Pantang Pulang

Diatri Kusumah
Chapter #6

6. Hedonisme

Ada dua hal yang aku incar dan perlu kutegaskan lagi ketika memutuskan pindah ke Bandung yaitu pekerjaan dan kebebasan. Urusan pekerjaan, aku belum mendapatkannya. Aku menghibur diri mengatakan itu gak buruk-buruk amat. Sampai sekarang baru tiga hari yang aku lewati. Urusan kebebasan, aku sudah dapat dan mulai menikmatinya. Apalagi didukung oleh kegilaan dua sahabatku, Saldi dan Reza yang selalu punya cara berhura-hura.

Insomniac. Itu nama kelab yang kami datangi malam ini. Kami tiba sekitar pukul sebelas malam. Ada antrian cukup panjang di gerbang masuk. Tiga orang petugas keamanan berjaga dan memeriksa satu per satu pengunjung sebelum diperbolehkan masuk.

"Urang belum dua satu umurnya. Emang bisa masuk?" tanyaku pada Saldi dan Reza yang berjalan di depan.

"Udah, tenang aja. Urusan gini mah, serahin sama si Reza," Saldi mencoba menenangkanku.

Reza berjalan paling depan, diikuti aku dan Saldi di belakang. Alih-alih ikut mengantri, Reza membawa kami langsung menghadap ke petugas keamanan. Aku gak bisa mendengar jelas apa yang mereka bicarakan. Yang pasti, seorang petugas keamanan mempersilakan kami masuk tanpa harus menunggu giliran di antrian.

Begitu masuk, suara musik elektronik langsung menghajar kupingku. Lampu kelap-kelip berputar-putar. Tempat ini berukuran persegi panjang dengan panjang sekitar tiga puluh meter dan lebarnya lima belas meter. Di kiri kanan, ada meja yang sebagian sudah terisi. Ada dua baris di kiri kanan. Barisan paling luar, dibuat lebih tinggi. Di bagian tengah ada panggung untuk DJ dan di depannya ada ruang kosong untuk pengunjung menari, berdansa atau melakukan berbagai kegilaan ketika setengah kesadaran mereka dilahap alkohol.

Kami duduk di meja barisan paling luar sebelah kanan dengan sofa yang berjarak kurang lebih sepuluh meter saja dari panggung. Seorang DJ pria terlihat sibuk menggunakan tangan kanan memainkan turntable di depannya dan menahan headphone di telinga dengan menggunakan tangan kirinya. Aku gak tahu lagu apa yang diputar karena aku gak begitu mengikuti musik elektronik.

Seorang pelayan pria menghampiri Reza yang duduk di sofa menghadap ke panggung. Reza berbisik ke dekat telinga pelayan. Tiga jari kanan Reza diangkat ketika berbicara. Bising suara musik benar-benar memekakkan telinga. Mau gak mau, aku harus meninggikan volume suara saat berbicara.

"Di, kok bisa kita gak antri dulu waktu masuk sini?" aku bertanya pada Saldi dengan seperempat kemampuanku untuk berteriak.

"Reza sering ke sini. Jadi, pegawai sini udah pada kenal sama dia. Gak bakal ada pemeriksaan kalau masuknya sama dia."

Gak lama kemudian, tiga botol Jack Daniels dihidangkan pelayan ke atas meja lengkap dengan enam botol minuman soda berwarna cokelat gelap dan enam sloki. Sebuah termos berisi es batu diantar oleh pelayan lainnya.

"Ra, dua hari ini kita minumnya Amer. Sekarang minum yang enakan," kata Reza sambil menuangkan minuman ke tiga sloki.

Reza meminta kami minum tanpa dicampur soda. Rasanya biasa saja. Baunya lebih enak dibanding minuman-minuman yang pernah kucoba. Putaran kedua, ketiga, keempat, kelima kami jajal. Beberapa kali kami campur dengan soda. Satu botol minuman isinya mulai berkurang. Mungkin, sepertiganya.

Aku lihat sekeliling. Pengunjung tempat ini kebanyakan anak-anak muda berusia dua puluhan. Ada sebagian kecil juga yang berusia tiga dan empat puluhan. Mereka mengobrol, menggerak-gerakkan kepala mengikuti irama musik dan ada pula yang mulai berdansa baik di meja atau lantai dansa.

Minuman itu mulai bereaksi. Kepalaku mulai sedikit pusing. Tiga orang perempuan mendatangi meja kami. Perempuan pertama memeluk Reza. Dua lagi bersalaman dengan Reza. Satu perempuan duduk di sofa bersama Reza. Dua lagi duduk di samping Saldi. Keberadaan dua perempuan itu membuatku harus bergeser sampai mentok di kiri sofa.

"Aku Lala," kata wanita yang duduk di samping Saldi kepadaku mengajak bersalaman. Aku membalas uluran tangannya dan memperkenalkan namaku.

"Itu Meta," lanjutnya sambil menunjuk temannya yang duduk di ujung sofa. "Mau ngobrol sama dia?"

Aku gak tahu harus merespon bagaimana. Aku bukan orang yang bisa mudah mengobrol dengan perempuan. Tanpa menunggu jawabanku, Lala meminta Saldi bertukar posisi duduk dengan Meta.

Saldi terlihat begitu asyik mengobrol dengan Lala. Begitu juga Reza dengan perempuan yang aku gak tahu namanya siapa. Aku? Ikut kontes adu kuat menutup mulut dengan Meta di sampingku. Aku gak pandai mencari topik pembicaraan, kecuali ketika bersama Sisi.

Meta gak mengeluarkan barang sekata pun. Daripada dipakai berbicara, mulutnya lebih sibuk menenggak minuman dari sloki dan menghisap rokok.

"Kamu siapa namanya? Tara?" kata Meta mendekatkan mulutnya ke telingaku.

"Iya, Tara."

"Kayak nama cewek, ya?" ucapnya sambil tersenyum dan menggerakkan badan menikmati musik. Aku balas dengan senyuman saja karena malas menanggapi pernyataan yang sudah pernah kudengar ratusan kali.

Lihat selengkapnya