"Syil," panggil pria itu lagi.
Syilla kembali menarik pintu besinya agar terbuka. "Ya?"
"Besok. Kamu ada waktu?"
Astaga, pertanyaan macam apa ini? Layaknya sebuah bom yang mendarat tepat di depan mata Syilla, ini membuat Syilla membelalakkan matanya.
"Hah?" Syilla terlalu terkejut mendapati pertanyaan ini pertama kali seumur hidupnya.
"Besok siang, kamu ada waktu?" tanya pria itu lagi dengan seulas senyum di wajahnya, ia mengusap tengkuknya, menunduk nampak tidak percaya diri dengan pertanyaannya barusan.
Syilla mengangguk pelan.
"Kalo gitu, aku pamit... nanti aku jemput," ucap pria itu tersimpul manis membuat Syilla memerah sempurna lalu pergi dari hadapan Syilla.
Syilla menutup pintu itu segera, menjatuhkan dirinya di balik pintu. Memeluk lututnya sendiri, menguatkan diri agar tidak meloncat. Syilla tak menyangka akan mendengar pertanyaan kecil itu dari mulut Bintang.
Ia terlalu senang sekarang. Begitu banyak yang menimpanya, tapi kemanisan juga datang secara bersamaan. Yang secara tidak langsung itu menghiburnya. Atau mungkin lebih dari itu. Syilla terlalu terhibur, hingga melepaskan senyumnya sendiri. Di ruang yang sepi ini, Syilla menertawakan apa yang terjadi. Apakah ini memang terjadi?
***
Cahaya matahari masuk menembus melewati celah di antara gorden jendela Syilla yang berhadapan langsung dengan tempat tidurnya. Menyilaukan, membangunkan Syilla dari tidurnya yang melelahkan setelah berkemas kemarin malam. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, menatap ke arah cahaya itu berasal.
Syilla bangun dari tempatnya, membukakan gorden itu sepenuhnya. Memberikan cahaya ke seluruh ruangan. Syilla meraih handuknya, kemudian menuju dapur sebelum pergi ke kamar mandi. Menyalakan mesin kopi, agar saat Syilla selesai mandi ia bisa meminum kopinya.
Setelah lebih dari 15 menit, Syilla keluar dengan handuk masih melilit di tubuhnya. Dan handuk kecil terikat di atas kepalanya. Ia mengambil gelas dari lemari atas dapur, menaruhnya di bawah mesin kopi dan menekan tombol di atasnya. Membiarkan kopi itu keluar dan harumnya tercium.
Syilla menyeruput kopi panas di tangannya kemudian meletakkannya kembali di atas meja. Ia pergi menuju lemari pakaian yang isinya sudah ia bereskan semalam, mengambil sebuah pakaian selutut berbentuk sepan tanpa lengan dan memakainya.
Syilla mengeringkan rambutnya setelah sebelumnya ia oleskan vitamin menggunakan hair dryer. Sampai akhirnya ia benar-benar siap dengan penampilannya, ia kembali membuka lemari pakaiannya meraih blazer putih tanpa kancing dengan garis hitam di bagian depan dan lengan tiga perempat. Syilla memakai itu dan menggeraikan rambut di belakangnya.
Ia melepaskan ponselnya yang sudah penuh terisi dari charger-an. Memasukkannya ke dalam tas cokelat, dan meraih kunci mobil yang ia letakkan di atas nakas sebelah tempat tidur. Ia menyeruput kopinya lagi sebelum pergi, kemudian menuju ke kantornya.
"Selamat pagi Bu," sapa salah seorang pegawai ramah begitu Syilla datang.
Syilla tersenyum, kemudian berjalan lurus menuju ruangannya di mana Anjani berdiri di depannya sekarang dan menyambut Syilla.
"Kamu ngapain berdiri di sini? Nungguin saya?" tanya Syilla membuka pintu di belakang Anjani.
"I–iya, Bu. Saya denger Bu Syilla pindah? Ke mana?" tanya Anjani mengikuti Syilla masuk.
"Ya pokoknya saya pindah. Kamu gak perlu tau ke mana, nanti kamu laporin lagi... " Syilla duduk di kursinya kemudian terkekeh menatap Anjani yang tertunduk di depan mejanya. Ia tahu Anjani menanyakan ini pasti karena perintah mamanya.
"Ah, Bu Syilla tau rupanya... saya minta maaf Bu... "
"Kalo mama tanya, bilang aja saya gak kasih tau kamu... "
"Kalo gitu saya permisi Bu, sekali lagi saya bener-bener minta maaf Bu... "
"Gapapa. Lagian mama saya juga yang suruh kamu. Kamu boleh pergi sekarang."
Anjani keluar dari ruangan Syilla, tapi tak lama kemudian ia kembali.
Tok! Tok!
"Masuk."
"Loh kamu balik lagi?" tanya Syilla melihat Anjani yang membuka pintu itu.
"Maaf, Bu. Bu Syilla ada kiriman bunga, tapi tidak diketahui siapa pengirimnya," ujar Anjani membawa sebuah buket bunga mawar merah di tangannya.
"Bunga?" tiba-tiba Syilla teringat ajakan Bintang kemarin sore saat di rumahnya. Tapi apa ini juga diberikan olehnya?
Astaga. Syilla tak tahu Bintang bisa memberinya kejutan seperti ini.
"Kamu taruh di sofa aja," ucap Syilla lalu Anjani meninggalkan buket bunga itu di sofa seperti perintah Syilla.
Syilla menghampiri mawar merah itu, matanya berbinar tak menyangka sekaligus tak percaya. Merasa Bintang terlalu manis karena tiba-tiba melakukan ini. Ia mencium aroma harum dari bunga di tangannya. Terlalu harum, hingga bisa membuat Syilla terbang. Bagaimana bisa Bintang mengirim bunga secantik ini ke ruangan tempatnya bekerja? Apa dia ingin Syilla lebih tergila-gila hingga tak bisa melupakannya, bahkan saat bekerja?
Oh ya ampun! Syilla tak bisa menahan ini. Senyuman yang selalu melarikan diri dari bibirnya. Pipinya memerah seperti bunga di hadapannya. Ia mengeluarkan tawanya sendiri. Tubuhnya geli memikirkan apalagi yang akan dilakukan Bintang setelah ini. Kira-kira apa yang ia katakan saat bertemu siang nanti, apa benda manis lainnya yang akan Bintang bawa untuk membuat Syilla berbunga-bunga. Syilla memikirkan itu semua.
***
Drttt!! Drttt!!
Bintang is calling...
"Halo," Syilla mengangkat ponselnya yang bergetar dengan penuh kekuatan berusaha tak menjatuhkannya karena gemetar.
"Aku di depan kantor kamu."
"Oh? A–aku ke sana sekarang," ucap Syilla kemudian menutup teleponnya, matanya masih memandang mawar merah cantik yang terletak di atas meja. Memikirkan apakah ia harus membawa ini juga, atau tidak.
Syilla merogoh sebuah lip cream berwarna peach dari tasnya, mengoleskan itu di bibir dengan bercermin di layar ponselnya. Ia menyisir rambutnya menggunakan jari, kemudian menyelipkannya di satu sisi. Syilla tampak terlalu cantik sekarang.