"Kenapa?" tanya pria itu mengejutkan Syilla yang tertunduk di ponselnya.
"Ah? Aku mau bilang makasih udah ajak aku ke sini... "
Jika saja Syilla terlanjur mengatakan soal mawar tadi, bukankah tampak terlalu memalukan dan menaruh harapan?
"Ada juga aku yang bilang kali, makasih yaaaa," Bintang membelai pucuk kepala Syilla lembut, menyipitkan matanya menciptakan lengkungan manis di wajahnya.
Demi apapun Syilla berani bertaruh, ia bisa diabetes gara-gara ini!
"Kalian mau pulang sekarang?" tanya Celine yang tiba-tiba datang membawa sebuket mawar merah besar.
"Syilla janji! Nanti Syilla mampir ke sini lagi, tapi sekarang Syilla udah harus balik ke kantor Tan... maafin Syilla yaaa... "
"Iya-iya. Tante pegang janji kamu ya! Oh, ini. Maaf Tante cuma bisa kasih ini... " ucap Celine menyerahkan buket itu ke tangan Syilla.
"Ish jangan gitu... bunganya cantik, harum juga sama kaya yang ngasih... hehe..."
"Kamu bisaaaa aja terusss... "
"Kalo gitu aku sama Syilla pamit ya Tan," ujar Bintang berpamitan pada Celine.
"Ah iya, hati-hati di jalan ya."
"Sepatunya nanti aku kirim ke sini ya Tan!" teriak Syilla dari luar restoran, yang jelas terlihat di balik dinding cermin ini kalau Celine tersipu.
"Kamu mau kasih sepatu itu ke Tante Celine? Orang yang baru hari ini kamu temuin?" Bintang menatap Syilla heran, ketika keduanya sudah duduk bersebelahan di dalam mobil.
"Loh emangnya kenapa? Dia baik, aku suka... orangnya ramah, udah kasih aku bunga juga."
Bintang mendengus kesal. "Jadi setiap orang yang kasih kamu bunga, bakalan kamu bales juga sama apapun yang orang itu mau, gitu?"
"Kamu kenapa sih?" Syilla terkekeh geli melihat sikap Bintang seperti ini. Menggemaskan.
"Enggak!"
Ya Tuhan! Mawar Rama!
Syilla sadar apa yang dimaksud Bintang dalam ucapannya. Apa Syilla akan membalas bunga yang Rama berikan dengan apapun itu? Oh, tidak. Dia berbeda dengan Celine. Dia belum pernah Syilla temui, mungkin akan malam ini. Tapi apa semudah itu Syilla akan menerima bunga dan maksud terdalamnya?!
"Aku gak gitu ke semua orang yang kasih aku bunga... " jelas Syilla.
"Lah, ya terserah. Udah sampe, cepet turun! Dua jam lagi aku ada penerbangan," ucap Bintang ketus.
"Idih, baru nganterin sampe sini aja... belum ke Afrika woy! Terbang aja sana terbang! Lagian siapa juga yang tadi minta dianterin!" ucap Syilla tak kalah ketus, menghadapi pria itu yang berubah sikap tiba-tiba.
Syilla menutup pintu itu keras. "Hati-hati."
Oh ya Tuhan. Dua kata itu terlalu menggemaskan jika tidak ia keluarkan dari mulutnya. Itu hanya akan menggelitiknya hingga tidak bisa tidur jika seandainya tidak terucap.
***
Jijik. Satu kata yang Syilla rasakan begitu melihat bunga yang masih terletak di sofa dan katanya pemberian Rama. Seberani itukah Rama ini? Mereka belum bertatap muka, tapi pria ini sudah mampu mengirimkan bunga.
Oh, ya Tuhan. Syilla benar-benar tak ingin pergi. Apa Syilla harus pergi dan mengikuti kemauan ayahnya lagi?
Syilla mencengkeram erat pena di tangannya, sedang tangan yang satunya lagi kuat mengepal. Seandainya dokumen di hadapannya bukan dokumen penting perusahaan, sepertinya Syilla akan meremas itu hingga menjadi bulatan yang pas untuk dilempar. Ke tempat di mana mawar pemberian Rama itu berada, sebagai bukti kekesalannya pada pria yang belum pernah ia temui itu.
Tok! Tok!
"Masuk."
"Permisi, Bu. Bu Syilla ada kiriman dari Pak Rama," ujar Anjani dengan sebuah kotak besar berwarna putih dan pita merah muda terikat di atasnya.
Syilla membelalak sempurna. "Rama?! Yang ngirimin bunga itu juga?!" tunjuk Syilla pada mawar di sofa yang sejak ia terima belum berpindah dari posisinya.
"Loh, jadi bunganya dari Pak Rama? Wih... itu Pak Rama kasih Ibu bunga lagi juga? Lebih gede lagi... " ucap Anjani menyadari ada buket lainnya yang Syilla letakkan di atas meja.
Astaga Anjani. Kamu cari mati di suasana hati Syilla yang kacau sekarang.
"JANI!" bentak Syilla. Demi apapun Syilla tidak pernah membentak Anjani seperti ini.
"Siap Bu," Anjani terkesiap, tubuhnya gemetar menghadapi Syilla yang berbeda.
"Ka–kamu letakkan itu di sana juga, ka–mu boleh keluar sekarang," Syilla memutarkan kursinya hingga membelakangi Anjani. Ia menggerakkan pelan tangannya, bermaksud memerintah agar wanita itu segera pergi. Meninggalkannya sendiri.
"Baik, Bu. Saya minta maaf, saya benar-benar minta maaf... saya tidak bermaksud–"
"KELUAR!" bentak Syilla lagi, mengejutkan Anjani. Ia bangun dari tempat duduknya, menghampiri Anjani yang bodohnya masih berdiri di sana.
"Bu Syi–" Anjani terlalu gemetar menatap Syilla yang sudah berdiri di hadapannya.
"Kamu gak denger ucapan saya barusan?!"
Syilla mendekatkan wajahnya, membisikkan sesuatu tepat di telinga Anjani. "Keluar."
Pelan, tapi menakutkan.
Syilla membuka kotak itu, setelah Anjani yang terburu-buru pergi. Terdapat sebuah gaun bercorak lembut dengan pendek selutut, dan sepasang sepatu berwarna krem kecoklatan berhak kira-kira 6cm.
Ting!
Frnsscahelena : "Rama katanya kirim gaun ke kamu juga? Mama juga dapet, bagus kan?"
"Aarghh!!!"
Syilla mengepalkan kedua tangannya. Syilla benci. Entah mengapa dunia seakan mendukungnya untuk bertemu dengan Rama. Sebaik apakah Rama?
Tanpa ia sadari, setetes berhasil lolos terjatuh dari matanya. Dan tanpa perintah, yang lain mengikuti. Membasahi pipi Syilla. Yang dua jam lalu masih tersenyum manis bersama Bintang.
***