Pantang Pulang

Diatri Kusumah
Chapter #17

17. Tiga Wajah Berbeda

“Kamu ‘kan gak kuliah hukum? Kok bisa?” Meta terkejut ketika aku beri tahu diajak bergabung tim legal Pemenangan Salim - Amin.

“Ya, aku juga belum ngerti. Mungkin politik emang gitu, gak kompeten juga tetep bisa dapet kerja,” jawabku yang menunggu kopi di hadapanku sedikit dingin suhunya.

Kebetulan, Meta kebagian sif siang dan aku diundang ke kantor Pemenangan Salim Amin pada jam dua. Jadi, kami bisa menyempatkan diri untuk sarapan di sebuah tempat makan bernama Panon Poe di Jalan Panunggal. Seminggu lebih gak bertemu, aku akhirnya bisa menceritakan pengalaman-pengalamanku pada Meta.

“Kamu hati-hati, Tara. Kata orang-orang, dunia politik itu kotor, kejam,” Meta memberi saran di tengah kesibukannya menyuapi roti bakar keju ke mulutnya.

“Iya. Tapi aku cukup kebeli sama Salim - Amin. Bandung Damai, Sejahtera dan Maju. Aku suka sama janjinya itu. Orangnya juga kayaknya religius. Kalau punya hak pilih, aku mungkin bakal milih dia.”

“Semoga aja harapan kamu sama Salim - Amin bener-bener terbukti, ya,” kata Meta dengan nada datar. Aku merasakan kesinisan dari caranya berbicara.

Aku dan Meta mengobrol banyak hal yang belum sempat kami bicarakan. Meta menceritakan bahwa dia baru saja diperpanjang kontraknya. Untuk urusan kuliah, dia sudah bisa menyusun skripsi walau belum tahu apa yang akan dia tulis.

"Kalau kuliah selesai terus kontrak kamu habis, kamu mau pulang ke Bogor apa tetep di sini?"

"Belum tahu. Gimana nanti ngalirnya aja. Kalau kamu gimana? Kalau selesai kerja sama tim Pemenangan Salim Amin, bakal pulang apa lanjut di sini?" balas Meta yang menghentikan suapan ke mulutnya.

"Lanjut di sini. Aku pantang pulang sebelum sukses," jawabku dengan tegas walau aku gak tahu bagaimana cara mendapatkan kesuksesan.


Aku selesai mengantar Meta ke mall di Balubur pada jam setengah dua. Lalu, aku bergegas ke kantor Pemenangan Saldi Amin di Jalan Gurame. Jalanan yang padat dan cuaca panas gak membuatku terlambat sampai di kantor. Aku sampai jam dua kurang tujuh menit.

Ruangan tengah kantor sudah disulap menjadi semacam aula. Ukurannya gak begitu besar tapi cukup untuk menampung sekitar seratus orang. Di bagian belakang, ada katering yang sudah menyiapkan makanan dan dinikmatk oleh sebagkan tamu. Di bagian depan, ada tiga orang sedang memasang sejadah dengan kiri kanan mereka ada kursi lipat berjejer yang belum terpasang.

Jam dua lebih empat puluh delapan, Mas Tri tiba. Dia mengenakan peci, jas dan celana berwarna hitam dipadukan dengan dasi berwarna biru tua. Dia melangkah tegap menuju mimbar.

"Mohon maaf, Bapak Ibu sekalian. Berhubung adzan ashar akan berkumandang sebentar lagi, acara rapat tim legal akan dimulai setelah salat ashar berjamaah. Atas perhatian Bapak Ibu sekalian, saya ucapkan terima kasih," ucap Mas Tri.

Puluhan tamu yang hadir berbondong-bondong menuju kamar mandi untuk berwudhu. Aku menjadi saksi bagaimana Mas Tri hanya berbekal kalimat yang diucapkannya untuk memberi perintah dan dituruti oleh para tamu.

Seumur hidup, aku baru melihat ada orang dengan karisma macam Mas Tri. Aku kagum dengan embawaannya yang tenang, pemilihan katanya yang pintar dan nada bicaranya yang terjaga. Selain itu, bukan hanya politik yang dia kuasai tapi juga agama. Terbukti dengan beberapa perkataannya padaku mengutip ayat-ayat dari Alquran.

Jam tiga lebih dua belas, kami menjalankan salat ashar berjamaah dengan Mas Tri menjadi imamnya. Selesai salat, para tamu dipersilakan makan terlebih dahulu sambil menunggu kursi diatur agar rapi di titik bekas sajadah terhampar.

Mas Tri terlihat gak henti-hentinya disapa oleh para tamu. Para tamu seperti ingin mendapat kesempatan mengobrol dengan Mas Tri. Mas Tri meladeni mereka dengan penuh senyum.

Aku menyempatkan diri makan. Persis di undangan, aku dan para tamu makan sambil berdiri. Aku melihat-lihat para tamu yang semuanya berusia di atasku. Sepertinya aku beruntung di usia seperti ini sudah diajak oleh Mas Tri. Aku merasa canggung dan gak berbicara dengan siapa pun. Hanya menebar senyum ke sana-sini.

Jam empat kurang lima belas, kursi-kursi sudah terpasang rapi dan diduduki oleh para tamu. Mas Tri naik merapikan jas, dasi dan kemejanya kemudian naik ke mimbar.

"Selamat sore, Bapak Ibu sekalian. Dengan ini, saya buka rapat tim legal Pemenangan Salim Amin dalam Pilkada Kota Bandung," kata Mas Tri yang disambut dengan tepuk tangan oleh para tamu.

Mas Tri membahas program kerja Salim Amin dalam mewujudkan Bandung Damai, Sejahtera dan Makmur. Untuk mewujudkannya, Salim Amin membutuhkan perhitungan suara dan dukungan para warga. Mas Tri meminta para tamu untuk aktif menyebarkan program-program kerja Salim - Amin supaya bisa meraih perolehan suara lebih banyak.

Mas Tri melanjutkan pidatonya dengan menyatakan bahwa dia membutuhkan seluruh tamu untuk sama-sama berjuang memenangkan Salim - Amin. Menurutnya, ada dua pasangan lain yang punya keinginan sama besarnya. Maka dari itu, Mas Tri menyarankan para tamu untuk siap bertarung dengan tim pemenangan dua calon lainnya.

"Bapak Ibu sekalian, dalam praktik politik itu rentan dengan kecurangan. Tim legal kami membutuhkan Anda semua menemukan berbagai kecurangan tim pasangan lain," Mas Tri mulai berbicara dengan berapi-api di mimbar.

"Walikota incumbent tidak boleh kampanye menggunakan jabatannya. Anda kalau menemukan hal seperti itu, rekam dan berikan pada tim legal yang selalu siap sedia di kantor ini. Kalau ada yang bagi-bagi amplop atau sembako pun, jangan sungkan untuk merekam dan melaporkannya," lanjut Mas Tri.

"Kita harus menyamakan visi, memenangkan Salim - Amin. Maka dari itu, kita harus bertindak cerdik menemukan kecurangan pasangan lain," Mas Tri makin menggebu sampai beberapa kali membetulkan posisi dasi dan kemeja di dalam jasnya.

"Laporan Bapak dan Ibu akan kami analisis lalu diteruskan laporan kecurangannya ke KPU dan pasangan yang curang itu akan mendapat hukuman. Kita juga bisa menggunakan media untuk menjatuhkan perolehan suara mereka," Mas Tri terlihat berbeda dari yang kukenal semakin lama dia berpidato.

"Gak usah sungkan melaporkan siapa pun, ingat siapa pun ..." Mas Tri berhenti sejenak seakan ingin menghela napas.

Lihat selengkapnya