Keberuntungan menjadi hal yang terus aku pikirkan sejak hari ulang tahun Meta. Aku beruntung mendapat uang untuk makan malam bersama Meta tapi gak beruntung ketika Meta harus kerja lembur, terlambat datang ke restoran dan harus mengganti biaya perbaikan bumper mobil Reza. Tiga kali ketidakberuntungan terjadi padaku dalam jangka waktu satu malam.
"Kalau hitung-hitungan orang zaman dulu, tiap orang tuh punya hari sialnya masing-masing," kata Saldi mendengar certa ketidakberuntunganku.
Sulit mempercayai omongan dari manusia yang punya otak busuk dan kelakuan ajaib seperti Saldi. Meski begitu, mungkin dia ada benarnya. Aku sendiri gak tertarik membaca hitung-hitungan orang zaman dulu meski percaya malam di hari ulang tahun Meta itu merupakan hari sialku. Seperti kata Meta, kalau ada masalah sebaiknya mencari solusi.
Dengan tanggal gajian yang masih tiga hari lagi, solusi terbaik dan satu-satunya yang kudapat adalah menghemat pengeluaran seirit mungkin. Aku gak mau mengeluh soal itu karena aku rasa, hampir semua pekerja pun merasakan hal yang sama. Terlebih, Saldi dan Reza sering berbaik hati membawa makanan ke kontrakan dan minuman untuk sejenak membawaku keluar dari realita.
"Kalau urang sih percaya, makin maneh baik sama orang, kesialan makin jarang datengin maneh," ungkap Reza.
"Kemarin kita sial gagal dapet lima juta," Saldi membantah. Dia sepertinya masih kesal atas kegagalan yang didapat dari judi.
"Ya, makanya biar gak sial lagi, urang baik sama maraneh langsung beliin minuman. Sekarang kebukti, urang menang lagi jadi bisa beliin ini," timpal Reza menunjukkan tiga botol anggur merah yang sudah dibelinya.
"Beliin alkohol mah gak masuk itungan baik atuh, Za," kataku.
"Tergantung persepsi maneh soal baik buruk itu mah, Ra," jawab Reza tertawa kecil.
Perspektif Reza mirip dengan kausalitas atau sebab akibat atau ungkapan apa yang kau tabur, itu yang kau tuai. Semenjak tinggal di Bandung, aku menyadari belum berbuat banyak kebaikan, gak banyak juga keburukan. Mungkin peruntunganku akan berubah kalau aku berbuat baik.
Di sisi lain, aku terpikir apakah keberuntungan itu transaksional? Apakah aku bisa membeli keberuntungan demi menyingkirkan kesialan? Aku gak tahu pasti. Yang jelas, aku mau mencoba berbuat baik dan melihat bagaimana hasilnya.
Aku bangun di pagi hari dengan semangat baru, ingin berbuat baik. Aku sadar isi dompetku tipis tapi itu gak jadi alasan. Aku bakal mencoba sesuai kemampuanku.
Pagi ini, aku merasa lapar yang cukup kuat. Mungkin karena semalam aku hanya makan dengan nasi dan dua potong tempe diiris tipis di warteg. Jadi, aku menyempatkan diri dulu datang ke warteg yang sama untuk sarapan.
Aku bukan tipe orang yang suka sarapan. Aku lebih sering minum kopi di pagi hari. Baru siangnya, aku makan berat. Itu cukup berhasil mengurangi biaya makan tapi pagi ini menjadi pengecualian. Aku makan nasi dan ikan tongkol dengan lahap.
Selesai makan, aku menyempatkan diri untuk merokok di kursi depan warteg. Jam kerjaku masih sejam lebih lagi jadi aku punya sedikit keleluasaan. Saat menikmati hisapan demi hisapan rokok, seorang pengemis datang.
"A, kasihani saya, A. Dari kemarin belum makan," kata si pengemis itu sambil menadahkan tangan.
Pengemis pria ini aku tebak usianya sekitar empat puluh tahunan. Usia segitu masih termasuk produktif. Tubuhnya masih terlihat segar meski ditutup pakaian kotor yang sobek di beberapa bagian. Aku rasa, dia masih bisa bekerja meski aku gak tahu apa yang cocok untuknya.
Kukeluarkan sebatang rokok dari bungkus yang disimpan di saku celana.
"Uangnya, A. Gak kenyang kalau cuma rokok," pengemis itu merespon.
Pengemis gak tahu diuntung. Sudah dikasih rokok, masih minta uang. Aku ingat bahwa hari ini aku akan berbuat baik. Jadi, aku kembali ke dalam warteg, membelikan nasi dan telur ceplok yang dibungkus untuk si pengemis.
"Makasih, A udah dikasih makan. Mudah-mudahan Aa sehat terus dan rejekinya lancar."
Aku tergerak untuk memberikan lebih dari sekadar makanan. Aku ambil sepuluh ribu dari saku kemudian memberikannya ke pengemis itu. Aku harap dengan pengorbanan yang lebih, aku bisa mendapat keberuntungan yang besar. Pasalnya, uang yang kusumbang itu sudah memotong biaya makan siangku.
Ketika pengemis itu pergi, aku berangkat menuju mall. Jalanan Bandung gak semacet biasanya. Aku mulai berpikir, ini bisa jadi keberuntungan sudah berbuat baik pada pengemis. Aku bahkan sampai mall pada jam delapan dua puluh empat, lebih cepat sekitar sepuluh menit dari biasanya.
Jam kerjaku dimulai. Hari ini aku kembali mendapat sif bersama Krisna. Ini menjadi yang pertama kali dalam sebulan terakhir. Sebelumnya, dia dipindahkan untuk menjadi pelayan di bagian barang elektronik.
"Ribet, anjing, di bagian elektronik mah. Urang harus ngapalin banyak detail. Mana urang jadi susah ngerokok," cerita Krisna menunjukkan kelegaan bisa kembali jadi pelayan di bagian pakaian.
"Maneh aja kali yang gaptek."
"Bukan gitu. Urang ngerasa, itu bukan bidang urang. Kalau kerja bukan di bidang yang pas, urang gak bakal bisa ngembangin potensi urang," Krisna memberikan argumen.
"Emang di sini maneh berkembang?"
"Gak juga. Seenggaknya urang bisa curi-curi kesempatan buat ngerokok," jawabnya dengan senyum licik.
Pekerjaanku berjalan lancar hari ini. Pengunjung yang datang cukup banyak meski bukan hari libur. Banyak juga yang membeli pakaian. Semua kulayani sebaik mungkin dengan selalu tersenyum dan bersikap ramah.
Seorang pria berusia empat puluh tahunan berkeliling membawa anak prianya yang masih berusia di bawah sepuluh tahun. Dia melihat-lihat kemeja yang digantung tepat di bagian toko yang kujaga.
"Silakan dipilih, Pak. Kalau belum dapet ukuean yang pas, biar saya carikan ke gudang," kataku membuka percakapan.
Pria itu gak menjawab. Untuk ukuran pengunjung di mall, pria ini terhitung berpenampilan cuek. Dia hanya mengenakan kaos, celana pendek belel dan sandal.
Dia menarik sebuah kemeja cokelat dari gantungan kemudian mengukurkan ke badannya untuk melihat apakah kemeja itu pas, kekecikan atau kebesaran. Merasa ukurannya cukup, dia membawa kemeja itu dengan lengannya.
Pria itu lalu memilih sebuah celana chino berwarna hitam. Dia mengukurkan celana itu ke tubuhnya. Terasa pas, dia membawanya ke lengan dengan menumpuknya ke atas kemeja.
Aku mengikuti pria itu yang berjalan ke sana kemari. Bukannya curiga tapi prosedur membeli barang di mall ini harus memberikan barang padaku untuk dilipat rapi dan aku menyertakan nota untuk dibayar pengunjung di kasir. Pria itu entah tahu prosedur itu atau gak. Yang jelas, dia terus berjalan. Beberapa pegawai lain melempar senyum dan aku gak melihat gerak-gerik pria ini tersenyum balik pada rekan-rekanku.
Setelah berkeliling cukup lama, pria itu berjalan ke arah luar bagian pakaian. Ini pertama kalinya buat aku mendapatkan pengunjung nakal. Aku mengejarnya.