BAB ENAM BELAS
SELAGI BERUSAHA untuk mendekat, Fiso menyakinkan diri, bahwa ia memang betul-betul perlu. Dan rasa ingin tahunya begitu besar pada sosok makhluk indah ini. Mengapa gadis manis dan indah ini sendirian di tengah belantara alam indah ini juga? Karena keterbatasannya dalam hal mengambil sikap, ia akhirnya harus mengalah dengan perasaan. Sebab tampak jenjang kakinya yang jangkung, kulitnya yang sawo matang, tengkuk leher sepadan dengan kebaya padanya. Ah, indah betul pemandangan itu buat Fiso.
Belum juga Fiso mengarah pada pekerjaan pertamanya. Jadi buruh upahan, juga tak mengapa. Belum juga mengurus soal kelegalan tinggal pada rumah dinas keluarga di emplasmen para pekerja, yang harus memuat bermain petak umpet dengan pengurus perkebunan. Juga asal-usul Fiso masih dinilai kurang jelas. Ia pun berpindah-pindah rumah. Dan rumah keluarga ... yang lebih sering ia tinggali. Sebab, hanya disitulah dapat merasa diterima dengan baik.
Juga keluarganya tampak menampakan kecerahan apabila Fiso tinggal pula di rumah tu. Hanya keluarga sederhana yang nampak tidak lebih suka memintanya untuk berbuat sesuatu yang lebih, ketimbang kebiasaan Fiso. Mereka juga tidak memusingkan asal-usul Fiso. Yang ia tangkap adalah rasa kebersamaan dan keluarganya di sini. Juga nampak setiap sosok terbaik dalam perannya. Ibu ..., yang tiap pagi rela pergi ke kebun dan siang untuk mengurusi orang-orang di rumah.
Hal itu saja pun ia lakukan sudah lebih dari dua puluh lima tahun. Ia menikah dengan seorang pria yang hanya memanggul nasibnya dari bekerja di pabrik perkebunan, yang kadang penghasilan yang tidak menentu. Kadang lebih sering kena potongan. Awalnya perempuan itu hidup seimbang di keluarganya. Sebelum ia dibawa kabur oleh pria yang sekarang ini suaminya. Dikaruniai lima anak, tinggal di rumah dinas milik perkebunan rupanya tak pernah meredam cinta dan kasih keluarga mereka.
"Jangan duduk di depan pintu begitu. Nanti susah dapat jodoh." ujar wanita itu, ketika mendapati Fiso bersandar di ambang pintu, saat yang ada di rumah tampak sumpek baginya. Fiso hanya membalas senyum, sekaligus tak mempercayai mitos tersebut. Sudah sering ia mendengarnya. Makin jadilah ia bebal akan perkataan itu. Ah, yang penting hidup mapan dan berkisar mengejar, barulah dapat jodoh. Ia juga kerap melewati tahap pendekatan. Bukan langsung saja pada kedua insan saling padu.
Namun proses pendekatan itu perlu. Sebab, Fiso dirasai kurang lihai dalam memainkan peran itu. Ia kerap lebih mudah mundur lebih awal, ketimbang memanggul resiko terdapat sosok wanita itu. Tak apa tidak merasa sakit hati, karena ditolak perempuan rasanya terus-menerus. Jadi diri sendiri lebih menjanjikan ketimbang cinta yang putus ditengah jalan. Kadang penilaian muncul di tengah jalan,
"Cinta itu dijemput. Bukan ditunggu." mungkin seingat dia, suaminya yang bergerak untuk padanya.
Pagi-pagi sekali, mereka sekeluarga sudah awas. Siap untuk pergi ke kebun. Hanya hari besar mereka dapat rehat. Hari raya pula masih beberapa bulan lagi. Juga Fiso dirasai sudah mulai betul-betul tahu bahwa kadang perempuan yang ia lihat belakangan hari tu, kerap terlihat di sungai pada dasar bukit rumah ini. Ia juga tak merasai apa-apa tentang bagaimana ia harus bertindak setelahnya, yang terpenting ia dapati hidup hari dan setelahnya.
Tak ia lupakan begitu jasa pengetahuan-pengetahuannya. Juga ia tuangkan pada anak-anak keluarga itu. Sebab, menganggap betul juga mengenal siapa bapak yang sering memberikan kesenangan di hati? Dialah Tuan Administratur, kata anak itu. Yang satu lagi lebih suka diam. Namun, lebih suka blusukan. Katanya tuan Administratur sangat agung, persis seperti para dewa. Kebijaksanaan dan kewibawaan tak sebanding dengan puluhan pekerja di Pangledjar.
Fiso menangkap pemikiran itu dari seorang anak yang umurnya bahkan belum genap tujuh tahun, namun, sudah berani berkat begitu. Menyamakan pria kulit putih dengan kisah-kisah mitologi agama. Sebegitu terbelakangnya pribumi? Ia pun tak menghendaki anak itu terus berkata begitu.
"Tidak seperti itu. Bilang. dia, Tuan Administratur juga manusia seperti kita. Bedanya ia seorang totok. Kepala perusahaan, juga orang yang bertanggung jawab akan perkebunan ini.
"Juga kita sepertinya tak harus menunduk begitu amat padanya. Sebab sebagaimana manusia sama derajatnya di mata Tuhan. Di mata Sang Hyang." bocah itu, ibu dan bapaknya tak banyak bicara melihat tindakan Fiso yang tak diperkirakannya. Mengapa anak yang begitu rapuh ini tampak punya kebesarannya sendiri. Mengapa juga penuh akan kobaran jiwa totok di dalamnya. Sejak pagi itu, muncul di benak Fiso. Berbeda dari hari-hari sebelumnya, Fiso berangkat lebih awal ketimbang yang lain.
Ia bekerja pada pagi hari, dan selesai pada hari pentang. Orang-orang di rumah tengah menunggunya, sebab sedari siang telah ibunya siapkan makanan untuknya. Namun, Fiso belum juga pulang, dan masih dirasai bekerja di perkebunan. Walaupun ia sebagai kuli upahan, semangatnya lebih setengah dari pada kuli tetap. Namun, lingkar pertemanannya lebih kurang daripada kuli tetap. Ia tetap pada pendiriannya, untuk bekerja dengan kemauan besar dan kebesaran hati.
Pada suatu malam, ia tebarkan obat bakar nyamuk pada permukaan, udaranya membikin panas hidung. Sepasang suami-istri yang tidur tanpa kelambu. Mereka tidur berjajar begitu saja di permukaan. Tanpa alas. Hanya ada anyaman bambu yang menghangatkan punggung sesekali. Juga rasanya tak kebagian untuk menahan kepala belakang Fiso. Rasa ingin membalikan tubuh saja, harus bersusah payah menahan rasa nyeri.