“Bu ini beneran jalannya? Kita gak salah jalan ‘kan Bu?” tanya Lita, sembari melihat ke kiri dan kanan. Tak ada rumah orang yang di temuinya, hanya ada pepohonan rindang di sepanjang jalan. “Benar Lita, Ibu tidak mungkin salah, Almarhum bapakmu sendiri yang memberitahu Ibu alamat ini.” Jawab Bu Murni meyakinkan Lita yang terlihat tidak yakin. “Apa di sana nanti ada listriknya Bu?” tanya Lita lagi, sudah terbayang di benaknya sebuah desa kecil yanga sangat ketinggalan jaman. “Semoga saja ada.” Mendegar sahutan dari sang Ibu, mebuat Lita semkia mendengus kesal.
Tiba-tiba mobil yang di tumpangi mereka berhenti. “Loh ada apa Pak?” tanya Bu Murni pada sang Driver. “Ibu maaf, saya hanya bisa mengantarkan Ibu sampai di sini saja, soalnya akses jalan menuju ke desa tidak memadai.” Mata Lita mendelik tak suka, “Kok gitu sih Pak, terus kami gimana? Jalan kaki?” ujarnya tak terima dengan nada sedikit tinggi. “Lita tidak boleh begitu, sudah ayo kita turun, kita harus cepat sampai di desa sebelum malam.” Ajak sang Ibu. Bu Murni tersenyum ramah pada sang supir, “Pak maaf ya, dan terimakasih.” Ucap Bu Murni ramah. “Saya yang harusnya minta maaf Bu.” “Tidak apa-apa, ini ongkosnya ya Pak.” Bu Murni pun memberikan uang beberapa lembar pada sang supir, setelah itu ia dan Lita turun dari mobil, sedangkan sang supir membantu menurunkan tas serta koper milik Lita. “Terimakasih ya Pak.” “Sama-sama Bu.”
Lita dan Bu Marni pun melanjutkan perjalanan mereka dengan berjalan kaki. “Astaga ini jalan apa jalanan sih?” kaget Sasa melihat jalan di hadapannya yang lebih mirip dengan kandang Bab*i. “Pantas saja Lit, Om taxi itu tadi tidak bisa mengantarkan kita, jalannya saja seperti ini.” Imbuh sang Ibu, Lita mengangguk setuju. Keduanya pun terus berjalan meski kesulitan karena jalan yang becek dan licin sedikit susah untuk di lewati. “Ibu hati-hati ya, ini sangat licin, sini tas-nya biar Lita yang bawa.” “Tidak usah Lita, Ibu bisa kok, kamu bawa saja koper mu, itu lebih berat dari tas Ibu.” Tolak Bu Murni.
Cukup jauh mereka berjalan, namun tak juga kunjung menemukan hujung. “Ibu ini bener apa enggak sih Bu? Kenapa belum ketemu juga desanya.” Tanya Lita dengan keringat bercucuran di pelipisnya, ia sudah mulai jengah. “Iya bener kok Lita, Ibu masih ingat sekali dengan penjelasan mengenai desa itu dari Bapak mu.”
Mereka pun kembali terus berjalan. Hingga hari sudah mulai berwarna jingga, menandakan jika siang akan berganti malam. “Ibu itu sepertinya cahaya ya, sepertinya di depan sana desanya deh.” Riang Lita saat matanya tak sengaja melihat setitik cahaya. Keduanya pun semakin bersemangat melanjutkan jalan, karena mengira desa sudah di depan mata. Namun setalah kian lama berjalan, titik cahaya yang di lihat oleh Lita itu tidak juga kunjung di temukan, membuat kerutan tercipta di kening Lita. “Kok gak sampai-sampai sih Bu, tadi perasaan dekat aja kok.” Heran Lita sembari duduk lesehan di rerumputan. “Ya sudah Lita, kita istirahat saja dulu, setelah itu kita lanjut, Ibu takut kita akan kemalaman.” Ujar sang Ibu tak ambil pusing, walaupun sebenarnya ia juga merasa janggal dengan titik cahaya itu.