Pantang Pulang

Diatri Kusumah
Chapter #7

7. Perihal Sakral

Aku terbangun cukup awal. Jam delapan pagi. Bukan karena rajin atau aku tipikal yang selalu bangun pagi melainkan ada panggilan alam yang mengharuskanku membuang kandungan air dalam tubuhku di kamar mandi yang gak bisa ditunda-tunda. Aku berjalan ke kamar mandi. Belum ada kehidupan di kontrakan. Kutuntaskan panggilan alam yang tadi menggangguku ke kloset kamar mandi.

Segelas air putih kubawa ke ruang tamu. Aku duduk di sofa lalu menyalakan rokok. Baru beberapa hisap, Meta turun dan menghampiri.

“Boleh pinjem baju?” kata Meta sambil membetulkan gaunnya menandakan dia gak nyaman untuk terus memakainya. Kaosku terlalu besar untuk tubuh Meta yang tingginya kurang lebih seratus enam puluh centimeter. Kaos yang sepanjang di bawah pinggang, di Meta menutupi setengah pahanya.

Aku terpaksa menurutinya. Meta mengikutiku masuk ke kamar. Kuambilkan baju dari tumpukan paling atas di lemari lalu memberikannya pada Meta. Aku kembali turun ke ruang tamu untuk melanjutkan kebahagiaanku yang terganggu, merokok.

“Makasih ya udah ngasih pinjem kamar kamu,” kata Meta sambil berjalan mendekat, duduk di sampingku, meminum air putih dari gelasku lalu menyalakan rokok milikku. Mungkin pagi ini dia sedang bermain peran sebagai perempuan parasit yang terus gak mau susah dan memilih menyusahkanku.

Belum sempat kujawab, Saldi datang kemudian duduk di kursi seberang aku dan Meta. Rambutnya yang bergelombang masih acak-acakan. Mulutnya tersenyum, alisnya naik turun. Dari senyumnya, aku tahu pria bangsat ini punya pikiran kotor terhadapku. Aku tunggu apakah pradugaku benar.

“Ini masih pagi, loh. Masa udahan lagi bulan madunya?” tanyanya dengan senyum licik.

“Kamu gak ngapa-ngapain aku ‘kan tadi?” Meta terpancing pertanyaan Saldi.

“Gak lah! Aku gak mungkin macem-macem sama benda mati,” sangkalku.

“Benda mati?” Meta bingung.

“Iya, kamu. Kamu tidur di kasur, gak bergerak sama sekali,” jelasku sambil menirukan posisi tidur Meta yang melintang dan menghabiskan ruang di kasur.

“Dia masih polos loh, Met. Tanya aja masih perjaka apa nggak,” Saldi terus meledek. Saldi bangsat.

“Emang iya?” Meta malah melanjutkan. Aku pura-pura menjadi manekin supaya gak menjawab pertanyaan dari kedua manusia ini.

Harga diriku terselamatkan oleh Lala yang keluar dari kamar Saldi. Beberapa detik kemudian, giliran Reza yang keluar dengan perempuan entah siapa namanya dari kamar. Perempuan itu tampak terburu-buru. Reza sudah membawa kunci mobil.

“Yuk, Met, balik. Aku masuk kerja jam dua belas nanti,” ajak perempuan itu.

Lala kembali masuk ke kamar Saldi, membereskan barang-barangnya. Begitu pun Meta yang masuk ke kamarku membawa tas dan gaunnya kemudian turun ke ruang tamu.

“Nanti aku balikin baju kamu ya,” kata Meta. Dia mencium pipiku kemudian pamit pulang.

“Ra, maneh tunggu di kontrakan, gak apa-apa ‘kan? Mobilnya penuh. Kalau ketahuan polisi, nanti ditilang lagi,” pinta Reza. Aku mengiyakan. Mereka berlima berangkat dari kontrakan jam sepuluh pagi.

Aku gak mau menghabiskan pagi dengan kegiatan gak produktif dengan hanya duduk-duduk di sofa ruang tamu atau tiduran di kasur kamar sambil memainkan ponsel. Maka dari itu, aku memutuskan melakukan sesuatu yang bermanfaat yaitu nongkrong ke warung Pak Amri.

“Pak, biasa,” kataku pada Pak Amri yang tampak segar pagi itu. Kata biasa itu bisa dia terjemahkan dengan baik. Dia seduh kopi bergambar kapal dengan air panas di gelas plastik kemudian menghidangkannya ke sampingku yang duduk di kursi kayu.

“Masih lemas, A?” tanyanya.

Aku tahu maksud pertanyaan Pak Amri ke mana. Mustahil dia gak melihat tiga perempuan keluar dari kontrakan karena sejak pagi, dia selalu sudah siap menunggu pembeli di warungnya. Bukan hanya Saldi yang punya otak kotor ternyata terhadapku. Untuk merespon Pak Amri, aku mengaplikasikan peribahasa diam adalah emas.

“Saya tahu kok, A” lanjut Pak Amri menjadi orang bergelar Bapak-Bapak Paling Tahu pagi ini. “Saya juga ‘kan pernah muda.”

Tentu saja, Pak. Gak ada manusia yang terlahir, langsung tua. Kecuali, Bapak ini Benjamin Button. Aku biarkan saja Pak Amri dengan segala praduganya dengan harapan, dia jengah gak aku respon pertanyaan-pertanyaannya. Sepertinya, harapanku gak tercapai.

“Tenang aja, A. Saya bukan tipe orang yang usil,” Pak Amri punya determinasi tinggi untuk mengorek-orek sesuatu yang gak seharusnya dia tahu.

“Sebelum ketemu ibu, saya juga sama nakalnya kayak Aa,” kini Pak Amri menyamakan masa mudanya yang nakal denganku. Brilian.

“Emang senakal apa dulu, Pak?” aku balik bertanya karena kasihan kalau percakapan ini hanya satu arah.

“Ya, kenakalan pria aja gimana. Perempuan, alkohol, obat-obatan sama sedikit kriminal. Tapi saya udah tobat sejak nikah sama ibu.”

“Saya mah gak nakal sama obat-obatan dan kriminal tapi, Pak,” aku menyanggah.

“Berarti betul habis nakal sama perempuan tadi?” Pak Amri sumringah berhasil menjebakku.

“Itu temen, Pak. Gak ada apa-apa,” jawabku. Pak Amri menepuk tanganku. Bapak-bapak ini sepertinya punya isu mempercayai keterangan orang lain.

Lihat selengkapnya