Untuk orang seusiaku, seks merupakan salah satu topik yang sering dibahas ketika nongkrong bersama teman. Ia mungkin berada di jajaran empat topik teratas bersama sepakbola, politik dan agama. Biasanya ada sesi berbagi tautan video porno, membicarakan tentang fantasi atau tipe lawan jenis idaman.
Sejauh ini, aku belum pernah berhubungan seks. Paling hanya menonton video porno, itu pun hanya beberapa kali karena aku butuh kesunyian untuk menikmatinya dan aku terbiasa menyibukan diri dengan ini itu. Teman-temanku di sekolah dulu, beberapa bilang sudah melakukannya tapi kebenarannya perlu dipertanyakan. Tentu saja aku juga tertarik melakukannya tapi hanya sebatas keinginan tanpa diwujudkan.
Aku menjauhi segala pikiran kotor tentang seks dan memilih kesenangan yang lain. Pasalnya, aku baru saja mendapatkan gaji pertamaku bekerja sebagai pelayan toko. Sepulang kerja, aku langsung pergi ke ATM untuk mentransfer sejumlah uang untuk ibu. Meski aku nakal akhir-akhir ini, aku tetap ingin menjadi anak baik bagi ibu.
“Bu, aku baru aja gajian. Aku udah transfer uang barusan tapi gak banyak. Aku minta doanya, ya,” aku mengirim pesan ke ibu lewat WhatsApp pada jam sepuluh malam lebih lima.
Seperti janjiku waktu diterima kerja, aku akan menggunakan gaji pertama untuk berpesta bersama Saldi dan Reza. Pestanya bukan di kelab malam atau restoran mahal, melainkan di kosan dengan beberapa botol anggur merah dan minuman sofa. Aku sempatkan diri membeli tiga botol dan empat botol minuman soda di Dago Enam Tujuh. Aku rasa, itu cukup membuat malam ini akan menyenangkan. Terlebih, besoknya aku mendapatkan hari libur.
“Makasih ya, Ra. Ibu doain rejekinya makin banyak. Baik-baik ya, di Bandung,” balas pesan Ibu lewat WhatsApp jam sepuluh lewat enam belas ketika aku baru saja naik ke motor untuk bergegas ke kontrakan.
Aku gak menjemput Meta malam ini karena dia kebagian sif pagi. Hanya di momen-momen seperti inilah kami gak menghabiskan malam untuk makan bareng. Sisi positifnya, aku bisa pulang ke kontrakan lebih awal. Sampai di kontrakan, Saldi dan Reza sedang di kamarnya masing-masing. Mungkin sedang mengerjakan tugas kuliah.
“Di, Za, sini! Urang bawa persembahan buat pesta,” kataku dengan nada setengah berteriak supaya dua sahabatku itu keluar kamar.
“Persetan sama tugas!” kata Saldi dengan semangat berapi-api begitu keluar dari kamar.
“Kapan-kapan lagi aja mikirin judul skripsinya,” timpal Reza.
Aku menahan mereka membuka botol. Pasalnya, aku punya janji lain yaitu ikut patungan membayar kontrakan setelah mendapat kerja. Aku berikan uang pada Saldi sebagai orang yang berhubungan langsung dengan Pak Kusnadi, pemilik kontrakan.
Malam ini, Reza mengajukan diri sebagai orang yang mencampur minuman. Isi dari tiga botol anggur merah dicampur empat botol minuman soda. Dia tuangkan ke tiga gelas yang dibawakan oleh Saldi ke meja ruang tamu dari dapur. Gelas-gelas itu mulai dipenuhi cairan berwarna merah tua. Kami meneguknya. Tuang lagi. Teguk lagi. Sampai benar-benar habis pada jam dua belas lewat dua puluh dua.
Kesadaran Saldi dan Reza tinggal seperempatnya saja, kupikir. Mereka duduk di satu sofa, berhadap-hadapan. Mereka membicarakan teori Adam Smith yang merupakan Bapak Ekonomi. Seakan kurang berat, mereka mengganti topik ke filsafat tapi hanya bertahan selama lima menit karena takut keyakinan mereka pada tuhan akan goyah. Akhirnya malam itu ditutup dengan kami bermain kartu sebelum tertidur bersama-sama di ruang tamu kontrakan.
Jam enam pagi, aku sudah terbangun. Sudah menjadi kebiasaanku terbangun di waktu ini sejak tiga minggu terakhir. Aku mencoba menghubungi Meta untuk mengajaknya sarapan karena terakhir memberi tahu, hari ini dia kerja sif siang. Meta mengatakan bahwa tokonya sedang mengadakan event yang membuatnya akan bekerja sampai malam. Sementara itu, Saldi dan Reza mengatakan ada jadwal kuliah jam delapan.
Aku gak terlalu terganggu oleh ancaman gak ada kegiatan yang seru di hari libur. Aku bangunkan Saldi dan Reza supaya mereka gak terlambat ke kampus. Setelah itu, aku menjalani rutinitas pagi yaitu nongkrong di warung Pak Amri untuk minum kopi hitam sachet bergambal kapal. Seperti biasa, Pak Amri menyambutku dengan senyumnya sebelum melempar beberapa topik dari berita yang dilihatnya.
“A, sekarang yang jual rokok ilegal lagi diburu polisi. Untung saya mah gak jual.”
“A, Persib mau lepas si Beltrame. Padahal di paruh kedua musim, dia bagus mainnya.”
“A, tahu gak pernikahan adiknya Atta Halilintar dihadiri sama presiden?”
“A, kata dokter saya gak boleh banyak pikiran. Kalau gak mikir, saya dibilang bodoh sama istri. Yang salah saran dokter atau istri saya?”
“A, emang bener ya daun lintah bisa bikin ukuran Mr. P lebih panjang? Kalau gagal, duitnya bisa dibalikin gak? Apa perlu dikirimin foto juga sebagai buktinya biar penjualnya percaya?”
Begitulah kira-kira cara Pak Amri membuka obrolan atau mengganti topik. Dia begitu tertarik untuk membicarakan banyak hal. Kadang aku kesulitan mengimbanginya seperti pagi ini karena kepalaku masih terasa pengar. Alhasil, aku lebih banyak mengiyakan atau menjawab seperlunya. Pak Amri tetap terdengar bersemangat. Dia sepertinya merasa cukup ketika ada yang mau mendengarkan keresahannya.
Sekitar jam delapan pagi, aku kembali ke kontrakan. Sebagaimana orang-orang yang sedang libur dan gak ada kegiatan, aku rebahan di kasur. Saldi dan Reza terdengar mengucapkan pamit dari bawah. Aku gak keluar karena ingin bermalas-malasan. Aku mencoba untuk melanjutkan tidur tapi mataku gak kunjung tertutup. Jadi, aku menghabiskan waktu bermain HP.
Semua aplikasi medsos sudah kubuka dan gak ada yang menarik. X berisi berita politisi yang mengeluarkan pernyataan-pernyataan konyol, skandal atau pesohor yang dibesar-besarkan karena kebodohannya, Instagram berisi foto teman-temanku berlomba terlihat bahagia baik itu dalam kehidupan personal maupun pekerjaan sedangkan Facebook berisi teman-temanku yang banting setir dengan jualan berbagai macam barang. TikTok? Aku gak punya akunnya.
Di waktu luang ini, aku menyempatkan diri mengingat-ngingat perjalananku selama sebulan lebih di Bandung. Banyak hal berkesan dan ada pula yang gak menyenangkan. Meta menjadi pusat dari perjalanan yang berkesan ini. Dia merupakan keseimbangan antara kegilaan dengan kecerdasan. Dia bisa bertingkah liar di kelab malam tapi ketika diajak mengobrol, dia bisa mengeluarkan opini yang membuka pandanganku terhadap banyak hal. Cuma dia yang memanggil nama depanku dengan lengkap dan aku menyukainya.
Sebagai pria, aku ingin menjadikan Meta pacar. Hanya saja, aku gak mau terburu-buru. Dia tampak menikmati kebersamaan kami seperti akhir-akhir ini. Jadi, aku gak akan merusak itu. Lagipula, dengan posisi seperti ini, aku masih punya keleluasaan dengan perempuan lain. Keuntungan itu sepertinya bisa aku manfaatkan hari ini.
Aku meng-install aplikasi kencan berharap ada yang bsia kuajak bertemu untuk sekadar ngobrol. Aku pasang foto terbaik untuk profil dan biodata sesingkat mungkin biar dikira misterius. Aku gunakan jempol untuk mengusap ke kanan ketika melihat beberapa foto dan biodata wanita yang menarik. Sudah sejam aku melakukannya dan belum ada juga perkembangan berarti.
Kebosanan membuatku membuka aplikasi-aplikasi lain dan teringat dengan yang Reza gunakan. Reza sebelum pergi ke Hotel Makmur pernah memperlihatkan aplikasi untuk menyewa jasa perempuan panggilan. Aku meng-install aplikasi yang sama. Aku gak punya tujuan khusus. Hanya iseng belaka. Apalagi ini merupakan bidang yang gak aku ketahui atau pernah coba sama sekali.
Aku tambahkan beberapa perempuan sebagai teman. Tentu saja aku hanya menambahkan mereka yang kurasa penampilannya menarik. Aku gak mau munafik. Hal pertama yang kulihat adalah fisik sebagaimana itulah yang terlihat tanpa perlu didalami lebih jauh. Lagipula aku bukan mencari pacar, jadi aku gak peduli-peduli amat dengan kepribadian mereka.
Hanya tiga orang yang langsung menerimaku. Aku chat mereka satu per satu. Sebagai pendatang baru, aku mengawali obrolan dengan ucapan macam hai dan halo. Gak ada respon. Aku meningkatkan intensitas dengan langsung bertanya apakah mereka sudah ada yang memesan atau belum. Sebagian besar langsung mengirimkan balasan.
Ada satu perempuan yang fisiknya menarik perhatianku. Namanya Loli. Di biodatanya, dia berusia sembilan belas tahun. Sama sepertiku.
“Outcall only. Lima ratus K per sesi. Wajib caps, no anal,” begitu pesan otomatis yang membalas ucapan hai yang kukirim.
“Jam sembilan ini bisa?” balasku.
“Bisa. Lokasi?”
“Kontrakan. Ini pertama kalinya jadi gak berani DP. Kalau mau, aku jemput,” responku dengan diakhiri emoji dua tangan sedang tos.
“Jemput di restoran cepat saji yang didguga dukung genosida rakyat Palestina setengah jam lagi. Aku pakai kaos merah sama celana pendek putih. Samain aja kayak foto di profil kalau ragu,”
Aku mandi, berpakaian, memanaskan motor kemudian berangkat. Semuanya aku selesaikan dalam waktu lima belas menit saja saking semangatnya. Kebetulan jarak kontrakan dan restoran cepat saji itu gak terlalu jauh. Jadi aku gak akan terlambat menjemput Loli. Aku masuk, kemudian memesan makanan karena perutku keroncongan.
Mataku terus berjaga mengawasi kalau-kalau Loli datang. Kalau pun gak, aku gak kecewa-kecewa amat. Hitung-hitung sarapan di sini. Aku sebetulnya ingin mempertanyakan keputusan pakaian yang dipakai Loli. Kaos merah dan celana pendek putih. Mungkin dia baru saja menghadiri acara perayaan kemerdekaan.
Seorang perempuan berkaos merah dan bercelana putih masuk ke dalam restoran. Dia langsung memesan makanan dan minuman kemudian duduk di meja yang gak jauh dariku. Aku seketika mengambil alas makan lengkap beserta makanan dan minuman ke meja yang ditempati perempuan itu.
“Loli?” tanyaku.