Pantang Pulang

Diatri Kusumah
Chapter #18

18. Sikeras

"Sadar gak? Deskripsi pekerja keras di kualifikasi lowongan kerja itu persetujuan kita buat jadi budak," Saldi berapi-api membuat teori yang datangnya dari kondisi setengah sadar akibat anggur merah.

"Maneh baru menang judi, Di. Gak usah sok serius dulu," protes Reza yang mulai menyandarkan duduknya ke sofa.

Saldi keukeuh ingin membicarakan tentang perbudakan modern. Reza memilih topik sejarah. Obrolan beda jalur ini memakan korban yaitu aku yang harus merespon mereka berdua. Meski gak minum anggur merah, kepalaku pusing juga harus membagi otak pada dua cabang berbeda. Perbedaan topik keduanya berakhir ketika mereka setuju membuat cerita fiksi tentang pengusiran Westerling dari Jawa Barat.

Aku cukup terhibur mendengar kelakuan mereka yang aneh. Buat sejenak, pikiran tentang mencari kerja, membayar kontrakan dan biaya mengganti laptop Saldi serta Reza bisa dikesampingkan. Biar besok pagi saja aku mencari kalan keluarnya, begitu pikirku.

Pagi harinya sekitar jam delapan, kami semua sudah bangun dan berkumpul di ruang tamu yang juga jadi tempat bagi kami tidur semalaman.

"Gini ya, Di, Za. Urang bayar laptop kaliannya dicicil ya tiap urang dapet duit," kataku sambil memberikan sejumlah uang pada mereka hasil bekerja sebagai pemasang spanduk.

"Maneh butuh duit ini buat jaga-jaga sampai maneh dapet kerjaan," Reza menolak pemberianku.

"Ada tabungan kok, Za kalau buat biaya darurat mah."

"Bener kata si Reza, Ra. Bukan salah maneh juga 'kan laptopnya ilang? Pakai aja dulu duitnya sama maneh," Saldi merespon.

Terjadi proses tawar-menawar yang cukup sengit antara aku melawan Saldi dan Reza. Lebih sengit daripada penawar di acara lelang. Aku berhasil menang setelah membuat ancaman akan menggunakan uangnya untuk menyewa jasa perempuan. Mereka langsung mengambil uangnya.

Rutinitas pagi hari paling bijak bagi seorang pengangguran adalah mencari pekerjaan atau kesempatan untuk menghasilkan uang. Sejam sudah aku berselancar di internet menggunakan HP kemudian menyebar lamaran serta riwayat hidupku ke perusahaan-perusahaan yang membuka lowongan kerja. Semuanya kulamar kecuali yang membutuhkan orang di posisi pemasaran.

Setelah rutinitas pagi itu, aku melepas kepergian Saldi dan Reza ke kampus. Kemudian aku nongkrong di warung Pak Amri. Aku memesan kopi sachet bergambar kapal dan sebatang rokok kretek untuk menjadi dua hal pertama yang masuk ke tubuhku.

"Belum ada kerjaan lagi, A?" tanya Pak Amri yang sibuk merapikan barang dagangannya setelah menghidangkan kopi ke hadapanku.

"Belum, Pak."

"Bener-bener susah ya, nyari kerjaan zaman sekarang," tambah Pak Amri di dalam warung sedang membereskan barang jualan di etalase depan.

"Susah, Pak. Banyak saingan, mana mereka sekolahnya lebih tinggi lagi."

"Bukannya saya memaklumi ya, A. Cuma saya tahu rasanya kenapa orang-orang jadi kriminal zaman sekarang," Pak Amri berhenti membereskan barangnya kemudian pindah duduk di sebelahku.

"Pengin dapet uang secepat mungkin, akhirnya pakai jalan yang gak bener. Kayak saya dulu," lanjut Pak Amri bercerita sambil menyalakan rokoknya.

"Bapak pernah jadi apa aja selain maling motor?"

"Pencuri, A. Bukan maling," pinta Pak Amri.

"Bedanya apa?"

"Pencuri kedengarannya lebih terhormat aja dibanding maling," jelas Pak Amri dengan wajah serius.

"Itu gak bikin pencuri jadi profesi yang terhormat, Pak."

"Emang tapi penggunaan kata bisa buat profesi lebih terhormat. Contohnya koruptor pada dasarnya maling atau orang klepto juga sama-sama maling tapi mereka pakai istilah yang berbeda," Pak Amri berargumen sambil berkali-kali mengepulkan asap rokoknya.

"Berapa lama Bapak ngehabisin waktu mikirin istilah maling dan pencuri ini?"

"Lumayan buat ngisi waktu luang di penjara," jawab Pak Amri tertawa.

Sekitar jam sembilan pagi, aku pulang ke kontrakan untuk melanjutkan rutinitas - mengamati situs-situs lowongan pekerjaan. Sejak tadi pagi, mungkin ada tiga lamaran yang sudah kukirimkan dan berpotensi lebih kalau-kalau ada yang dirasa cocok.

Aku mengirim pesan pada Meta menanyakan jadwal kerjanya. Meski sedang menganggur, aku butuh teman ngobrol atau sekadar jalan-jalan di luar. Untuk urusan itu gak ada yang lebih baik dari Meta.

Jam dua belas lebih delapan, Meta baru membalas pesanku menyatakan dia kerja sif pagi. Aku bilang akan menjemputnya kemudian pergi makan. Supaya pengeluaran harianku gak membengkak, aku makan siang dengan lauk pauk termurah yang bisa kutemukan di warung nasi paling dekat dengan kontrakan.

Kuhabiskan siang dengan menatap langit-langit kontrakan. Setengah jam pertama, aku memikirkan masa depan. Setengah jam kedua, kugunakan memikirkan pekerjaan apa yang bisa kudapat. Setengah jam ketiga sampai jam dua siang, aku tertidur.

Tidur siang mungkin akan terasa menyenangkan kalau aku tahu bulan ini bisa punya penghasilan. Sayangnya, itu gak terjadi siang ini. Begitu bangun, aku memikirkan lagi tentang lowongan pekerjaan yang bisa kulamar. Aku bisa menyimpulkan, tidur siang bagi seorang pengangguran gak semenyenangkan itu.

Gak ada kegiatan lain yang ingin kulakukan selain membuka HP, me-refresh browser berharap ada lowongan kerja terbaru yang bisa kulamar. Kulihat di daftar notifikasi, ada pesan di WhatsApp bukan dari Meta, Saldi ataupun Reza.

"Kepada Tara Saputra, menyikapi lamaran yang Saudara kirim, kami mengadakan proses interview pada hari ini jam empat sore bertempat di Jalan Siliwangi Dalam Empat nomor dua lima. Tolong konfirmasikan kehadiran Saudara terlebih dahulu. Terima kasih."

Lihat selengkapnya