Aku terbangun oleh alarm pada jam setengah enam. Aku gak ingat jam berapa aku tertidur semalam. Jam dua, aku masih bisa mendengar secara samar-samar Reza sedang membacakan puisi Chairil Anwar yang berjudul Aku. Setelah itu, dia dan Saldi menyanyikan Rayuan Pulau Kelapa. Dalam ingatanku, Saldi terbawa emosional dan meneteskan air mata.
Punggungku terasa sedikit remuk karena aku tertidur di sofa. Mataku panas karena kurang tidur. Kepalaku rasanya berputar-putar seperti hamster sedang menghabiskan waktu luang. Ingin rasanya melanjutkan tidur tapi resikonya aku gak dapat kerjaan. Nasib orang susah, gak kenal waktu berleha-leha di pagi hari. Aku bangun dari duduk kemudian bergegas mandi.
Jam enam kurang sedikit, aku sudah siap untuk berangkat. Kemeja putih yang kemarin aku pakai, aku gunakan lagi karena cuma ini yang kubawa. Pun dengan celana hitamnya. Nanti sore, aku berencana membeli kemeja dan celana baru untuk keperluan kerja. Memakai kemeja yang sama selama berhari-hari tanpa dicuri dipastikan akan membuat teman-teman kerjaku pingsan karena keracunan bau badan.
Aku berniat menelepon ibu. Aku membutuhkan doa beliau supaya rencanaku berjalan lancar. Niat itu aku tunda dulu. Aku belum menandatangani kontrak kerja. Kata orang, itu takabur. Aku gak percaya hal-hal semacam itu sebenarnya tapi demi kebaikan, aku melawan kepercayaanku. Nanti, setelah semuanya resmi, baru aku akan menelepon ibu.
Saldi dan Reza masih tertidur di sofa ruang tamu. Aku melangkah ke teras. Kunyalakan motor supaya mesinnya hangat. Aku duduk di teras, mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Sinar matahari yang hangat menerpa wajah dan badanku. Di satu sisi, sinar itu seperti membangunkanku. Di sisi lain, kepalaku rasanya makin pusing.
Kopi. Mungkin, itu solusi terbaik di pagi ini. Sedikit kafein semoga saja bisa meringankan kepalaku yang seperti tertindih beban seberat ratusan kilogram. Saldi dan Reza punya kopi di dapur. Mereka mempersilakan aku menyeduhnya kalau perlu. Pagi itu, aku mau cara lain. Di seberang, ada warung yang terlihat menggantungkan berbagai merk kopi sachet. Aku pikir bisa sekalian berkenalan dengan tetangga.
“Masih berat kepalanya, A?” tanya penjual di warung. Dari penampilannya, aku perkirakan berusia lima puluh tahunan.
“Berat?”
“Itu matanya masih merah,” jawabnya seraya senyum seakan-akan dia tahu apa yang aku kerjakan semalam. Kubalas dengan cengiran masam.
“Mau ini dong, Pak. Tolong sekalian diseduh, bisa ‘kan?” pintaku sambil menunjuk kopi sachet bergambar kapal yang tergantung. Dia mengangguk.
“Baru di sini ya, A?” kata bapak itu. Tangan kanannya membuka bungkus kopi sachet, menuangkannya ke gelas plastik bekas air mineral kemudian menyeduhnya dengan air panas. Tangan kanannya lalu memegang bagian atas gelas yang gak panas. Dia sajikan kopi ke atas etalase makanan di hadapanku.
“Iya, Pak. Saya Tara, temannya Saldi sama Reza yang tinggal di seberang. Jadi, berapa kopinya?”
“Tiga ribu, A. Ngomong-ngomong saya Amri. Kalau butuh apa-apa, bisa panggil saya ya, A.”
“Iya, Pak,” kuberikan uang tiga ribu untuk membayar kopi. Akhirnya aku menemukan penjual kopi yang mengerti penderitaan ekonomi anak muda di luar Ciamis. “Saya ikut duduk di sini dulu sambil ngehangatin motor. Boleh ‘kan?”
“Boleh dong, A. Aa mau kerja apa kuliah nih? Pagi gini, udah rapi aja.”
“Kerja, Pak. Hari pertama.”
“Mantap. Kerja di mana, A?” Pak Amri mulai keluar dari warung dan berdiri di pintu. Dia sepertinya ingin lebih jelas melihatku.
“ARetail, Pak. Di Jalan Jakarta,” kopiku mulai hangat dan bisa dinikmati.
“Aa jadi apa di sana?” basa-basi dari bapak ini rasanya terlalu mendetail.
“Coba tebak, Pak,” aku menantang Pak Amri.
“Office boy?”
“Bukan, Pak.”
“Emm, sales?”
“Bukan juga, Pak. Coba lagi, coba lagi!” lagi-lagi sales atau marketing. Profesi itu benar-benar seperti menghantui.
“Manajer?”
“Bukan, Pak. Amin. Semoga secepatnya jadi manajer,” kataku sambil mengusapkan kedua tangan ke wajah.
“Apa atuh? Saya mah gak ngerti posisi-posisi di perusahaan,” kata Pak Amri mulai frustasi.
“Staf gudang, Pak.”
“Bapak minta tolong, boleh gak, A?”