Pantang Pulang

Diatri Kusumah
Chapter #19

19. Penghitung

Setengah jam sudah aku mencari informasi dari warga mengenai motorku yang hilang. Mereka semua kompak menyatakan gak tahu-menahu. Bahkan mereka baru tahu bangunan yang sebelumnya gak terpakai akan segera menjadi diubah menjadi gudang milik PT. Jayaraga.

Aku memilih untuk pulang karena gak menemukan cara lain lagi untuk mengembalikan motorku. Jarak kurang dari dua setengah kilometer untuk sampai ke kontrakan kutempuh dengan berjalan kaki. Aku sampai juga setelah berjalan selama dua puluh lima menit. Kemeja putihku mulai basah oleh keringat. Aku buka pagar kontrakan dan melihat mobil Reza sudah terparkir di halaman depan.

"Motor maneh gak kedengeran masuknya, Ra?" tanya Saldi yang sedang bersantai di ruang tamu.

"Urang balik jalan kaki soalnya motor urang ilang pas tadi interview."

"Ilang di mana?" Saldi tiba-tiba keluar dari kamarnya dan menghampiri ke ruang tamu.

"Jalan Siliwangi Dalem."

"Ayo kita cari," ajak Saldi buru-buru mengambil dompet.

"Udah, gak perlu. Urang udah nanya warga juga katanya pada gak lihat. Mereka aja baru tahu ada kantor tempat urang interview di situ. Kantornya belum punya CCTV lagi."

"Bisa aja itu kerjaan kantornya, Ra yang nyuri motor maneh," kata Reza.

"Bisa jadi soalnya agak mencurigakan kantornya. Gak ada yang kerja di situ selain yang interview urang. Cuma ya gimana lagi? Urang gak punya bukti mereka terlibat."

"Lapor polisi aja, Ra kalau gitu. Siapa tahu mereka bisa bantu maneh," Reza mulai bangun dari posisi menyandar di sofa.

"Polisi? Waktu kita lapor ilang laptop aja, sampai sekarang gak ada kejelasan," Saldi menimpali.

Jawaban Saldi membuat suasana kontrakan menjadi hening. Aku yakin, Saldi dan Reza pun sama bingungnya denganku untuk mencari jalan keluar.

"Urang denger, kalau barang ilang tuh kecil kemungkinannya balik lagi," lanjut Saldi.

"Maneh malah bikin si Tara mikir yang nggak-nggak," balas Reza.

"Biar gak terlalu ngarep. Takutnya malah sakit hati," jawab Saldi menatapku. Dia menepuk-nepuk pundakku.

Gagal mendapatkan Sisi, membuat Saldi serta Reza kehilangan laptop dan dipecat dari pekerjaan merupakan rentetan kejadian yang membuatku sakit hati. Hanya saja, kehilangan motor kesayangan menjadi yang paling telak memukulku. Pasalnya, motor itu merupakan idamanku sejak lama dan dibeli dengan perjuanganku menabung selama enam tahun.

Sebuah ide seringkali muncul ketika melamun. Hal itu berlaku padaku. Aku baru ingat kalau Pak Amri pernah menjadi pencuri motor dan berhubungan dengan penadah. Mungkin dia tahu satu atau dua hal yang bisa membantuku.

Selagi Saldi dan Reza mendiskuksikan apa langkah terbaik untuk kuambil, aku mendatangi warung Pak Amri.

"Bentar, Pak!" aku menghentikan Pak Amri yang sedang menutup warungnya.

"Mau kopi, A?" tanya Pak Amri dengan senyuman khas setelah berhenti menutup warungnya.

"Iya, Pak. Sekalian rokok kreteknya tiga batang," jawabku yang langsung duduk di bangku depan warung supaya bisa mencari informasi dari Pak Amri.

Pak Amri mengambil gelas plastik, menuangkan kopi sachet bergambar kapal kemudian diseduhnya dengan air panas.

"Tumben, A ngopinya jam segini. Biasanya pagi," kata Pak Amri setelah menghidangkan kopi dan tiga batang rokok ke meja yang ada di depan bangku.

"Iya, Pak. Lagi pusing ini. Sama saya mau minta bantuan sama Bapak," timpalku. Aku nyalakan rokok untuk meredam ketegangan sekaligus kemarahan.

"Bantuan apa? Saran soal percintaan?" Pak Amri duduk di sampingku.

"Bukan, Pak."

"Soal uang? Kalau itu saya gak bisa. Minjemin gak bisa, ngasih saran juga gak bisa. Aa dateng ke orang yang gak tepat," Pak Amri berbicara dengan nada yang sedikit lesu berbicara soal uang.

Aku menghisap rokok dalam-dalam mencari kata yang tepat untuk disampaikan ke Pak Amri. Aku khawatir kalau salah penyampaian, Pak Amri akan tersinggung. Apalagi ini menyangkut masa lalu Pak Amri yang kelam sampai dia pernah merasakan hidup di balik jeruji besi.

"Bukan soal uang, Pak. Soal masa lalu, Bapak," aku belum juga menemukan kata yang tepat sekaligus keberanian untuk langsung ke inti persoalan.

"Perempuan? Ah kalau soal itu saya bisa bantu," nada bicara Pak Amri berbalik menjadi begitu ceria.

"Bukan, Pak. Soal penadah."

"Aa nyuri motor terus mau dijual ke penadah?" Pak Amri terkejut dengan pernyataanku.

"Emang saya kelihatan kayak pencuri?"

"Saya juga emang kelihatan kayak pencuri? Gak 'kan? Nyatanya saya nyuri," balas Pak Amri dengan nada yang lebih tinggi dibanding ketika dia ingin membahas soal perempuan.

"Kalau pencuri sih gak, Pak. Kalau wajah kriminal, mungkin bisa jadi."

"Saya anggap itu jawaban jujur. Istri saya juga bilang muka saya kayak penjahat. Untung diselamatin sama kelakuan dan gaya bicara saya yang sopan. Makanya, dia mau," Pak Amri tersenyum mengenang istrinya. Istri Pak Amri kini sedang merawat menantu Pak Amri yang stroke di Purwakarta. Pasti Pak Amri sedang kangen pada istrinya.

"Penadah, Pak. Gimana soal penadah?"

"Oh, itu. Ada apa? Saya udah lama gak berurusan sama penadah," nada bicara Pak Amri berubah menjadi serius.

"Motor saya dicuri waktu..."

"Di mana?" Pak Amri bertanya dengan nada tinggi.

"Saya mau cerita tapi Bapak potong."

"Maaf, A. Saya kaget dengernya. Lanjut ceritanya, A," pinta Pak Amri.

"Motor saya dicuri waktu saya wawancara kerja di Siliwangi Dalam. Saya udah nanua warga sekitar, gak ada yang lihat motor saya katanya."

Aku menatap wajah Pak Amri. Wajah Pak Amri menatap lurus ke depan. Dia gak bicara barang sekata pun.

"Pak?"

"Iya, A?" jawab Pak Amri secara spontan.

Lihat selengkapnya