BAB SEMBILAN BELAS
FISO MULAI KEHABISAN kesabarannya, juga hatinya. Tak ada lagi yang perlu ia jaga, juga ia tak memiliki siapa-siapa, yang ada hanya kepemilikan dirinya, juga tujuan persarikatannya. Sarikat koeli yang juga digandrungi, di balik perlindungan para persarikatan pekerja priangan mendatangkan kemenangan terhadap dominasi kulit putih di Radjamandala. Juga ia tak menginginkan kulit putih terus menanamkan titah di atas peran pribumi dia atas apa yang telah ditanam pada bibit-bibit mereka.
Tuan administratur mereka kecewa terhadap tindakan Fiso juga rekannya, yang terus mengusahakan pergerakan pangledjar dihentikan. Digantikan dengan tujuan hidup yang lebih menjanjikan. Luput satu perhatian Fiso. Bahwa kulit putih selalu berada diatas mereka. Mereka yang katanya melawan hak tuan administratur ditindak, ditangkapi satu persatu di rumah-rumah mereka. Dua hari tiga serangkai tak terlihat. Juga Fiso semakin terasing dari bumi Radjamandala.
Namun ia masih teguh terhadap pendiriannya. Ia terus menggaungkan agar rekan-rekannya dikembalikan. Juga para pengelola bertindak seperti atasannya. Mendorong mereka untuk menyerah. Polisi mulai bersenjata, dan mereka yang tidak patuh, dijatuhi pukulan-pukulan senjata tumpul. Satu orang dari para pemogok nekat maju sendiri-sendiri. Kepalanya dipukul keras, hingga berdarah. Ia tak sadar di tengah jalan raya. Polisi mengepung rekan-rekan Fiso yang lain.
Hanya Fiso dan rekan-rekannya yang lain tanpa senjata harus menyerah jatuh di tangan para pengelola. Juga telah beberapa hari belakang ini, ia menjalankan kegaduhan, sehingga jalur pergerakan peran sempat tertunda atas ketidaknyamanan para pekerja. Tuan administratur mengirim telegram para tuan employee. Tuan employee yang lebih santai dan perendah ini, menyanggupi apa-apa yang diperintah atasannya, demi keberlangsungan hartabatnya. Fiso ditangkap dan yang lainnya dihukum atas peraduan pemerintah pusat.
Habis waktu ia mengikuti jejak-jejak yang Siti tinggalkan. Jauh sudah pencapaiannya terhadapnya. Siti sudah tak berkenan lagi. Ia jadi hampa. Palsu, juga kosong. Untuk apa hari-harinya diisi lagi? Sudah hilang semua tanpa sisa-sisanya. Mungkin bagi orang yang masih menghendaki mengejar cinta, pasti sudah putus cinta sebab memang kenyataan mengharuskan. Bukan malah ia menangisi nasibnya, ia masih ada para koeli yang butuh didengungkan suara-suaranya.
Sudah habis hatinya teriris nestapa batin sendiri. Kini para koeli menangisi sesama koeli lainnya. Sebab masih ada ruang kosong yang perlu ia isi, selama para kulit putih mengijinkan. Semua penuh sesak mengisi ruangan kosong dalam rumah dinas yang memang sengaja dikosongkan. Ada dari mereka yang diikat tangannya ke belakang. Ada pula yang harus merentangkan tangannya sebab ia tak sanggup lagi merasakan adanya aliran darah yang makin menggumpal.
Para polisi sudah berkerumun mengelilingi seluruh pemogok. Melebihi personel para pemogok. Juga perlengkapannya yang lebih banyak. Fiso merasa ini bukan polisi, ia berspekulasi bisa saja bagian dari campur tangan gubernur. Bahkan gubernur jenderal sendiri. Tak tahu, namun setelah itu mereka digiring melewati lokasi-lokasi pekerja. Tiap-tiap orang dijanjikan dipulangkan lewat kampung-kampung mereka. Namun, bagi ada yang merasa tidak punya kampung lagi, sebab kampungnya kini telah dijadikan lahan perusahaan.
Digantikan dengan berdiri-berdirinya pabrik yang belakangan ini jadi tumpuan hidup para koeli. Rumah-rumah yang seharusnya jadi tempat peristirahatan masa tuanya, diganti jadi bangunan-bangunan pengelola perusahaan. Ia banyak diharuskan membayar uang masuk kepada perusahaan dengan menyediakan sebagian besar waktunya untuk bekerja di perusahaan. Tak ada lagi penyangkalan, bahwa Fiso kini sudah habis hanya tersisa tulang-belulang.
Sebab pulang pun belum pasti, bahwa keluarganya masih mengharapkannya lagi. Sudah sepantasnya ia hidup berkelana sekarang. Hanya menjadi suatu aib bagi keluarga apabila ia menuruti kemauan para pembesar kulit putih ini. Barang mereka hanya suruhan, namun masih memihak kemana mereka ini? Berseragam layaknya pengikut setia seri ratu. Sudah matikah hati nurani sebagai sesama kaum pribumi yang tertindas ini?
Petugas itu menendang wajah Fiso dengan sepatunya yang keras. Tepat terkena kelopak mata kirinya. Kini benjolan biru menyatu dengan kulit sawo matangnya juga dekilnya tubuh pendek juga kecil itu. Pakaian yang mulai lusuh sebab sudah belakangan hari ia tak pernah tinggal dalam satu rumah utuh. Sering pindah-pindah menyebabkan ia jarang untuk membilas tubuhnya yang penuh keringat itu. Kadang hanya tempat ibadah dekat perusahaan jadi tempatnya bernaung beberapa hari.
Malam berganti dengan terburu-buru, mungkin masih ingin Fiso menikmati sendunya senja hari di perbukitan Radjmandala. Ia kini pun mengharuskan melewati pekarangan rumah-rumah pekerja, dan diharapkan agar tidak pernah kembali lagi. Seorang residen menyewa satu automobil untuk mengantarkan ia ke Tjianjur. Tempat rumah orang tuanya tinggal. Juga ia yang bakalan jadi pengolokan kaum pribumi terdidik di sana. Karena banyak sekali pinggiran kota yang hidup dengan serba pengukuhan kepala desanya disana.
Terlebih itu bapaknya sendiri. Bagaimana ia habis mengira bakal jadi seperti apa nasibnya ketika mengharuskan dihadapi perkara begitu. Belum habis terkenang kebaya merah itu, kini muncul lagi pergumpalan kelumitan masalah mengenai keluarga. Juga jati diri. Di mana sepatutnya ia taruh wajahnya? Barang dunia sudah tak menghendaki dirinya lagi. Sudah habis saja di tengah jalan. Habis sehabis-habisnya. Mengapa dunia selalu mengarahkan pada yang batil selain hatinya?
Masih banyak lagi yang seharusnya ia penuhi. Menggaungi suara-suara para koeli, yang dimana sebagian besar mereka haruslah dibuat adil. Tidak boleh disalahgunakan sebab sebagaimana hak manusia itu ditegakkan jauh di eropa sana. Di mana para pekerja sama derajatnya dengan masyarakat lain. Ia tahu itu dari Abidin, juga temannya Moel yang mengatasnamakan dirinya orang yang berpandangan pada kiri.
"Di eropa sana, sudah banyak pergolakan para koeli. Pabrik-pabrik jatuh pada tangan hak koeli. Tak ada lagi jenjangan para pengelola dengan para pekerja, yang satu sama derajatnya dengan yang lain." Mengapa betul seruan yang membara itu, pada waktu-waktu lalu? Namun, pantaskah Fiso mengamini selagi ia tunduk dengan keharuan menjadi kaum pribumi rendahan? Bahkan ia muak dengan sandiwara yang ia buat belakangan. Muak dengan tunduk kepada aturan kepada hak orang yang lebih tinggi.
Fiso telah dibawa paksa pada kawasan perkotaan Bandoeng. Barang ia tak dikehendaki menumpang pada kereta api. Automobil yang membawanya cukup melaju cepat dibanding kereta-kereta kuda yang kerap bermunculan di jalan-jalan. Sudah sepantasnya ia habiskan harga dirinya oleh para pria kulit putih. Ia minta balik lagi untuk sekedar membakar sigaretnya. Sang sopir tak mengijinkan ia barang meninggalkan automobil.