Pantang Pulang

Diatri Kusumah
Chapter #10

10. Insiden Hotel Makmur

Godaan terbesar untuk kembali bekerja setelah hari libur adalah rasa malas. Malas untuk turun dari kasur. Malas untuk mandi. Malas untuk mengenakan pakaian kerja. Malas untuk berdesak-desakan di jalanan. Malas menjalani jam kerja yang panjang. Malas pulang karena jalanan masih macet oleh orang-orang yang ingin segera sampai ke rumah masing-masing. Malas menunggu hari libur sampai datang lagi.

Sebagaimana hari kerja dengan sif pagi, aku sudah bangun sejak jam enam. Sejam kemudian, aku sudah siap untuk berangkat. Kemejaku sudah rapi dan wangi. Tinggal motorku yang memerlukan perlakuan khusus karena mesinnya perlu dihangatkan terlebih dahulu sebelum dipakai. Aku pun seperti biasa, merokok dulu di teras kontrakan.

Di seberang, warung Pak Amri sudah buka. Ada dua pembeli sedang berbicara dengannya. Pak Amri sumringah seperti setiap kesempatan aku melihatnya. Selain Krisna, mungkin Pak Amri menjadi orang yang paling pintar mengukir senyum di wajahnya. Aku yakin, Pak Amri pasti pernah melewati hari-hari ketika dia gak ingin membuka warung tapi terpaksa dilakukan juga.

Sebuah tepukan di pundak mengagetkanku. “Woi, yang lagi kasmaran. Sombong banget gak nongkrong dulu malem,” kata Saldi dengan suara yang lumayan kencang.

Semalam aku pulang jam sebelas dan langsung masuk kamar karena ingin buru-buru tidur. Bukannya sombong atau gak mau meluangkan waktu dengan Saldi dan Reza, aku hanya gak mau bangun kesiangan. Sekaligus menghindari ajakan mereka minum-minum.

Urang capek seharian dari luar,” jawabku.

Urang tahu. Reza yang cerita. Dia dapet kabar dari Via kalau maneh sama Meta jalan seharian. Ke mana aja?”

“Nonton sama makan doang. Cuma ya di sini sekali jalan, keluar duitnya lumayan,” aku bercerita juga dengan Saldi meski aku yakin dia bukan orang yang tepat.

“Namanya juga Bandung. Kota gede. Gak apa-apa lah, kan bentar lagi juga mau gajian,” goda Saldi.

“Gaji urang tekor kalau kebanyakan jalan.”

“Itu ‘kan penderitaan orang-orang kayak kita. Sekalinya senang-senang, duit tekor. Atur-aturlah duitnya atau gak belajar sama Reza biar dapet tambahan,” Saldi memberikan saran.

Sepanjang mengenal dia, aku hanya beberapa kali mengikuti sarannya dan biasanya selalu berujung kegagalan. Ada satu yang kuingat. Aku menceritakan tentang perempuan yang kutaksir pada Saldi. Aku gak yakin cocok dengan perempuan itu karena pemarah. Saldi menyarankan kami pacaran saja dengan harapan perempuan itu akan berubah. Hasilnya, hubunganku hanya bertahan dua minggu karena banyak dilarang ini itu dan selalu bertengkar.

Tambahan. Itu mungkin menjadi ide paling cemerlang yang pernah Saldi sampaikan kepadaku selama beberapa tahun terakhir. Adanya penghasilan tambahan bisa membuatku hidup lebih nyaman. Aku bisa mengirim lebih banyak uang pada ibu. Aku bisa hura-hura bersama Saldi dan Reza.

Oh ya, aku juga bisa makin sering pergi dengan Meta. Sejauh ini, aku hanya mengantar jemput dia ke tempat kerja dan kuliah. Satu atau dua kali dalam seminggu, kami akan makan bersama kalau ada waktu yang pas.

“Udah dipakai belum barang dari urang?” tanya Saldi.

“Kondom? Belum lah.”

“Anak baik,” Saldi meledek. Aku kesal dan memilih untuk berangkat kerja.

Di jalan, aku berpikir soal mengapa keperjakaanku dipermasalahkan. Aku paham, orang-orang seusiaku mulai punya dorongan seksual yang tinggi. Aku pun merasakannya tapi sejauh ini bisa kuredam. Bukan karena aku hebat atau suci, melainkan aku gak begitu mementingkan urusan ranjang. Ada hal-hal lain yang gak kalah menyenangkannya seperti menjadi saksi kelakuan aneh Saldi dan Reza atau jalan dengan Meta.

Aku sampai ke mall pada jam delapan lebih dua puluh. Aku bergegas untuk mengabsen kemudian berjaga di posku. Sampai sifku selesai, kurang lebih ada sembilan pengunjung yang aku layani. Jumlah yang sedikit itu bisa jadi disebabkan oleh hari ini masih hari kerja. Di akhir pekan, aku bisa melayani lebih dari dua puluh pengunjung dalam satu kali sif kerja. Kebosanan karena kurang kerjaan diperparah oleh perbedaan sif dengan Krisna yang membuatku merasa kesepian.

Jam setengah enam sore, aku sudah kembali berada di kosan. Aku rasa masih punya banyak energi karena mall yang gak begitu ramai oleh pengunjung. Setelah ganti baju dengan pakaian yang lebih membebaskan tubuhku bergerak, aku tiduran di sofa ruang tamu. Kurang dari lima belas menit kemudian, Reza sampai di kontrakan.

“Saldi ke mana, Za? Kok gak bareng?”

“Dia urang tinggalin lagi siap-siap buat acara seminar di kampus besok,” kata Reza yang tampak kelelahan dan mendudukan dirinya di sofa sampingku.

“Emang dia jadi bagian apa?”

“Pembawa acara,” jawab Reza.

Membayangkan Saldi menjadi pembawa acara seminar kampus membuatku mempertanyakan kewarasan panitia acara. Bagaimana mungkin Saldi yang sering ngaco bisa didapuk menjadi pembawa acara? Mungkin seminar itu diisi oleh orang-orang aneh yang ngobrolnya sering seenaknya atau gak masuk akal. Dengan begitu, profil Saldi bisa memenuhi kriteria.

Maneh gak ke mana-mana ‘kan, Ra malem ini?” tanya Reza dengan matanya tertuju ke HP.

“Aman, Za. Gak ada acara malem ini. Ada apa?”

“Gak jalan sama Meta atau ke kosannya?” Reza tampak belum yakin dengan jawabanku.

“Gak, Za. Urang lagi ngerem dulu jalan sama dia. Paling nanti weekend. Ada apa ini sebenernya?”

Urang minta ditemenin, Ra. Maneh bisa ‘kan?”

“Bisa. Ke mana?” tanyaku penasaran.

“Nanti aja urang ceritain, Ra. Jam setengah delapanan, ya?” pinta Reza. Aku mengangguk.

Hubunganku dengan Reza gak sama dekatnya dengan Saldi. Maklum, kami baru saling mengenal selama beberapa minggu ini. Meski begitu, aku menaruh segan pada Reza. Dialah orang yang paling loyal ketika punya uang. Makanan, minuman dan biaya dugem akan dia tanggung ketika rekening banknya sedang gemuk.

Dari jam tujuh, aku sudah bersiap-siap agar Reza gak perlu menunggu kalau ingin segera pergi. Karena belum tahu tujuan malam ini, aku berpenampilan sesantai mungkin. Kalau pun ini acara penting, nanti Reza akan memintaku ganti baju.

Lima belas menit kemudian, aku sudah berada di teras. Aku nyalakan merokok sambil menunggu Reza. Reza keluar kontrakan dengan buru-buru. Dia mengajakku masuk mobil dengan segera.

“Jadi gini, Ra. Urang lagi ada duit, mau sedikit senang-senang,” kata Reza sambil mengemudikan mobil miliknya.

“Saldi gak diajak?”

“Saldi udah urang kasih tahu. Palingan nanti dia nyusul kalau keburu. Maneh masih perjaka ‘kan, Ra?” Reza mengirim pertanyaan menohok. Lagi-lagi soal keperjakaan, pikirku.

Lihat selengkapnya