Pantang Pulang

Diatri Kusumah
Chapter #5

5. Bualan Pengangguran

Jam setengah satu siang, aku terbangun di kamar kontrakan. Perasaan kesal karena mengalami kesialan masih menempel jelas di ingatan. Kata orang, suasana hati yang buruk di pagi hari akan terbawa seharian. Aku gak mau itu terjadi dan mulai mencari pengalihan. Membuka ponsel dan melihat sosmed malah membuatku bosan. Aku memutuskan main ke warung Pak Amri di seberang.

Sampai di warung, aku membeli sebungkus rokok dan air mineral. Sebetulnya, aku masih punya stok rokok di kontrakan. Aku membeli rokok baru supaya punya alasan saja untuk nongkrong daripada sendirian.

“Kok udah beres lagi kerjanya, A?” Pak Amri membuka pembicaraan.

“Iya, Pak. Gagal saya kerja di tempat yang tadi pagi diceritain,” jawabku dengan nada seadanya karena malas mengungkap kegagalan untuk kedua kalinya hari ini setelah pada Saldi.

“Kok bisa gagal?”

“Jadi, gini ceritanya, Pak,” kataku dengan nada serius. Kubuka bungkus rokok yang baru dibeli, mengambil sebatang dan menyalakannya. Aku butuh rokok untuk menenangkan diri. Aku harap, Pak Amri akan memberi wejangan yang membuat kekesalanku reda.

“Mungkin Aa kurang amal,” ujar Pak Amri sambil cengar-cengir mendengar ceritaku. Mendengar konsep amal dan kesialan bukanlah hal yang kuharapkan dalam konsisi menyedihkan seperti ini. Berhubung kesal, aku mengalihkan topik pembicaraan menjadi sepakbola. Ya, topik ini selalu berhasil membuat obrolan antara dua lelaki terus melaju.

Tiga puluh tiga menit sudah aku nongkrong di warung Pak Amri. Aku memutuskan pulang dengan alasan ingin menonton berita. Tentu saja aku berbohong. Siapa yang sudi menonton berita ketika sedang ingin marah-marah? Kebohongan itu suka gak suka, berhasil membuatku pulang ke kontrakan tanpa menyinggung perasaan Pak Amri.

Aku ingat sesuatu yang mungkin akan meredakan kekesalan di hari ini. Ada map dari Sisi yang aku simpan di tas. Aku buka tasku, mengeluarkan map berwarna kuning. Berkasnya aku tarik keluar. Ada surat lamaran dan riwayat hidup punya Sisi. Bagian alamat dan nomor induk kependudukannya sudah dicoret. Dia pasti curiga aku akan mendaftarkan identitasnya untuk pinjol.

Sisi Ramayanti nama lengkapnya. Dia lahir di Bandung, 13 Juli 2006. Di bawahnya, ada nomor HP. Aku simpan nomornya kemudian langsung mencoba peruntunganku dengan menghubunginya.

"Selamat siang, Kak Sisi. Perkenalkan saya Tara, agen asuransi Tolak Bala. Saya minta sedikit waktunya nanti sore atau malam. Mungkin kita bisa bicara empat mata sambil makan. Kakak boleh pilih tempatnya di mana sekaligus mau dijemput atau nggak. Saya tunggu konfirmasi dari Kakak, secepatnya." Kukirim pesan lewat WhatsApp pada jam dua belas lewat lima puluh tiga.

"Saya belum tertarik ikut program asuransi karena kondisi keuangan belum stabil. Mungkin Kakak bisa coba lagi barangkali tahun depan," balas Sisi dua puluh enam menit kemudian yang membuatku bingung apakah dia serius atau mengerjaiku saja.

"Saya gak menawarkan asuransi, Kak. Gak menawarkan pekerjaan juga karena saya masih nganggur. Mungkin kita bisa bikin sesi berbagi pengalaman antara sesama pengangguran. Ttd, pria yang menemui Kakak di bursa tenaga kerja."

"Oh, Tara. Akhirnya aku ingat. Aku pikir, kamu gak akan ngehubungi. Biasanya cowok langsung ngehubungi begitu dikasih nomor HP."

"Makanya aku kasih jarak sehari supaya beda sama cowok-cowok lain," aku berbohong karena sore dan malam kemarin, pikiranku belum didatangi nama Sisi. "Gimana soal tawarannya? Bisa?"

"Boleh. Jam lima aja. Cuma kalau ke sini, bapakku galak."

"Kalau gitu, kita ketemu di luar aja. Aku belum siap minta ijin nikah sama bapak kamu. Mau di mana?" bertemu bapak-bapak galak setelah mengalami keapesan di pagi hari sepertinya akan membuat hariku bertambah buruk. Semoga aja Sisi mau bertemu di luar.

"Di Pengecap Kopi aja, ya. Biar gak terlalu jauh dari sini," tutup Sisi yang aku balas dengan emoji jempol biar dia gak merasa aku terlalu antusias.

Aku buka lemari mencari pakaian untuk bertemu Sisi. Aku ingin memberi impresi yang bagus. Hal itu membuatku sedikit tegang karena khawatir beberapa hal. Terakhir kali aku merasakan ketegangan yang sama adalah ketika aku kencan pertama kali dengan Riana dua tahun lalu.

Waktu itu, aku berencana berkencan sore hari jam empat. Aku sudah menyiapkan kemeja tangan pendek dan jins hitam. Sayangnya, hujan deras mengguyur Ciamis sampai waktu kencan. Aku yang belum sempat pulang ke rumah, terpaksa mengenakan seragam karena takut terlambat menjemput. Ketika di tempat makan, kami dilihat orang-orang. Mereka melihat kami seperti kakak perempuan yang sedang menemani adik lelakinya makan.

Aku menimbang beberapa opsi. Ada kemeja merah yang bisa kupakai. Kalau memakai kemeja itu, aku akan terlihat seperti agen MLM yang memprospek calon downline-nya. Kuputuskan menggunakan kaos hitam polos saja dengan bawahan chino berwarna hijau tua. Dengan begini, aku terlihat gak terlalu berusaha membuat Sisi terkesan.

Jam empat lebih dua puluh, aku tinggalkan kontrakan untuk berangkat ke Pengecap Kopi. Jalanan gak begitu macet. Dalam sejam, jalanan akan terhambat seiring dengan orang-orang kantoran pulang kerja. Aku sampai jam lima kurang tiga.

Lima menit kemudian, Sisi datang. Dia mengenakan kemeja krem dengan celana jins biru. Penampilannya jauh lebih menarik ketika tubuhnya gak dibalut kemeja putih dan rok hitam. Dia duduk di kursi seberangku. Kami terpisah oleh meja. Meski begitu, aku bisa melihat jelas wajah cantiknya yang dipoles oleh mekap minimalis.

Aku memesan cafe latte dan nasi goreng karena ini waktunya aku membuka jendela makan hari ini. Aku berbohong, aku sebetulnya lapar saja karena dari pagi hanya minum kopi sachet. Sisi memesan es kopi susu dan roti srikaya. Kami mulai menikmati hidangan ketika semua pesanan sudah diantarkan ke meja.

Kurang dari lima menit, nasi goreng di meja hanya tersisa piringnya. Sisi mengikik melihatku makan dengan lahap. Dia menyantap roti dan meminum kopinya pelan. Mungkin, dia merasa dirinya sedang memerankan anggota monarki Inggris yang tengah menyantap teh dan biskuit.

"Udah ada panggilan buat wawancara?" kubuka dengan topik yang gak ringan-ringan amat.

"Ada. Besok pagi jam setengah delapan di Hotel Grand Luxury. Kamu gimana?"

Lihat selengkapnya