BAB EMPAT BELAS
FISO BARU SAJA selesai sekolah. Ia juga baru saja dijemput oleh orang-orang dari keluarganya.
"Syukur, Nak. Kau lulus juga."
Adik perempuannya bertanya, "Bagaimana rasanya bersekolah, kak? Sudah empat tahun saja."
Fiso berusaha dengan merendah menjawab pertanyaannya dengan awas, tak mau pula ia menghilangkan martabatnya sebagai pria berpendidikan.
"Barangkali kalau punya kesempatan bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, nak, adik," supir yang membawanya tak berkomentar apa-apa, walau sama-sama pribumi. Ia lebih patuh lagi perintah dari ayahnya.
"Lebih cepat jalannya," perintahnya. Di hari yang mulai terik ini, ayahnya berkehendak menjemput anaknya sendiri pulang, ketimbang bertemu untuk rapat di kantor desa.
"Jadi ayah rela-rela terlambat begini cuma mau jemput anaknya ini?" Ayahnya merusak posisi tutup kepala Fiso, dengan senyum menyimpul kumis tebalnya tersapu kebanggaan ayah pada anaknya. "Sudah ada penggantinya," katanya lagi.
Memang sudah waktu ayahnya dilantik sebagai kepala desa, di desa tempatnya tinggal. Di situ, banyak pula sesama pribumi di sana yang menghendaki anak-anaknya agar dapat bersekolah. Di sekolah umum pribumi. Namun, sebagian besar adalah pekerja perkebunan, dan ayahnya bukan pula bakal dilantik sebagai kepala desa melainkan sudah lama mengolah lahan perkebunan di desanya. Juga dimiliki oleh seorang meneer sebagai atasannya.
"Ayah hanya seorang kepala pengurus perkebunan, nak. Bukan apa-apa."
Bukan menjadi pemilik lahan pun juga turut disyukuri bagi Fiso. Karena dengan jerih payah serta keringat ayahnya, ia bisa bersekolah dari pada anak laki-laki lain di desa. Ketika hendak turun dari automobil yang menjemput, Fiso minta diri untuk dibantu dibawakan kopor-kopornya. Sebab, satu kakinya tak bisa lurus seperti kaki manusia pada umumnya, bawaan lahir kata ibunya. Jalan pula harus diikutsertakan tongkat. Kadang Fiso masih bisa berjalan tanpanya. Jadi ia terbiasa sendiri, juga terkadang berlagak tak memiliki kecacatan agar tak merepotkan orang-orang.
Pernah diawal sekolah ia merepotkan teman-teman di sekolahnya. Juga, tak mau ia hendaki berbuat begitu lagi, apalagi kepada orang-orang di rumahnya.
"Di mana dua teman sekolahmu itu? Tak berkunjung?" tanya ibunya, ketika mendapati anaknya telah sampai pada halaman depan rumah.
"Tak jadi ikut. Barangkali sudah direpotkan saya," balas Fiso. Ia taruh tongkatnya itu, yang ke mana-mana selalu ia bawa, di punggung meja sitje. Di depan rumahnya yang agak terbuka itu terdapat teduhan pohon mangga. Keringat di punggungnya makin terasa basah.
Adiknya cepat-cepat ke belakang, lalu kembali dengan secangkir teh.