BAB LIMA BELAS
PEREMPUAN BEBAS memilih pendampingnya. Juga begitu yang asri. Bukan, jadi sasaran pria, dan dimana sasaran itu tak memiliki kendali atas pilihannya sendiri. Fiso berkomitmen setelahnya, ia ingin mencintai sosok yang pula mencintainya balik. Juga pula pada pribumi. Ia tak menaruh nego pada dirinya. Selain bukan pada apa yang ia pegang, ia tak bakal berbuat gaduh, bahkan hanya untuk mendapatkan perempuan. Bukan berarti ia dimudahkan dengan posisinya sekarang.
Seorang berdarah biru mudah saja memilih kepada siapa saja yang ingin ia kawinkan. Urusan itu nanti sajalah. Yang penting sekarang ini adalah, bagaimana ia hidup, dan bagaimana ia harus hidup untuk seribu tahun lagi. Sebab, mimpi-mimpinya kini tengah berada di depannya. Pintu terbuka lebar. Kehendaknya untuk keluar dari lingkaran yang menenggelamkannya ini sepatutnya ia tinggalkan. Selagi masih punya badan yang bisa dibawa-bawa pergi kemana-mana.
Tak ia hendaki pula untuk menjadi apa-apa yang menjadi orang-orang sebelumnya. Penting menjadi diri sendiri, juga penting sebagai kaum yang terpelajar. Juga saja langsung ia cerminkan citra orang eropa. Sebab di sekolah, mengagungkan eropa adalah satu jalan. Bahwa eropa adalah kiblatnya para kaum terpelajar. Belajarlah dari eropa, yang hidup dari abad kegelapan, hingga pencerahan. Juga lahirlah bertindak sesuai kemauan. Sebab kaum terpelajar tidak memiliki batasan-batasan orang yang tak terpelajar.
Pada akhirnya ia melancong juga kereta api dari bertujuan Buitonzorg ke Bandung. Dari bandung ia transit selama dua jam. Bertamasya mencari jajanan yang barangkali bisa mengisi perutnya, sebab selama perjalanan, yang ia dapati hanya makan-makanan eropa. Ia tak menghendaki, juga ia lebih lidah kepribumian. Rasa khas kental pribumi lebih mendarah daging kepadanya. Walau ia tak menghendaki darah sunda bahkan jawa.
Tanah kelahirannya jauh di seberang pulau. Namun, keluarga lebih memilih tinggal pada tanah kepunyaan milik saudara sedarah bangsa. Namun mereka juga mencocoki tanam pada lahannya. Selama perjalanan ke Radjamandala, ia edarkan pandang pada megahnya bukit-bukit serba hijau tanah priangan. Yang pada masanya tengah gemilang. Dan, juga ia rasai kegemilangan itu juga tertampak padanya. Walau ia harus meninggalkan keluarganya.
Melancong sendiri semasa hidup di tengah belantaranya dunia, yang mana orang-orang sukar untuk mengetahui. Semak-semak yang menyelimuti dunia, yang sebagian besar ada pada bumi. Sangat tinggi kalangan Fiso bagi pribumi. Kalangan pribumi yang masih diberi kenikmatan untuk menikmati pada apa yang ada di bumi Hindia ini. Juga pada apa-apa yang ia kehendaki. Bukan pribumi yang hidup untuk mencari mata pencaharian bertahan hidup.
Juga ia harusnya mensyukuri pada apa yang menimpanya. Sebab, bukan perkara tentang pekerjaannya namun juga apa yang berada di sekitar hidupnya. Akar permasalahan dirinya tidak lain adalah dari dirinya sendiri. Bukan apa-apa yang menghendakinya, namun apa-apa yang mendekatkannya. Setengah perjalanan telah ia lalui, juga ia baru saja mendapati perbatasan antara Bandung dan Tjikalong. Sulit untuk menemukan pribumi mana yang bisa diajak obrolannya.
Malah banyak yang ia hampiri orang-orang berdarah totok. Yang berseliweran Bandung-Batavia, begitu pun sebaliknya. Juga ia tak dapati bahasa belanda jadi latar bahasanya, walaupun ia bersekolah. Namun, ia masih pula tak mendapati pendidikan dalam bahasa belanda. Guru-gurunya pun orang-orang dari kalangan indo. Walaupun terdapat darah campuran, tidak melulu ia condong pada eropa. Juga ada di antara mereka yang menembus batasan penilaian terhadap indo.
Di bumi Hindia ini, bukan apa-apa selain tentang indo dan totok, yang selalu berada di atas pribumi. Juga tak menampak bahwa sesama pribumi juga saling mengungguli. Ia tingali rumah dengan rasa kecut di dada. Sebab, ia kehilangan orang-orang yang selama ini ia kasihi, selalu berada paling depan di dalam dirinya. Dan, setelah semua itu pudar dan hilang sekejap mata, hatinya terasa rapuh. Penyelaman diri yang lebih sering ia selami.
Tetapi bukan apa-apa selain bagaimana ia mencari jati dirinya. Mendirikan idealismenya sebagai pondasi seluruh hidupnya. Tjikalong, sebentar lagi Radjamandala. Rumor bilang, bahwa Onderneming Pangledjar sekarang sudah bersejajar dengan perusahaan-perusahaan besar di Hindia, bahkan di dunia timur. Bukan apa-apa, ia juga dapati negeri ini dapat bersaing dengan negeri tiongkok, yang diketahui memproduksi teh terbesar dunia.
Awal daun teh di Hindia juga berkat dari tiongkok. Kereta api yang ia tumpangi sama sekali tak menarik hatinya. Lalu ia lewati begitu saja, dengan perasaan yang tak sabar untuk hari ke depan. Ia ingat betul dorongannya mengapa melakukan hingga sampai sekarang ini.
"Kita lihat empat atau lima tahun lagi." kerap menuding Fiso agar terus bergerak. Walau ia tak tahu bagaimana. Barang kita sepatutnya bergerak dahulu, lalu urusan sebabnya belakangan.