Mesin motorku sudah cukup hangat untuk bisa menempuh perjalanan panjang. Rokok di tangan kanan yang mulai habis kumatikan. Kupakai jaket, mengambil tas dan menggendongnya di punggung. Kucium tangan ibu untuk berpamitan.
Kunaiki motor kemudian mengemudikannya keluar rumah. Aku melirik ke belakang. Ada ibu dan Fajar yang melambaikan tangan di teras. Aku yakin, mereka berat melepasku pergi. Aku pun merasa berat meninggalkan mereka tapi ini waktunya. Mumpung usiaku masih muda.
Kecepatan maksimal motor ini hanyalah 80 km/jam. Kalau dipacu sampai kecepatan itu, ia akan bergetar hebat dan membuatku seperti duduk di kursi listrik. Maka dari itu, aku gak akan memaksanya bekerja terlalu keras. Lagipula, aku gak dikejar waktu.
Aku dan motorku meluncur dari Ciamis, melewati Tasikmalaya kemudian memasuki wilayah Garut. Empat jam sudah aku mengandalkan mesin tua ini. Ia tampaknya mulai kelelahan.
Akhirnya aku memilih berhenti. Gak jauh dariku adalah gerbang tol Cileunyi. Aku berhenti di sebuah warung sederhana. Pedagangnya adalah seorang pria berusia 50 tahunan. Dia tampak rapi mengenakan baju batik dan kopiah. Mulutnya mengapit sebatang rokok kretek. Tangannya dia gunakan membereskan sisa makanan dan minuman pembeli yang baru saja beranjak dari warung.
"Pak, pesan ini ya," pintaku sambil menunjuk bungkus kopi sachet bergambar kapal yang tergantung di warung.
Bapak itu mengangguk. Dia langsung mengambil gelas plastik, menuangkan isi bungkus kopi ke dalamnya kemudian mengguyurnya dengan air panas dari termos. Dia antarkan kopi hitam yang sudah diseduh ke meja di hadapanku.
"Dari mana mau ke mana, A?" Bapak itu membuka obrolan sambil duduk di kursi bersebelahan dengan makanan dan minuman yang tergantung.
"Ciamis, Pak. Mau ke Bandung" kujawab kemudian menyeruput kopi.
"Mau kuliah, A?"
"Nyari kerja, Pak."
"Oh, bagus, A. Bandung kalau gak Jakarta sekalian buat nyari kerja mah. Cuma ya, sekarang 'kan lapangan kerja gak banyak. Jangan terlalu berharap aja kalau kata saya mah," bapak ini berubah profesi menjadi tukang mematahkan semangat.
"Jangan jorok, A kalau soal kerja. Ada kesempatan apa juga, ambil aja dulu. Toh, makin ke sini, orang-orang susah kayak kita mah makin susah ngerubah nasib," lanjut si bapak diiringi tawa pedih. Ingin rasanya menyirami mulutnya yang terbuka dengan kopi panas di hadapanku.
Aku memilih diam. Kukeluarkan sebatang rokok, menyalakannya, menghisapnya dalam-dalam sambil mengistirahatkan motor. Aku memproses perkataan bapak-bapak menyebalkan yang duduk gak jauh dariku.
Bagaimana kalau memang gak ada kerjaan di Bandung? Bagaimana kalau rencana ini gagal total? Bagaimana kalau aku pulang ke Ciamis dan belum menjadi apa-apa? Pikiran-pikiran negatif itu pelan-pelan menjalar di otakku. Apa boleh buat? Aku sudah kadung berangkat. Pantang untuk pulang begitu saja. Itu hanya akan membuatku seperti bocah yang gak punya pendirian. Ini waktunya aku bertanggung jawab atas pilihanku sendiri.
"Jadi berapa, Pak, kopinya?" aku beranjak dari tempat duduk.
"Sepuluh ribu aja, A," jawabnya santai.
Pria tua bangsat. Harga kopi sachet paling mahal hanya empat ribu rupiah. Air panas gak sampai lima ribu. Mungkin dia ingin cepat-cepat pergi haji atau menjadi sultan. Kupasang wajah gusar supaya dia sadar atas kesalahannya.
"Namanya juga usaha, A," bapak itu sepertinya bisa membaca ekspresi wajahku. Bisa jadi dia punya kualifikasi sebagai pembaca mikro ekspresi wajah.
"Kembaliannya..." kukeluarkan uang dua pulih ribu, memberikannya pada si bapak dan setengah membalikkan badan.
"Buat saya, A?" potong si bapak dengan nada penuh semangat.
"Buat saya lah! Enak aja buat Bapak," aku tertawa licik bisa membalas kelakuan menyebalkan bapak ini. Dia pun memberi kembalian dengan wajah menahan kesal.
Aku cek ponsel sebelum kembali berangkat. Jalan Sekeloa, itulah tujuanku. Aku gak tahu jalanan di Bandung. Untungnya, ada aplikasi peta yang bisa menjadi penunjuk dan meminimalisir interaksi dengan orang asing. Malas saja rasanya bertemu lagi dengan orang macam bapak penjual kopi tadi.
Memasuki daerah Cibiru, terlihat sebuah tugu dengan tulisan Selamat Datang di Kota Bandung Bermartabat, Bersih, Makmur dan Bersahabat. Dua huruf di tugu itu menghilang yaitu huruf t di kata Taat dan huruf e di kata bersahabat. Bukan impresi pertama yang baik buat pendatang baru ke kota ini, pikir saya dalam hati.
Angkot, bis, mobil pribadi, taksi dan ojek online tumpah-ruah memenuhi Jalan Cibiru. Saya harus menyesuaikan diri karena pemandangan macam ini jarang terjadi di Ciamis. Kalau pun terjadi, itu artinya sudah mendekati Idulfitri atau tahun baru.
Sekitar jam setengah dua, aku tiba di alamat yang didapat dari ponsel. Sebuah rumah cukup besar dengan pagar hitam dan dinding-dindingnya berwarna krem. Kubuka pagarnya dan memarkirkan motor.