Pantang Pulang

Diatri Kusumah
Chapter #12

12. Tuan dan Nyonya Semalam

Seandainya hidupku di Bandung adalah puzzle, maka aku tinggal mencari satu kepingan terakhir untuk melengkapinya. Aku sudah merasakan hidup mandiri dengan memiliki pekerjaan. Aku juga sudah merasakan kebebasan dengan bisa melakukan apapun sesuai keinginan. Kepingan terakhirnya adalah cinta.

Aku sebetulnya gak ahli-ahli amat dalam percintaan. Seumur hidup, aku hanya dua kali pacaran yaitu dengan Dea, teman SMP-ku dan Riana ketika aku berseragam putih abu. Ya, jumlah itu memang gak banyak tapi aku bisa berkomitmen untuk waktu yang panjang.

Hubunganku dengan Dea berjalan selama setahun dan putus karena kami melanjutkan pendidikan ke sekolah yang berbeda. Bersama Riana, aku menghabiskan dua tahun dan putusnya pun karena dia harus berkuliah ke Lampung.

Di luar keberhasilan memiliki pacar, aku juga punya rekor yang buruk. Tiga kali aku gagal mendapatkan perempuan yang aku dekati.

Ketika SMP, Dea menjauh dengan alasan kami sekolah di tempat yang berbeda sehingga sulit ketemu. Padahal rumahnya hanya berjarak dua puluh meter dari rumahku.

Ketika SMA, Fitri gak mau aku dekati karena menurutnya aku terlalu baik. Terakhir aku dengar, dia berpacaran dengan anggota gangster yang masuk Daftar Pencarian Orang.

Sebelum mendapat Riana, aku sempat mendekati Kara. Kami gagal berpacaran setelah aku bilang Dewa 19 itu gak bagus-bagus amat. Aku gak tahu dia adalah anggota Baladewa Ciamis.

Yang terakhir adalah Sisi. Dia memilih pria lain yang lebih tajir dariku. Aku belum mendengar alasan langsung darinya tapi gak tertarik juga.

Sekarang Meta yang menjadi tujuanku. Aku ingin lebih dari sekadar menjadi teman ngobrol, teman menghabiskan waktu dan orang yang mengantar jemputnya ke tempat kerja. Dia gak pernah mengisyaratkan perasaannya sedikit pun. Itu membuatku cukup bingung tentang hubungan kami.

Aku mendapat kabar dari Via bahwa besok adalah hari ulang tahun Meta. Aku rasa, aku bisa memberi kejutan sambil membicarakan hubungan kami. Masalahnya, aku ingin mengajaknya ke tempat spesial, bukan cuma tempat makan biasa yang kami datangi setelah pulang kerja.

Keuanganku berada dalam kondisi koma untuk dipakai makan di restoran mewah. Masih ada seminggu lagi sampai tanggal gajian. Aku sudah berhemat sebisa mungkin dengan menjadi member tetap warteg terdekat dari kontrakan selama dua minggu terakhir. Bahkan penjaganya sudah tahu menu yang biasa aku pesan yaitu nasi putih, tauge tahu dan telur ceplok.

Aku bisa saja meminjam uang pada Saldi dan Reza tapi aku gak terbiasa untuk berutang. Aku sudah mencari sampingan selama dua minggu ini dan gak mendapatkan apa-apa. Satu-satunya yang bisa kuharapkan adalah Reza. Dia berjanji akan memberi tahu cara mendapatkan uang andalannya ketika ingin sesuatu.

Aku percaya pada Reza. Terbukti, dia menjadi orang yang paling sering mentraktirku dan Saldi minum-minum. Apalagi kalau dia sedang banyak uang, kami bisa pergi ke kelab malam tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.

"Maneh mau main sendiri apa sama urang aja?" tanya Reza.

"Main apa? Urang main bola gak jago, badminton bikin napas urang hampir habis," jawabku yang belum mengerti maksud Reza.

"Kartu. Apa maneh mau main slot aja? Itu mah ngandelin hoki doang. Cuma gampang habis duitnya."

Aku akhirnya paham cara Reza mendapatkan uang tambahan yaitu dengan berjudi. Aku gak pernah tertarik berjudi karena dari dulu, keuanganku pas-pasan. Aku lebih memilih menggunakan uangnya untuk keperluan lain.

"Kalau sama urang, maneh cuma perlu investasi, Ra. Nanti kita sistemnya bagi hasil," jelas Reza.

Bagi hasil. Reza memperlakukan judi seperti bisnis. Aku pikir, aku layak mencobanya untuk pertama kali. Kalau menang, aku akan menggunakan uangnya untuk mengajak Meta makan malam di restoran. Kalau untungnya besar, aku akan membelikan Meta hadiah. Semua itu masih kalau.

"Urang patungan lima ratus ribu," kata Reza.

"Urang tiga ratus," Saldi menambahkan.

"Urang dua ratus. Gak ada duit lagi urang, anjir," kataku.

Uang yang kami kumpulkan genap satu juta. Reza sebagai Pimpinan Tim Judi Kontrakan Sekeloa menjelaskan sistem bagi hasil. Sebagai investor terbesar, dia akan mendapatkan keuntungan lima puluh persen, Saldi tiga puluh persen dan aku dua puluh persen. Aku pikir, itu cukup adil.

Reza gak mau berspekulasi bermain slot yang dianggapnya tolol dan hanya akan memainkannya tanpa berharap apa-apa. Jadi, dia memutuskan bermain poker. Menurutnya, permainan itulah yang dia kuasai.

Sejam bermain, kami berhasil mendapat keuntungan sebesar satu juta di luar modal. Reza menyarankan supaya kami lanjut bermain. Dia menargetkan bisa meraup lima juta supaya semua bisa mendapatkan keuntungan yang cukup banyak.

“Tumben maneh mau ikutan, Ra?” tanya Saldi.

Urang lagi butuh duit. Gajian masih lama tapi besok Meta ulang tahun. Urang pengin ngajak makan di tempat yang rada fancy. Kalau menang itu juga.”

“Besok maneh jadi pokoknya makan di restoran sama Meta. Percaya sama urang. Kalau perlu, urang yang reservasi sekalian,” Reza berjanji. Berhubung yang bicara adalah Reza, aku percaya. Akan beda ceritanya kalau itu Saldi.

Sejam kemudian, uang kami bertambah menjadi empat juta dua ratus. Reza ingin menggunakannya untuk taruhan yang lebih besar. Saldi setuju.

"Ayolah, Ra. Jangan ditarik dulu. Nanggung dikit lagi. Siapa tahu maneh bisa beliin hadiah buat Meta," Saldi menggodaku supaya gak menarik diri.

"Segitu dulu aja, Di, Za. Urang takutnya malah rugi."

Aku bukanlah orang yang tamak. Begitu punya keuntungan, aku akan mengambilnya. Aku mendapat delapan ratus ribu, di luar modalku sebesar dua ratus ribu. Uang sebanyak sejuta aku rasa cukup membawa Meta makan di restoran.

Aku gak terbutakan oleh uang. Bukan bermaksud sok tapi aku gak kehilangan akal sehat dengan ingin terus bermain sampai menang banyak. Aku sadar, judi gak bisa dijadikan tempat menggantungkan nasib karena kalah menang batasnya sangatlah tipis.

Saldi dan Reza melanjutkan bermain poker. Sejam kemudian, uang mereka ludes karena langsung bermain dalam permainan yang taruhannya tinggi. Aku bisa melihat kekecewaan di wajah mereka yang baru saka kehilangan total uang sebesar tiga juta dua ratus.

"Namanya juga judi. Ada menang, ada kalah. Besok-besok kita main lagi," kata Reza mencoba menenangkan diri kemudian menutup laptop yang digunakannya bermain.

Aku kagum dengan ketenangan Reza dalam menyikapi kekalahan bermain judi. Di sisi lain, aku bisa memahami bagaimana penjudi bisa kehilangan banyak uang. Semua karena ambisi yang tinggi untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyakna.

"Anjing lah! Dikit lagi padahal lima juta. Urang pengin nukerin HP," gerutu Saldi.

"Udah. Lupain aja. Urang udah pesen tiga botol buat lupain kekalahan kita," timpal Reza.

"Duit maneh belum habis, Za?" aku bertanya keheranan.

"Urang mah sedia payung sebelum hujan. Sebelum kecewa, urang udah nyiapin dana buat obatnya," jelas Reza.

Lihat selengkapnya