar pohon yang ditumbuhi semak-semak di batangnya. Tak berbuah juga. Dan kehadirannya tak dikehendaki banyak orang. Tak bisa ia mengalih keinginan menjadi pohon besar yang membuahi seluruh orang, yang bisa menyenangi seluruh orang.