Pantang Pulang

Diatri Kusumah
Chapter #9

9. Penawar Patah Hati

Kesibukan bekerja di mall membuatku hanya punya waktu yang benar-benar senggang selama sehari dalam seminggu. Itu pun harinya bisa berubah-ubah. Makanya, dalam seminggu ini, aku makin jarang menghabiskan waktu bersama Saldi dan Reza. Terhitung, hanya dua malam kami minum-minum sampai tengah malam.

Kebahagiaan sederhana bagi seorang pekerja adalah menyadari bahwa besok hari libur. Untuk pertama kalinya dalam seminggu, aku gak perlu repot bangun pagi dan bergabung dengan warga Bandung lainnya memenuhi jalan untuk pergi ke tempat kerja.

Aku menghabiskan malam sebelum libur bersama dua sahabat terbaikku, Saldi dan Reza. Aku membeli tiga botol anggur merah dan empat kaleng minuman soda untuk dinikmati di kontrakan. Berbeda dari sebelumnya, kami gak akan berpesta melainkan menemaniku yang sedang patah hati.

Ketika jam istirahat tadi, aku menghubungi Sisi. Kami pernah sepakat ketika terakhir bertemu bahwa siapa pun yang mendapat kerja duluan, dia akan mentraktir nonton. Aku berniat memenuhi janji itu besok. Sampai jam istirahat habis, Sisi gak kunjung membalas. Aku pikir, dia sedang sibuk mengerjakan sesuatu.

Jam kerjaku habis, aku lihat ponselku masih saja sepi. Rasa penasaran membuatku membuka WhatsApp. Belum ada juga balasan dari Sisi tapi dia terlihat baru saja memperbarui statusnya. Semangatku langsung roboh melihat Sisi sedang makan malam dengan seorang pria yang wajahnya ditutupi stiker. Mungkin pria itu buruk rupa. Bagaimana pun itu, aku merasa hancur.

Saldi dan Reza mencoba menghiburku. Mereka mengalihkan soal percintaan ke topik politik, komunisme dan cara menuju Indonesia Emas 2045. Hatiku gak terobati. Yang ada otakku malah makin pusing gara-gara topik yang berat.

"Emang si Sisi cowoknya kayak gimana, Ra?" tanya Saldi yang membuatku menunjukkan status Sisi.

"Anjing, tajir! Makan malemnya aja di tempat mewah. Pantesan dia mau," lanjutnya.

Sejauh ini, gak ada kata yang keluar dari mulut Saldi bisa membuat keadaanku lebih baik. Aku jadi lebih sering menuangkan minuman ke gelas dan meminumnya cepat-cepat. Harapanku, aku bisa cepat tertidur.

"Bangsat emang. Orang tajir bukan cuman ngambil alih kehidupan orang-orang kayak kita dari segi ekonomi. Perempuan juga," kata Saldi berapi-api.

"Sakit hati mah gak ada obatnya, Ra. Mau pernah pacaran berapa kali juga, rasanya sakit hati mah tetep aja nyiksa. Mending maneh nyari kesibukan. Jangan sering-sering diem terus ngelamun," kata Reza mencoba menetralisir keadaan.

“Kata orang mah, Ra. Mati satu, tumbuh seribu. Maneh jangan terlalu kebawa sedih,” Saldi ikut menghibur.

Mungkin saran Reza ada benarnya. Masalahnya, mereka berdua ada jadwal kuliah besok. Aku akan sendirian di hari liburku, gak tahu apa yang akan dilakukan. Rebahan dan melamun gak terdengar semenyenangkan itu ketika sakit hati. Yang ada, aku terbayang-bayang bagaimana menyenangkannya pertemuan dengan Sisi.

Jam setengah satu malam, tiga botol dan empat kaleng minuman soda sudah habis. Aku yang paling banyak menenggaknya. Sialnya, mataku masih belum juga mau menutup meski kepalaku sudah pusing bukan main. Aku sudah mencoba berbagai gerakan di sofa. Menyandar, tiduran sampai menelungkup sudah kucoba. Aku masih saja gagal tidur.

Saldi dan Reza pamit ke kamar mereka masing-masing. Aku paham karena paginya mereka ada jadwal kuliah. Kuhabiskan waktu membuka HP. Tulisan di HP terlihat gak sejernih biasanya. Aku terlalu banyak minum.

R.A. Kartini bilang, sehabis gelap terbitlah terang. Itu terjadi. Bukan, bukan tiba-tiba matahari terbit lebih cepat pada jam satu malam di Bandung melainkan aku mendapat ide untuk hari liburku. Ketika membuka WhatsApp, aku melihat ada bekas percakapan dengan Meta. Meta mungkin bisa menjadi tujuanku besok.

Baju aku udah dicuci?” tulisku lewat Whatsapp pada Meta.

Sepuluh menit, lima belas menit, gak ada balasan juga. Mungkin efek dari minuman membuat aku jadi bodoh atau karena aku sedang galau jadi susah berpikir jernih untuk memahami bahwa hanya sebagian kecil manusia yang mau berbalas pesan pada jam dua pagi. Setelah sejam memandangi langit-langit kontrakan dan otak mengawang gak terkendali, aku akhirnya tertidur.

 Jam delapan pagi, aku terbangun. Kontrakan sudah sepi sebagaimana Saldi dan Reza sudah pergi ke kampus. Masih ada sedikit pusing di kepalaku. Aku cek HP, barangkali ada pesan dari Meta.

Udah. Mau kapan diambil?” balas Meta pada jam tujuh lebih tiga menit.

Masuk kerja jam berapa hari ini?” aku balas jam delapan lebih dua belas menit.

Aku libur hari ini. Mau jam berapa diambilnya?” Meta membalas jam delapan lebih dua puluh satu.

Anter aku batalin intermitent fasting sebentar lagi, bisa?” aku balas jam delapan lebih dua puluh dua.

Bisa. Jemput ya sejam lagi,” balas Meta jam delapan lebih tiga puluh.

Seketika, aku merasa punya tujuan hidup. Untuk hari ini saja, belum untuk jangka panjang. Aku langsung mandi, memilih baju, menggunakan parfum dan memanaskan motor. Kalau Gundala melihatku pagi ini, dia pasti akan menjadikanku muridnya karena aku bergerak di luat batas kecepatan manusia normal.

Jam sembilan kurang, aku sudah menjemput Meta. Dia memberi rekomendasi tempat sarapan berupa kedai di Jalan Lombok yang sedang viral. Sebetulnya, aku gak begitu suka ke tempat-tempat viral. Tempat yang penuh oleh pengunjung membuatku merasa terburu-buru menikmati makanan dan minuman.

Benar saja dugaanku. Jam setengah sepuluh sampai di kedai, tempat itu sudah ramai oleh pengunjung padahal ini hari kerja. Untungnya, masih ada meja yang kosong. Aku gunakan strategi cerdik dengan menyimpan jaket di meja supaya gak ada yang menempati selagi aku dan Meta mengantri untuk memesan makanan dan minuman. Aku pilih yang berada di ruang terbuka karena aku sadar bahwa kami berdua perokok.

Selesai membayar pesanan, kami duduk di meja yang sudah kutandai dengan jaket. Penampilan Meta berbeda kali ini. Mungkin ini pertama kalinya aku melihat dia dengan pakaian yang lebih santai. Sebelumnya, aku melihatnya mengenakan gaun dan baju kerja. Kali ini dia cuma mengenakan kaos yang ditutupi kardigan hitam dan celana kulot berwarna abu.

“Gimana kerja di mall? Betah?” tanya Meta setelah melepas kardigannya.

“Betah-betah aja. Otot punggung sama kakiku rasanya makin kokoh,” jawabku sambil menepuk-nepuk betis dan membuat pengunjung di sebelah melirik.

“Nanti juga kamu terbiasa,” Meta menimbali kemudian dia mengeluarkan sebungkus rokok dari tas, mengambil sebatang kemudian menyalakannya.

“Iya sih. Cuma ya kalau ada kerjaan lain yang duitnya lebih gede, aku gak ragu-ragu buat pindah,” aku nyalakan rokok juga biar sama dengan Meta.

“Di tempat kerjaku ada. Jadi sales event.”

“Gak mau.”

Lihat selengkapnya