BAB TUJUH BELAS
FISO MENDAPAT pekerjaan pertama sebagai pengatur listrik di pabrik, juga ia yang menyalakan mesin pertama sebelum sesaat para pekerja mulai bekerja. Kipas-kipas dinyalakan, suara berisik mengisi tiap ruangan pada pabrik yang dipenuhi puluhan orang ini. Pagi itu, ia tak berkehendak pergi menemui perempuan di sungai. Ia lebih memilih berangkat lebih dulu dibanding orang-orang di rumahnya menginap. Pekerjaan pertama barangkali harus bergiat.
Sebab setelah mendapat upah pertama, barang ia menyewa kamar atau tempat tinggalnya sendiri. Terpenting tidak menumpang pada orang. Itu mengamati diri menurutnya. Setelah melakukan tugas pertama, ia dan beberapa orang yang turut pula dikerjakan di bagian mesin lainnya berbincang sejenak. Mereka semua pribumi ada yang tak mengerti melayu. Maka sebab itu mereka berbicara dengan bahasa daerah.
"Jangan lama-lama menyalakan mesinnya. Kadang suka marah bila ada mesin yang telat."
Tentang perkara Mardi tak diulas lagi. Seorang Ploegbass menyuruh mereka satu-persatu untuk berdiri bergantian menyebut nama.
"Abidin." orang yang berada tepat sebelumnya.
"Fiso." setelah gilirannya. "Jadi..." dan yang terakhir satu ini gak pelan menjawabnya.
"Moel." Ploegbass itu menghampirinya.
"Masih belum lagi bekerja di tempat tuan Klipeer?" tanyanya. Juga ia menjawab dengan anggukan juga rasa-rasanya masih berat matanya.
Abidin, Jadi, dan Moel turut menyalakan lampu di dalam ruangannya yang gelap itu. Barang masih membutuhkan tenaga listrik yang lebih kuat.
"Sudah periksa bagian mesin? Barang terkena hujan. Suruh nanti Moeljadi membetulkan genting." lalu Ploegbass itu pergi menghadap seorang mandor. Fiso turut terpukau atas kecakapannya dalam berbahasa melayu. Ia juga menghendaki bahasa tersebut semasa sekolah dulu. Namun ini jauh lebih menarik hatinya.
Sebab dengan latar belakang bukan priyayi dan hanya sebatas pekerja suruhan kulit putih, orang itu hendak berbicara bahasa melayu sekolahan dengan sangat baik. Moel kembali membawakan genting yang patah. Lalu melapor pada Ploegbass tadi. Dengan tanggap, Abidin segera membetulkan mesin dengan kemampuannya. Bahasa-bahasa mesin adalah makanan sehari-hari Abidin.
"Tahan ini tolong." serunya sambil nafas ditahan. Fiso mengangkat benda mirip besi yang lumayan berat itu.
Entah apa yang sedang dilakukan Abdin terhadapnya. Fiso hanya menuruti apa-apa yang diperintahkan padanya. Dirasa alat yang dibetulkannya aman, mesin kembali dinyalakan. Dan kipas-kipas kembali menyala. Bising sudah terdengar dari dalam pabrik. Fiso duduk bersandar pada punggung mesin yang ukurannya lebih dari tubuhnya itu. Entah apa yang membuatnya tertarik bekerja di tempat semacam ini. Ia hanya membutuhkan pekerjaan saja, juga uang.
Selama tak pulang ia juga butuh tempat tinggal. Selama itu pula dan selama ia masih mencari pekerjaan, ia tak bakal pulang. Mungkin dakwaan menunggu pada mulut orang-orang rumah. Abidin ikut menimbrung.
"Kapan waktu istirahatnya?" desahnya mengipas-ngipas wajah dengan topi yang telah basah oleh keringatnya. Barang ia juga harus ikut membantu Moel menggiling, sementara Moel di lantai dua, ia di lantai dasar. Moel sangat menghendaki pekerjaan dalam mengolah teh.