“Kamu suka tantangan? Siap bekerja di bawah tekanan?” tanya seorang pria berusia empat puluh tahunan di seberang meja. Rambutnya mengkilap seperti hasil menukar sampo dengan pernis kayu ketika mandi tadi pagi. Kemeja merahnya masih terpasang rapi. Jam di tangan kanannya mengkilap. Wajahnya menunduk melihat map berisi ijasah dan riwayat hidup.
“Di kantor Bapak ada layanan buat konsultasi ke psikiater?” balas aku. Pria itu menggeleng. Aku bangkit dari kursi kemudian melangkah pergi. Bukan hanya dari hadapan pria itu tapi aku melangkah lebih jauh keluar dari gedung yang dijadikan tempat bursa tenaga kerja. Aku lewati satu per satu orang-orang berkemeja putih dan bercelana hitam yang tengah mengantri.
Tantangan dan bekerja di bawah tekanan terdengar seperti kualifikasi untuk lowongan penjaga harimau di kebun binatang. Profesi itu gak main-main. Yang ditantang bukan lagi manusia tapi maut. Tekanannya pun mematikan. Salah sedikit, nyawa yang jadi taruhannya. Jelas, bukan itu yang aku lamar. Aku gak punya kemampuan sespesial itu.
Aku melamar posisi sebagai staf pemasaran. Posisi itulah yang paling banyak membuka lowongan di bursa tenaga kerja. Celakanya, kualifikasi yang dibutuhkan itu semuanya sama. Gak adil ‘kan sudah bekerja penuh tantangan, berada di bawah tekanan tapi gak dilengkapi konsultasi ke psikiater supaya bisa tetap waras? Bagi aku, itu condong ke perbudakan.
Sebenarnya bekerja di perusahaan lain bukan satu-satunya opsi yang aku punya. Ibu selalu membujuk aku untuk meneruskan usaha kecilnya memproduksi makanan-makanan ringan. Usaha itu sudah dirintis sejak enam tahun lalu. Sejak itu pula, aku turun tangan membantu mengantar makanan-makanan itu ke warung dan pasar.
Ketika anak-anak seusia aku masih terlelap, aku sudah bangun, membantu ibu mengepak barang, mengirimnya baru pergi ke sekolah. Aku akan berbohong kalau rutinitas itu menyenangkan. Ada kalanya aku merasa bosan. Apa daya, itulah cara keluarga kami bertahan hidup. Usaha itu bisa membuat aku menyelesaikan program pendidikan dasar yang dicanangkan pemerintah selama dua belas tahun.
Adik aku, Fajar juga memetik buah dari usaha yang dirintis ibu. Dia yang terpaut tiga tahun lebih muda dari aku, akan segera masuk SMA. Waktu luang setelah ujian sudah aku gunakan untuk melatihnya menyetir mobil. Itu cukup untuk membuatnya bisa menggantikan aku yang menyimpan keinginan untuk pergi dari Ciamis, kota kelahiranku.
Ciamis aku rasa terlalu sempit. Bukan hanya soal lapangan kerja – aku yakin sepanjang Indonesia pun sama kondisinya, tapi aku gak akan menjadi apa-apa di sini. Aku gak mau menyia-nyiakan masa muda dan berharap akan mendapat warisan usaha dari ibu. Bukannya aku gak bersyukur tapi aku pengin berdiri di atas kaki aku sendiri. Biarlah usaha ibu diteruskan oleh Fajar.
Inilah waktunya aku merayakan pergeseran dari bocah menjadi dewasa. Ini waktunya aku berusaha meraih kebebasan jauh dari orang tua dan menulis cerita aku sendiri. Sebagai anak pertama, aku ingin menjadi tulang punggung keluarga. Kalau penghasilan aku besar, ibu bisa mempekerjakan lebih dari empat pegawai seperti sekarang dan lebih santai supaya bisa menikmati hidup.
Selain keinginan untuk sukses hidup mandiri, ada alasan lain mengapa aku ingin meninggalkan Ciamis. Aku baru saja patah hati. Ya, memang klise tapi begitulah keadaannya. Dua hari lalu, Wina yang sebelum jam tiga sore kurang lima menit dan tiga puluh dua detik masih berstatus sebagai pacarku, memilih mengakhiri hubungan. Apesnya lagi, itu terjadi di tempat kami jadian.
Sebelum peristiwa patah hati itu terjadi, Wina-lah yang menahanku tetap tinggal di Ciamis. Aku dulu berpikir, kalau pun mimpiku pindah ke kota besar gak tercapai, aku bisa hidup sederhana dengan Wina di kota ini. Aku bayangkan, kami menikah di umur 25 kemudian membentuk sebuah keluarga bahagia, memiliki rumah yang gak terlalu luas dan mobil dengan stiker happy family. Bayangan itu kini kadang berputar di otakku walau aku usir jauh-jauh setelah gak sejalan dengan kenyataan.
Aku sudah menaruh curiga di hari itu. Gak biasanya Wina mengajak bertemu di hari kerja. Dia paham kalau di hari kerja, aku banyak membantu usaha ibu. Hari itu, dia memaksa. Selama dua tahun berpacaran, dia bukan tipikal orang yang suka memaksa. Sedikit argumentasi masuk akal biasanya bisa menenangkannya.
Masih terbayang jelas bagaimana pertemuan itu terjadi. Aku duduk di seberang Wina dengan wajah mesem sementara Wina cemberut. Kami hanya saling memandang. Kegiatan indah itu diganggu oleh pelayan yang datang dengan ekspresi marah.
“Kita sering ke sini, Teh. Gak usah buru-buru gitulah,” kataku mencoba menenangkan keadaan.
“Kalian udah di sini lebih dari 15 menit. Udah mah gak mesen apa-apa, minta menu juga gak. Kalau mau ikut duduk doang, itu di samping jalan ada bangku kosong,” pelayan itu menjawab ketus.
Aku langsung memesan menu paling umum bagi masyarakat Indonesia yang malas mempertimbangkan makanan lain, nasi goreng. Untuk minum, aku memesan air mineral dengan dalih menghindari minuman manis karena takut diabetes padahal aku ingin mengirit saja. Wina memesan jus stroberi dengan dalih sedang diet. Aku tahu, dia gak mau aku mengeluarkan uang terlalu banyak.
“Aku mau putus,” kata Wina tanpa tedeng aling-aling di kalimat pertama yang diucapkannya. Ketegangan sepertinya menjadi faktor dia lebih cepat menghabiskan setengah gelas jus stroberinya saat itu.
“Kenapa?”
“Aku gak bisa hubungan jarak jauh,” Wina memalingkan wajahnya seperti kasihan kalau melihatku berubah dari pria bahagia menjadi pria yang sedang patah hati.
“Kan ada HP,” aku mencoba merayu sambil memegang tangan kirinya yang dihiasi gelang perak. Dia menjauhkan tangan. Kalau ada yang melihat, mungkin akan mengira aku mencoba mencuri gelang milik Wina.