Aku makin akrab dengan wangi anggur merah. Di awal, ketika botol masih penuh, ia begitu memikat. Semakin sedikit isi botol, wanginya makin menyengat. Meski terus diteguk, tenggorokan seperti sudah enggan menelannya. Ketika botol habis, ada rasa mual tapi ditahan sebisa mungkin supaya isi perut gak berhamburan keluar.
Hubungan dengan alkohol kurasa sudah hambar. Aku mulai gak tertarik meminumnya. Mungkin karena terlalu sering bertemu jadi ia gak lagi spesial. Hanya saja, hidup sedang berat-beratnya. Aku perlu sesuatu untuk melupakan itu.
Krisna menjadi otak dari pesta anggur merah malam ini di kontrakan. Dia membeli lima botol anggur dan enam botol minuman soda. Aku hanya butuh satu setengah jam untuk menghabiskan satu botol. Krisna, Saldi dan Reza lebih santai. Jam dua belas malam, botol mereka masih bersisa dan satu botol lagi belum disentuh. Krisna menawariku botol yang belum diminum. Aku gak menyia-nyiakannya sampai benar-benar habis.
Krisna gak kesulitan untuk akrab dengan Saldi dan Reza meski ini baru pertemuan pettama. Mungkin karena ketiganya sedang dalam pengaruh alkohol, mereka bisa menemukan apa saja untuk jadi bahan obrolan.
"Kalian percaya gak sama sains?" Saldi melempar pertanyaan sambil menyandarkan lehernya ke sofa. Kesadarannya sudah berkurang jauh.
"Percaya-percaya aja. Itu 'kan buktinya pada konkrit" balas Reza yang berusaha sebisanya untuk duduk dengan tegak. Matanya sudah mulai sulit dibuka.
"Gak semuanya konkrit. Urang pernah baca gimana Neil Armstrong itu gak bener-bener mendarat di bulan," Krisna merespons. Di antara tiga orang, dialah yang paling sadar.
"Urang percaya itu beneran," sambut Reza.
"Urang gak percaya. Mana mungkin orang mendarat di bulan? Sekarang Mars, sebentar lagi orang sampai di matahari," Krisna membeberkan argumennya panjang lebar.
"Amerika mah payah. Orang Indonesia mah matahari dipakai jalan-jalan," potong Saldi melempar lelucon yang justru membuat Reza dan Krisna bersungut-sungut kesal.
Percakapan tentang pendaratan manusia di bulan dan matahari menjadi yang terakhir kuingat malam itu. Kepalaku sudah kepalang berat untuk berpikir dan terlibat dalam diskusi gak penting. Begitu juga mataku yang gak bisa ditawar lagi permintaannya untuk tidur.
Jam sepuluh pagi, aku bangun di ruang tamu kontrakan. Di meja, ada plastik yang berisi barang. Aku buka HP dan mendapat pesan dari Saldi bahwa plastik itu berisi nasi kuning yang dibelinya untukku.
Aku santap nasi kuning kemudian masuk ke kamarku. Ada perasaan lega gak harus bekerja. Gak harus macet-macetan di jalan ketika pagi atau gak harus pulang malam ingin segera tidur. Di sisi lain, ada rasa khawatir pada kondisi finansial. Maka dari itu, aku buka HP, mengetikkan lowongan pekerjaan di mesin pencarian kemudian membacanya satu per satu. Gak ada lowongan yang kurasa cocok dengan kemampuanku.
Empat jam sudah aku mengurung diri di kamar. Aku putuskan untuk pergi keluar. Warung Pak Amri rasanya gak akan cukup menghiburku. Aku ingin sesuatu yang baru, yang gak selalu kulihat setiap harinya. Kunyalakan motor C70 andalanku kemudian kukemudikan keluar kontrakan.
Cuaca Bandung sedang bersahabat walau aku lebih berharap nasib yang mau bersahabat denganku. Jalanan gak terlalu padat. Aku bisa lihat kiri kanan dengan leluasa. Orang-orang berpakaian rapi, anak-anak berseragam sekolah, pedagang di trotoar jalan, pengamen dan pengemis di lampu merah bergantian jadi pemandangan yang kulihat. Aku gak juga terhibur.
Setelah satu jam setengah berkeliling, aku memilih pulang ke kontrakan. Terlalu lama mengendarai motor akan membuat bensin cepat habis. Itu bukan masalah seandainya aku masih bekerja. Sekarang, aku pengangguran yang harus mengirit biaya ini itu sebisa mungkin. Tabungan yang jadi andalanku bertahan hidup perlahan-lahan akan terkuras.
Aku bisa saja meminta bantuan ibu atau bahkan pulang ke Ciamis tapi aku gak mau. Aku tetap pada pendirian, pantang pulang sebelum sukses. Pendirianku perlahan-lahan seperti dirobohkan oleh nasib.
Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku merasakan kesusahan yang paripurna. Aku bisa melihat para pedagang makanan di banyak titik jalan tapi aku harus menahan diri supaya gak membelinya. Lebih baik membeli nasi yang akan membuatku lebih kenyang.
Sampai di kontrakan, Saldi dan Reza belum juga pulang. Aku membeli sebatang rokok ke warung Pak Amri. Pak Amri tampaknya ingin ngobrol panjang lebar sebagaimana aku beberapa hari ini jarang berbicara dengannya. Masalahnya, hari ini terlalu berat. Energiku rasanya gak cukup banyak mendengar ocehan Pak Amri.
Kunikmati sebatang rokok dengan pelan-pelan. Aku gak mau ia cepat habis karena ia cuma satu-satunya yang kubeli. Sekitar dua belas menit kemudian, rokok itu sudah habis. Aku masih ingin merokok. Aku melihat asbak, masih ada beberapa puntung yang panjang. Kunyalakan satu per satu sampai mulutku terasa pahit.
Mobil Reza terdengar sampai di depan kontrakan. Dia dan Saldi turun kemudian menghampiriku di ruang tamu.
"Ini buat maneh biar gak kebosenan lagi nyari kerja," kata Saldi yang melempar kantong plastik ke meja.
Aku buka kantong plastik itu. Isinya dua bungkus rokok dan sebungkus nasi padang.
"Makasih, Di. Urang jadi ngerepotin."
"Santai aja, Ra. Urang juga kalau di Ciamis sering numpang makan di rumah maneh," jawab Saldi sambil menggeliat.
"Bukan itu aja, Ra. Kita baru menang gede. Nanti malem, kita pesta ya ke Insomniac. Udah lama gak hura-hura," ajak Reza yang baru saja masuk ke ruang tamu.
"Maneh judi di kampus?" tanyaku.
"Di HP atuh, Ra. Urang mah produktif. Ada jeda matkul, urang pakai judi," timpal Reza penuh senyum bisa meraup uang jutaan dalam waktu singkat.
"Via udah ngajak Lala sama Meta cuma Meta bisanya nyusul soalnya harus lembur dulu. Nanti maneh jemput ya, Di. Gak perlu mikir duit, kita lagi kaya raya," Reza lagi-lagi memberi penawaran yang sulit kutolak.
Reza mengisi dompet digitalku dengan uang yang cukup banyak. Biaya transportasi, begitu katanya. Aku biasanya antusias akan berpesta tapi malam ini agak berbeda. Mungkin karena pikiranku gak seringan biasanya. Tapi masa bodoh, mungkin aku bisa bersenang-senang malam ini tanpa memikirkan aku harus cari kerja di mana. Seenggaknya buat malam ini.
Aku dan Meta sampai di Insomniac pada jam setengah dua belas malam. Berhubung baru memasuki akhir pekan, ada antrian panjang di pintu masuk kelab. Aku dan Meta bisa langsung masuk berkat menyebut nama Reza. Kami berdua langsung menghampiri Saldi dan yang lainnya di meja sebelah kiri panggung.
Ada tiga botol rum di meja, enam kaleng minuman soda, dua ember kecil berisi es batu dan tiga piring limau. Satu botol tinggal berisi sepertiganya. Reza yang sedang bermesraan dengan Via, bangkit dari duduknya untuk menyambutku dan Meta.
Aku dan Meta duduk di sofa yang membelakangi panggung. Di sebelah kiri bawah kami ada lantai dansa yang dipenuhi oleh pengunjung. Mereka bernyanyi, mengangkat tangan dan melompat mengikuti musik yang dimainkan DJ dan sulutan semangat dari seorang MC.
"Sori, aku baru bisa nemuin kamu sekarang," kata Meta yang suaranya nyaris tenggelam oleh suara musik. Aku mengangguk.
Aku langsung menuangkan rum ke sloki tanpa dicampur soda kemudian meminumnya. Kuulangi sampai enam kali dalam waktu kurang dari sejam. Meta cuma minum dua kali dalam kurun yang sama. Kepalaku mulai sedikit pusing dan tubuhku terasa lebih lentur. Aku sempat terpikir, badanku mirip dengan balon berbentuk manusia yang sering dipasang di depan toko HP.