Aku gak mau menyia-nyiakan waktu di Bandung. Terbangun dengan rasa pengar di kepala gak jadi alasan buat bermalas-malasan. Jam enam pagi, aku sudah bangun. Kugunakan ponsel mencari info lowongan kerja. Jari-jariku terus bergerak mengusap layar, berharap ada sesuatu yang bisa kukejar hari ini.
Staf pemasaran, host live, content creator dan video editor. Posisi-posisi itulah yang paling banyak muncul di iklan lowongan kerja di internet. Sialnya, aku gak punya kemampuan menjalani profesi-profesi itu.
Staf pemasaran bukan opsi yang bagus. Aku gak bisa bekerja dalam tekanan. Hanya orang-orang bermental baja yang bisa melakoninya. Dikejar target kunjungan dan pencairan cukup membuatku pusing bahkan sebelum mencobanya.
Host live, aku rasa jadi pekerjaan paling sulit yang aku temui ketika berselancar di internet. Membawakan acara dan berinteraksi secara daring dengan penonton perlu kemampuan spesial. Mereka melakukannya selama berjam-jam untuk menjual produk. Aku pernah berlatih mencobanya. Kurang dari semenit, gak ada kata-kata yang keluar dari mulutku.
Content creator terasa paling mungkin aku tekuni. Aku cukup kreatif ketika di sekolah dulu. Nilai bahasaku juga bagus tapi aku gak yakin bisa membuat karya yang diminati orang-orang. Karyaku pernah dimuat di mading selama sehari karena dipaksa diturunkan oleh Kesiswaan. Aku cuma mengutarakan opiniku bahwa razia menjadi alat opresi guru terhadap siswa. Aku rasa, orang-orang terlalu sensitif menerima kritik.
Video editor menjadi profesi yang paling jauh dari jangkauanku. Aku gak punya pemahaman software dan perangkat yang mumpuni untuk mengedit video. Ada pun laptop yang pernah kugunakan, hanya berisi software untuk mengerjakan tugas dan membuat pembukuan usaha ibu.
Miris memang. 12 tahun mengikuti program pemerintah, aku gak punya kemampuan khusus ketika lulus. Aku gak mau terlalu jauh memikirkan siapa yang salah. Itu hanya membuatku pusing.
Perhatianku terhenti pada informasi tentang bursa tenaga kerja. Ya, bursa tenaga kerja. Usaha terakhirku di Ciamis mengikuti kegiatan yang sama. Hari ini adalah hari terakhir. Aku gak punya pilihan selain mencobanya.
Kupakai kemeja putih setengah kusut karena belum sempat disetrika. Celana panjangku pun bernasib sama. Aku gak tahu di mana Saldi dan Reza menyimpan setrika jadi aku pakai saja kemeja dan celana dengan kondisi seadanya.
Jam tujuh pagi, aku berangkat dari kontrakan. Di tasku, ada sepuluh lamaran serta riwayat hidup sebagai modal buatku melamar. Sasana Budaya Ganesha, itulah tujuanku. Ternyata jarak yang gak terlalu jauh menghabiskan waktu sekitar setengah jam untuk sampai di tujuan.
Antrian sudah panjang untuk memasuki gedung. Aku masuk ke dalam barisan orang-orang yang kebanyakan menggunakan kemeja putih dan celana hitam, persis sepertiku. Setiap setengah menit sekali, kaki kami masing-masing melangkah maju. Kurang lebih 12 panitia berjaga di pintu masuk. Mereka memastikan gedung gak terlalu dipenuhi oleh para pencari kerja.
Beberapa orang di kiri kananku mencoba mengobrol. Aku memilih mendengarkan saja. Dari beberapa percakapan yang aku dengar, mereka saling bertanya lulus dari mana, pernah bekerja atau belum. Gak sedikit yang bilang bahwa mereka punya gelar S1.
"Lulusan dari mana, Kak?"
"Unpad"
"UGM"
"Unpar"
Ada perasaan inferior menghajar niatku bekerja karena harus bersaing dengan orang-orang yang pendidikannya lebih tinggi.
"Udah berapa kali ikut bursa tenaga kerja, A?" perempuan di barisan samping bertanya.
"Ini kedua kali, cuma buat di Bandung ini yang pertama. Kamu?" aku beranikan diri melihat ke arah perempuan itu. Rambutbya dibiarkan terurai sampai pundak. Cantik juga, pikirku.
"Pertama juga soalnya baru lulus SMA. Emang asalnya dari mana?"
"Ciamis. Ngomong-ngomong, saya Tara," kataku menyodorkan tangan mengajak kenalan. Kulepas senyuman paling manis yang aku bisa pasang. Aku yakin, sebagai orang yang bernasib sama - lulusan SMA, tawaran berkenalan ini gak akan ditolak.
"Aku Sisi," sambil membalas sodoran tanganku.
"Gak sama temennya ke sini?"
"Nggak. Temen-temenku mau siang ke sininya. Aa sendiri?"
"Sendiri juga," jawabku. Otakku seketika mencari topik obrolan. Siapa tahu Sisi ini bisa jadi teman baik atau lebih dari itu.
"Kalau kamu sih, kayaknya gak bakal susah dapat kerjaan," aku memancing.
"Gimana bisa?"
"Penampilan kamu 'kan menarik."
"Jadi, kamu nilai orang karena penampilannya menarik doang bukan karena kemampuannya?" nada bicara Sisi mulai meninggi.
"Gak juga. Lihat aja kualifikasi lowongan kerja. Ada poin berpenampilan menarik. Jadi, jangan salahin saya soalnya itu yang tertera," aku membela diri.
"Menarik 'kan relatif. Semua orang punya selera masing-masing."
"Tapi kalau kamu mah absolut," aku merasa bangga bisa merayu dengan cara yang halus. Di sisi lain, aku merasa geli sendiri. Untungnya, Sisi tertawa mendengarnya padahal aku serius berpikir bahwa dia perempuan dengan paras menarik.
Sekitar jam setengah sembilan, aku baru bisa masuk. Aku dan Sisi bersama-sama melihat-lihat tenant perusahaan-perusahaan di dalam gedung. Aku sebar lima map berisi lamaran dan riwayat hidup ke beberapa tenant yang membuka lowongan untuk lulusan SMA. Lima lagi, aku simpan kalau-kalau ada lowongan lain.
Sisi lebih banyak menyebar lamaran. Mungkin pada enam atau tujuh perusahaan. Dua di antaranya malah langsung mewawancarai dia. Aku yakin, itu karena penampilannya. Berhubung dia diwawancara, kami sempat terpisah.