Ketika diburu waktu, tidur menjadi kegiatan yang sia-sia. Aku memaksa mataku supaya gak terlelap, tubuhku supaya gak beristirahat dan otakku supaya gak berhenti berpikir. Aku gak mau begitu saja merelakan motor kesayanganku. Pikir. Pikir. Pikir. Semua organ tubuhku dipaksa bekerja untuk menemukan solusi.
Sampai matahari terbit, aku belum menemukan solusi apa pun selain tanda-tanda bahwa tubuhku sudah gak berfungsi sebagaimana biasanya. Mataku sudah memerah, napasku semakin berat dan tubuhku terasa lemas. Aku putuskan untuk tidur pada pukul lima pagi dan bangun pada pukul delapan. Aku turun dari kamar dan menemukan Saldi serta Reza di lantai bawah.
“Kalian gak kuliah?”
“Enggak, Ra. Kalau-kalau maneh butuh sesuatu, kita siap bantuin,” jawab Reza.
“Urang sama Reza udah mikirin dari semalem, Ra. Maneh boleh pinjem duit kita dulu. Digantinya mah kapan aja maneh bisanya,” Saldi menawarkan solusi.
“Kalian dapet duit dari mana? Judi?”
“Duit judi urang udah habis, Ra. Mungkin bisa nelepon dulu mama urang buat minjem duit,” Reza menunjukkan HP-nya menandakan dia serius dengan idenya.
“Mau ke mama urang juga boleh, Ra,” timpal Saldi.
“Udah, gak usah libatin orang lain. Biar urang yang mikirin solusinya.”
“Kalau kita doang yang usahain, kayaknya bakal susah, Ra. Kita butuh orang luar,” Reza merespon sambil berpikir.
“Urang gak ada siapa-siapa lagi masalahnya.”
“Ada, Ra. Papa maneh,” celetuk Saldi yang langsung menutup mulutnya. Dia takut idenya menyinggungku.
Hubunganku dengan papa hanya dekat ketika aku masih kecil sampai kira-kira kelas tiga SD. Dulu, papa yang dulu sering mengajakku dan Fajar bermain atau berkeliling menggunakan mobil, mulai menjauh. Dia beralasan sibuk kerja. Aku jarang melihatnya di rumah bahkan saat akhir pekan.
Papa meninggalkan keluargaku ketika umurku masih tiga belas tahun dan Fajar masih berumur sepuluh tahun. Sejak saat itu, ibu menjalani dua peran dengan menjadi ibu sekaligus ayah bagiku dan Fajar. Aku gak habis pikir bagaimana ibu bisa mencari nafkah tanpa meninggalkan kewajibannya mengurus anak.
Bapak gak tahu keberadaannya di mana sejak bercerai dengan ibu. Aku gak peduli juga. Malah aku sempat mendoakannya mati dengan pelan supaya dia tersiksa dulu. Kejam, memang tapi saat itu aku sedang benar-benar emosi. Sekarang, aku lebih tenang dan doaku gak sesadis dulu. Aku hanya meminta supaya dia mendapatkan ganjaran atas tindakannya padaku, ibu dan Fajar.
Kabar soal Papa, aku dengar dari ibu sekitar tiga bulan yang lalu. Kata ibu, papa menanyakan kabar serta ingin mengajakku dan Fajar ke rumahnya di Bandung. Katanya dia sudah lumayan sukses makanya siap menjadi ayah kami lagi. Keinginan itu kutolak karena aku gak butuh sosok ayah lagi sejak ibu yang menjalankan peran tersebut.
"Kalau maneh minta duit ke dia, menurut urang sih gak ada salahnya. Kan maneh anaknya. Udah lama juga kan dia gak biayain maneh sama si Fajar" kata Saldi memberi ide.
"Urang setuju sama Saldi. Maneh kalau udah bisa maafin dan udah siap, bisa ngasih kesempatan dia jadi papa maneh lagi, Ra," timpal Reza.
Memaafkan Papa belum sepenuhnya bisa kulakukan. Seenggaknya sampai saat ini. Di tengah dilema, aku gak menemukan opsi selain membuka komunikasi lagi dengannya. Aku buka HP kemudian mencari nomor papa yang pernah mengirim pesan lewat WhatsApp. Nomornya sudah kutemukan.
Aku menimbang-nimbang apakah harus menelepon atau berkomunikasi lewat chat. Lewat chat, aku bisa mengontrol emosiku tapi akan memakan waktu. Lewat telepon akan jauh lebih cepat. Maka dari itu, aku memutuskan untuk menghubungi papa lewat telepon.
"Halo, Tara?" jawab papa lewat telepon.
"Iya, Pa. Papa di mana?"
"Papa di Bandung ini. Akhirnya kamu telepon Papa juga. Gimana kabarnya kamu, Fajar sama ibu?" tanya Papa dengan suara yang nyaris tertutup bising di sekitarnya.
"Aku baik. Mereka juga baik-baik aja. Aku juga ada di Bandung. Bisa ketemu?"
"Jangan hari ini. Papa sibuk," respon Papa yang sekarang suaranya terdengar lebih jelas. Mungkin dia pindah ke tempat yang lebih tenang.
"Ini pertama kalinya aku ngajak ketemu. Setelah enam tahun. Terus jawaban Papa lagi sibuk?"
"Oke, oke. Jangan emosi dulu. Nanti kita makan siang di Serasa Kitchen. Jam dua belas," Papa akhirnya bisa kutekan.
Aku menutup telepon tanpa mengiyakan. Aku gak mau dia merasa jumawa karena di antara kami berdua, akulah yang lebih ngotot untuk bertemu. Pertemuan dengannya gak akan berjalan mudah. Aku gak mau emosiku tersulut dan melakukan tindakan bodoh. Maka dari itu, aku akan mengajak seseorang yang bisa mengontrolku.
Saldi sepertinya bukan orang yang tepat menemaniku siang ini. Dia akan bertanya macam-macam dan bahkan bukan gak mungkin, dia duluan yang akan tersulut amarahnya. Reza lebih masuk akal. Dia lebih tenang dibanding Saldi dan dapat diandalkan. Aku ingat, ada sosok paling pas untuk menemaniku bertemu Papa. Meta.
"Met, sibuk gak siang ini?" kataku begitu telepon diangkat.
"Aku masuk siang, Tara. Katanya, motor kamu ilang kemarin. Beneran?" tanya Meta.
"Iya. Kamu bisa temanin aku ketemu papaku gak?"
"Aku kira papa kamu udah meninggal," Meta merespon dengan nada kaget.
"Aku gak bilang dia meninggal. Aku bilang dia gak layak dibahas."
"Aku pikir gak layak dibahas karena keburukannya sebelum meninggal," Meta keukeuh membahas kesalahpahamannya terhadap ucapanku.
"Jadi, bisa nemenin?"
"Bisa," jawab Meta.
Aku menjemput Meta menggunakan motor Saldi yang kupinjam.Kami sampai di Serasa Kitchen pada jam dua belas kurang tiga. Kami memilih meja di tengah restoran supaya gampang terlihat oleh papa ketika datang.
"Kamu kurang tidur ya, Tara?" tanya Meta sambil menatap mataku dalam-dalam.
"Iya, tidur paling cuma dua jam tadi pagi."
Aku menceritakan bagaimana semalam aku menemui penadah bersama Saldi dan Reza ke Meta.
"Di aku ada kok lima juta kalau kamu mau pakai dulu," Meta mencoba memberikan solusi.
"Semua mau minjemin uang. Saldi, Reza, sekarang kamu. Makasih banyak tapi aku lagi ngeusahain cara lain."