Ada dua shaf pria dan satu shaf wanita yang mengisi mesjid Al Rihla subuh ini. Aku berada di shaf kedua ketika salat. Imam membacakan surat dari Alquran yang gak aku hafal. Suara imam ke pengeras suara dan pelafalan yang jelas memudahkanku mengikuti bacaan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, aku merasa tenang.
Selepas salat subuh, aku gak terburu-buru pulang ke kontrakan. Kalau pulang pun, Saldi dan Reza pasti masih tidur. Jadi, aku menyempatkan diri menyambangi kios di depan mesjid Al Rihla. Kios itu berdiri di atas trotoar dengan satu kursi di depan kios serta satu meja dilengkapi dua kursi kayu memanjang di samping kanannya. Mungkin aku bisa merokok dan ngopi sambil hari benar-benar terang.
“Punten, Pak. Ada rokok?” tanyaku pada pemilik kios yang merupakan bapak-bapak berusia lima puluh tahunan. Aku sempat melihatnya berdiri di shaf depan ketika salat subuh.
“Maaf, A. Di sini gak jual rokok.”
Kulihat pemilik kios sedang mengaduk adonan gorengan kemudian memasukkannya ke dalam panci yang terisi minyak goreng. Dari caranya menyimpan adonan di sisi-sisi panci benar-benar terlihat mudah. Bisa dipastikan, bapak ini sudah menjalani profesinya dalam waktu yang lama.
“Gorengan aja deh dua, Pak,” pintaku yang disambut senyum pemilik kios.
Aku menunggu gorengan selesai dimasak dengan menunggu di kursi depan kios. Di kursi ini, aku bisa menikmati udara pagi yang masih segar, belum tercemari oleh polusi dari kendaraan. Hanya sedikit motor dan mobil yang lewat. Kulihat HP, jam menunjuk ke angka lima kurang tiga menit.
Lima orang pria keluar dari dalam mesjid. Usia mereka variatif. Ada yang usianya dua puluhan, tiga puluhan sampai empat puluhan. Kelimanya datang ke kios yang sama denganku. Hanya saja, mereka berlima duduk di kursi samping kios. Kios yang tadinya sepi berubah menjadi ramai sejak kedatangan mereka. Aku gak bisa mendengar jelas apa yang sedang mereka obrolkan.
Aku merasa kondisi tubuhku sudah jauh lebih baikan. Setelah semalam, perutku gak sakit lagi, sekarang kepalaku yang mulai terbebas dari pengar. Aku memikirkan bagaimana aku bisa pingsan di Insomniac sampai gak sadar tiba di kontrakan. Terlalu banyak minum dalam waktu yang singkat, kuakui adalah penyebabnya.
“Ini gorengannya, Mas, Pak,” kata pemilik kios pada lima orang yang duduk di sebelah kios.
Aku merasa diperlakukan gak adil oleh pemilik kios yang lebih mendahulukan pengunjung lain padahal mereka datang setelah aku. Aku berniat menanyakan masalah ini pada penjual kios secara baik-baik. Jadi, aku datangi tempat penjual kios menggoreng dagangannya.
“Pak, maaf. Bukannya tadi saya dulu ya yang datang ke sini? Kok meja itu dapet gorengan duluan?”
“Betul, A tapi itu udah mesen lebih dulu,” jelas pemilik kios sambil memasukkan adonan gorengan lagi ke pinggiran panci.
“Kapan mesennya? Saya aja yang pertama ke sini waktu Bapak baru buka.
“Kemarin, A. Saya pesennya sejak kemarin dan hampir selalu pesen tiap hari sama Pak Waluyo,” jawab salah satu dari lima pria yang kulihat di meja samping kios, mendekatiku.
Aku kembali ke kursi panjang di depan kios dan duduk di atasnya. Rasa kesal dan lapar bercampur dalam diriku.
“Ini, A, makan aja punya saya dulu. Tadi saya udah pesen lagi kok ke Pak Waluyo,” kata pria yang tadi bertemu di dekat tempat penggorengan ketika sampai di tempatku duduk.
“Aa kelihatannya lagi kelaparan,” lanjutnya penuh senyum sambil menghidangkan dua gorengan di atas kertas ke hadapanku.
Kelihatan kelaparan sedikit menyinggungku. Kalau dilihat-lihat, pria ini berusia empat puluh tahunan. Rambutnya tersisir rapi. Kemejanya pun masih terlihat rapi meski sudah dia pergunakan untuk salat. Wangi parfum beraroma segar yang dipakainya semakin kuat tercium hidungku.
“Saya baru lihat Aa di sini. Baru pindah ke sini apa gimana?” tanya pria itu.
“Emm, saya kebetulan aja lagi lewat sini. Jadi mampir buat salat subuh dulu.”
“Oh, hebat anak muda seusia Aa suka salat subuh berjamaah di mesjid. Jarang-jarang loh. Anak muda ‘kan biasanya lagi seneng-senengnya pergi malem terus pulang pagi,” tutur pria itu yang makin terdengar berwibawa karena suara beratnya.
“Iya, saya juga kayak gitu, Pak. Kebetulan aja pagi ini lagi pengin salat,” jawabku.
“Panggil saya Mas Tri aja, A biar usia kita kedengerannya gak jauh-jauh banget,” tawar Mas Tri diiringi sedikit tawa.
Pemilik kios menghidangkan dua gorengan buat Mas Tri. Mas Tri menawariku kopi tapi aku meminta air putih saja karena perutku terasa baru sembuh.
“Kuliah apa kerja, A?”
“Saya pengangguran, Mas,” jawabku spontan. Aku gak mau membuat citra yang tinggi di depan orang baru. Aku jawab apa adanya saja.
Mas Tri melihat ke arahku. Dia melihat dari bawah ke atas seakan-akan melakukan screening lewat mata telanjangnya.
“Buat ukuran pengangguran, rajin juga subuh gini udah bangun,” tutur Mas Tri lagi-lagi dengan senyum dan suara beratnya. “Pernah kerja tapi sebelumnya?” lanjutnya.
“Pernah. Jadi sopir sama penjaga toko.”
“Kenapa berhenti? Pengurangan jumlah karyawan di tempat kerja?” Mas Tri mulai menyantap gorengan di hadapannya setelah mengeringkan minyaknya menggunakan tisu.
“Bukan. Saya dipecat,” aku menghela napas panjang. Setiap mengucap kata dipecat, aku ingat betapa hancurnya aku hari itu.
Berbohong atau berkata jujur. Otakku menimbang-nimbang mana yang akan kulakukan. Berbohong akan membuatku terdengar sedikit lebih baik. Berkata jujur mungkin akan membuatku dikasihani Mas Tri. Aku gak butuh belas kasihnya. Setelah ditimbang, aku memilih berkata jujur. Maksudku, aku baru saja salat berjamaah. Aku gak mau pahalanya berkurang karena aku berbohong gak lama setelah salat.
Aku ceritakan bagaimana aku bisa bekerja di mall di Sukajadi kemudian dipecat tiga hari sebelum gajian karena memukul owner tempat kerja. Mas Tri tertawa cekikikan mendengar ceritaku. Aku gak mau belas kasih tapi sedikit empati mungkin bakal membantuku bangkit. Sayangnya, itu gak ada. Aku mengambil kesimpulan manusia zaman kiwari antara punya masalah menunjukkan empati atau punya selera humor yang aneh.
“Tenang. Di Alquran ‘kan bilang Allah bersama orang-orang yang sabar,” kata Mas Tri setelah puas tertawa. Akhirnya dia menjadi manusia bermoral dengan menunjukkan empati.
“Udah ngelamar ke mana sekarang?” lanjut Mas Tri bertanya.
“Belum, Mas. Belum ada yang kualifikasinya bisa saya penuhin,” jawabku dengan nada lesu.
“Gak usah khawatir. Nanti juga dapet. Di surat Hud ‘kan disebutin bahwa semua mahluk bergerak di bumi dijamin rezekinya oleh Allah. Kamu percaya itu ‘kan?”
Aku diam sejenak. “Iya. Percaya,” kataku yang merasa ada sedikit bimbang di dada mengingat betapa sulitnya mencari uang saat ini.