Hal yang kusukai dari Bandung adalah masalah waktu. Jam sepuluh malam lebih sedikit seperti sekarang saja, jalanan masih cukup ramai. Di sini, suasana masih hidup. Banyak orang yang masih berdagang di pinggir jalan, kedai kopi masih penuh oleh pengunjung dan tempat hiburan mulai dikerubungi para penikmat malam. Beda dengan Ciamis yang para penduduknya sudah memilih pulang ke sangkarnya sejak jam delapan malam.
Aku memarkirkan motor di seberang mall daerah Balubur. Para pegawai mulai keluar. Ada yang seorang diri, ada juga yang berkelompok. Meski jalanan relatif lengang, banyak juga orang yang melakukan kegiatan sepertiku, menjemput teman, pacar, istri atau apapun itu. Kurang dari sepuluh menit, Meta yang menggunakan jaket di luar seragamnya keluar dari mall kemudian menghampiriku.
“Mau makan dulu apa langsung pulang?” tawarku.
“Makan dulu yuk? Ada tempat yang enak gak jauh dari sini,” jawab Meta. Dia menunjukkan arah ke tempat yang bernama Sintari.
Sintari cukup ramai malam ini. Ada sekitar dua puluh meja dan sebagian besar sudah terisi oleh para pengunjung. Untungnya, aku dan Meta kebagian duduk di salah satu meja yang berada di tengah. Menu yang tersedia di sini cukup variatif. Ada ayam goreng, pisang, roti bakar, mi instan dan berbagai minuman macam kopi serta susu murni.
“Sering ke sini?” tanyaku setelah Meta memesan roti bakar keju dan teh susu hangat sedangkan aku hanya memesan kopi.
“Lumayan. Lokasinya gak jauh dari tempat kerja sama harganya juga murah,” sahut Meta yang melepas jaket kemudian menyimpannya di kursi kosong di sebelahnya. “Gimana sejauh ini Bandung menurut kamu?”
“Beda jauh dari Ciamis. Gak aneh sih harusnya. Kan ini kota besar.”
“Betah di sini?”
Aku mengangguk. “Di sini lengkap. Bisa buat seneng-seneng, bisa buat nyari duit juga. Mudah-mudahan sih besok aku diterima kerja di tempat kerjanya Via.”
“Semoga, ya. Aku juga betah di sini. Lebih banyak hiburan daripada Bogor. Ritme hidupnya juga lebih enak, gak terlalu intens,” kata Meta sambil mengikat rambut panjangnya kemudian menyalakan rokok.
“Kalau gak mau yang intens, coba pindah ke kota asalku. Bener-bener santai.”
“Beneran? Terus kenapa kamu pindah ke sini?” Meta merespon dengan nada penasaran.
“Beneran. Pagi-pagi udah pada nongkrong, berjemur, ngerokok, minum kopi. Pada santai banget di sana.”
“Kok bisa? Gak pada kerja?”
“Gak. Mereka nganggur makanya punya banyak waktu luang pagi-pagi,” jawabanku bikin Meta mengikik. Teganya perempuan ini menertawakan kemalangan orang-orang yang gak bekerja.
Meta menceritakan bagaimana sulitnya dia menyeimbangkan waktu untuk kuliah dan bekerja. Awalnya, dia bekerja supaya punya uang tambahan. Buat hura-hura, katanya. Lama-kelamaan, dia merasa mulai bisa hidup mandiri. Kuliah tetap dijalani untuk memenuhi tanggung jawabnya pada orang tua karena sudah mengeluarkan biaya mahal untuk melanjutkan pendidikan.
“Jadi, jam berapa besok wawancara?” Meta bertanya sambil menyantap roti bakar yang baru diantarkan pelayan ke meja kami.
“Jam delapan?” jawabku di tengah kenikmatan menyeruput kopi panas.
“Sekarang mau jam sebelas. Kita masih di sini. Gak takut terlambat?”
“Gak bakal. Aku gak bakal terlambat atau ngulangin kesalahanku kemarin lusa,” aku ceritakan pada Meta tragedi ban kempes yang membuat statusku sebagai pengangguran belum berubah. Meta takjub. Bukan, bukan pada keinginan kuatku untuk mendapat pekerjaan tapi pada level kesialan yang terjadi di hari aku nyaris mendapat pekerjaan.
“Kalau gitu, tidurnya jangan kemaleman biar bangunnya lebih awal.”
“Aku gak mau kebanyakan tidur. Sayang, jadi waktu yang kebuang padahal ada dunia luar yang pengin aku lihat. Mumpung masih muda.”
“Kemarin udah dugem. Sekarang juga makan di luar, gak di kontrakan. Dunia luar apa lagi yang pengin kamu lihat?” balas Meta.
“Kamu,” responku membuat Meta cekikikan. Pasti dia sama gelinya denganku.
Semakin lama mengobrol dengan Meta, aku bisa menyimpulkan bahwa dia adalah jenis perempuan yang unik. Bukan cuma berparas cantik atau gila dalam pengaruh alkohol, dia juga pekerja keras. Penilaianku itu berdasar pada cerita Meta yang baru pulang ke kontrakan jam sebelas siang dan tiga jam kemudian dia sudah bekerja. Selesai bekerja pun, suasana hatinya masih ceria.
Meta bersikukuh membayar makanan dan minuman yang kami pesan. Kata dia, itu sebagai ucapan terima kasih mau menjemput dan mengantarnya pulang. Kamu berangkat dari Sintari pada jam dua belas malam. Ya, kami gak ubahnya seperti Cinderella yang harus pulang tepat pada tengah malam.
Jam setengah satu kurang, kami sampai di kosan Meta yang berlokasi di Jalan Ternate. Ada tulisan kos khusus wanita di gerbang depannya. Meta turun dari motorku, mengeluarkan kunci kemudian membuka gerbang kosannya.
“Mau mampir dulu?” ajak Meta.
“Gak, lain kali aja.”
“Sebenarnya, kaosnya belum aku cuci. Gak sempat. Tadi, aku jebak kamu aja biar bisa ketemu lagi,” kata Meta diiringi senyum dari wajahnya yang terlihat samar karena penerangan di sekitar gak banyak membantu.