Aku mengecek kamar untuk memastikan barang apa saja yang hilang. Hasilnya adalah uang di dompet sebesar seratus lima puluh ribu rupiah hilang. HP-ku selamat. Mungkin karena aku menindihnya ketika tidur.
"Kita harus lapor polisi," kata Reza mencoba menyikapi masalah dengan kepala dingin.
"Buat apa?" Saldi duduk lemas di sofa ruang tamu.
"Biar pencurinya ditangkep lah."
"Kalau ketemu itu juga. Kalau. Bisa ketemu, bisa juga gak. Laptop kita gak bakalan balik kalau pun lapor polisi" Saldi menyanggah ide Reza.
Di tengah perdebatan apa yang harus dilakukan, aku menelepon Krisna. Aku berharap dia mengangkatnya dan membuktikan bahwa dugaanku, Saldi dan Reza salah yang menyangkanya sebagai pencuri. Teleponku gak diangkat, pun pesanku lewat WhatsApp gak juga mendapatkan respon.
Dari ingatanku, Krisna masih ada di kamarku pada jam dua siang. Dia sedang memainkan HP-nya saat itu. Kami gak berbicara karena aku merasa sangat lemas, pusing dan mual. Gak tahan dengan segala gejala di tubuh, aku tertidur lagi.
Sebagai teman dekat dengan Krisna, ada hal yang kulewatkan yaitu mengetahui tempat tinggalnya. Agak janggal memang tapi kami memang lebih banyak menghabiskan waktu di mall, warung makan atau kedai jamu. Dia gak pernah sekalipun mengundangku ke kosannya. Aku pikir, itu privasinya yang gak boleh aku lewati. Ternyata aku salah.
Saldi secara terpaksa ikut mengantar Reza melapor ke polsek terdekat. Reza beralasan bahwa dua pelapor akan membuat kesaksian lebih kuat dan siapa tahu itu bjsa menggerakkan polisi supaya lebih cepat menangkap pelakunya. Dari raut muka, Saldi terlihat pasrah dan gak berharap banyak pada polisi.
Di antara kami bertiga, akulah yang seharusnya paling bertanggung jawab. Pasalnya, aku yang membawa Krisna ke kontrakan serta mengenalkannya pada Saldi dan Reza. Kalau benar Krisna pelakunya, maka malam ketika kami minum-minum, dia sedang memantau situasi dalam kontrakan.
Aku putuskan untuk mencari Krisna. Kondisiku yang belum bugar gak cukup jadi alasan supaya aku cuma berdiam diri di kontrakan. Mungkin aku akan mendapat petunjuk soal Krisna dari teman-teman kerja di mall.
Kunyalakan mesin C70-ku kemudian pergi ke mall di Sukajadi. Sesampainya di parkiran mall, aku ingat betul bagaimana pagi itu aku berangkat dengan semangat dan sorenya pulang dengan lesu setelah dipecat. Kenangan itu masih terasa sama pahitnya.
Aku sengaja menunggu di parkiran. Aku khawatir bertemu Pak Derri atau satpam yang mengenalku kalau masuk mall. Tujuh menit lagi jam istirahat akan dimulai. Para pegawai akan keluar untuk makan siang. Itu adalah momen terbaikku mencari informasi tentang Krisna.
Setelah mengambil uang dari ATM, aku nongkrong di tempat makan di belakang mall. Aku memesan menu paling ekonomis yaitu es teh yang bisa kunikmati lama-lama. Paling buruk, aku meminum es yang mencair.
Aku bisa dengan mudah mengidentifikasi mereka yang sama pekerjaannya denganku. Mereka menggunakan kemeja biru muda dan celana hitam hari ini. Satu per satu mulai berdatangan tapi sayangnya gak ada yang aku kenal.
Beberapa dari mereka menatapku. Ada yang sinis menatapku. Mungkin mereka merasa tersinggung aku memukul bos mereka. Ada pula yang menatapku dengan rasa kasihan. Mereka pasti mengerti posisiku pada saat insiden pemukulan terjadi.
"Tara 'kan?" ungkap seorang pria berusia sekitar dua puluh tiga tahunan yang duduk di seberangku. Wajahnya gak asing tapi aku pernah melihatnya.
"Siapa ya?"
"Urang Eri. Kita gak kenal sih tapi beberapa kali ketemu di sini. Maneh terkenal beberapa hari ini loh," kata pria itu sambil mulai menyantap makanan di hadapannya setelah menawariku.
"Gara-gara mukul Pak Sonny apa dipecat?"
"Dua-duanya," jawab Eri nyengir. "Gak banyak orang yang berani mukul bosnya sendiri. Maneh salah satunya. Mungkin insiden itu bakal terus diomongin selama bertahun-tahun ke depan."
Bisa dikenal karena memukul bos kemudian dipecat bukanlah cara ideal untuk membangun legasi. Ada ratusan pegawai yang mungkin mendengar cerita itu dan menyebarkannya pada orang lain. Berlanjut terus sampai mereka merasa cerita itu membosankan.
"Salah satunya? Emang ada lagi orang yang dipecat kayak urang?" aku penasaran. Siapa tahu ada orang yang lebih parah kebodohannya. Dengan begitu, namaku akan kalah pamor.
"Belum ada. Baru maneh," Eri cekikikan.
"Oh."
"Gak seburuk itu kok. Banyak yang gak setuju maneh dipecat. Tapi ya, gimana lagi? Perintah dari orang nomor satu mah gak bisa ditolak," Eri lanjut bercerita.
"Maneh kerja di bagian apa? Di pakaian mah, urang gak pernah lihat."
"Elektronik," jawab Eri yang sudah mencurahkan semua fokusnya untuk menyantap makan siang.
"Maneh kenal sama yang namanya Krisna?"
"Kenal. Cuma gak deket. Si bangsat itu mah kerjaannya minta digantiin terus pas jam kerja. Urang pergokin, lagi ngerokok," tutur Eri yang baru saja menghabiskan makanan porsi besar kurang dari lima menit.
"Tahu alamat kosannya dia gak?"
Eri menggelengkan kepala. "Gak ada yang deket juga sama dia setahu urang. Gak pernah nongkrong sama temen-temen yang lain kalau Krisna."
"Urang ada masalah sama dia. Siapa ya kira-kira yang tahu alamatnya? Soalnya dia ngilang."
"Kayaknya gak ada," jawab Eri sambil berpikir. "Oh, ada pegawai juga yang pernah dia deketin. Namanya Hani."
"Hani tahu alamat Krisna di mana?"