Pantas

bloomingssy
Chapter #9

Pantas - 9 | White Pearl

Syilla menepuk-nepuk kepalanya sendiri, merasa sangat frustrasi. "Aishh! Kok bisa ya ngimpi begituan?! Aaahhh!"

Ia memandangi dirinya dalam cermin di depan meja rias, berantakan. Entah sudah berapa kali Syilla menjambak rambutnya sendiri. Merasa gila sekaligus tak menyangka. Ia melangkahkan kakinya keluar kamar, melihat kembali ruang tengah yang sudah bersih dan rapi sempurna seperti semula. Tidak meninggalkan jejak, kalau dirinya dan Bintang telah menghabiskan waktu di sana untuk berpesta, di sofa itu.

Dari kemarin siang sampai jam dua pagi hari ini. Saat semalam ia terbangun dari kasur di kamarnya, setelah menghabiskan semua minuman itu bersama dengan Bintang. Ketika ia menyadari pria itu tidak bersamanya lagi. Bintang hanya meninggalkan selembar post-it yang ditempel di layar televisi.

"Aku udah beresin semuanya, jangan lupa besok sarapan dulu... aku tunggu ucapan selamat ulang tahun kamu 3 bulan lagi. Oh iya, jangan lupa janji kamu semalem! Kamu gak akan beli alkohol lagi, inget itu!"

-Bintang yang semalem

Syilla mencabut itu dan menempelkannya di meja rias kamarnya. Sampai sekarang ia masih menatapnya, memegang kalung dengan mutiara cantik yang menggantung di lehernya. Sebuah kalung cantik yang mengingatkannya akan mimpi gila itu lagi.

"Kamu gak kasih hadiah atau kado gituuu sama aku?"

"Emang bakalan kamu terima?" Bintang memalingkan wajahnya.

"Ish! Kamu tuh ya! Di mana-mana orang siapin surprise tuh kadonya tetep aja ada, seenggaknya kamu kasih aku bunga atau cokelat juga itu tetep kado namanya!" Syilla benar-benar merasa kesal, ia melarikan pandangannya menuju televisi lagi dan menyuapkan cemilan di tangannya.

"Terus itu di tangan kamu apa?" tanya pria itu menyadarkan Syilla untuk melirik ke bawah, melihat bungkusan cokelat yang isinya tinggal sepotong lagi berada di tangannya.

Ia merasa kikuk dan tak tahu apa yang harus ia katakan pada pria yang tengah menertawakannya sekarang.

"Jeng-jeng-jeng! Semoga kamu suka... " Bintang mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah muda dengan pita dari belakang punggungnya.

Syilla terkejut dengan senyum manis dan juga tawa sumringah menerima hadiah itu dari tangan Bintang. Ia membuka kotak yang terbilang manis dan lucu itu, mendapatkan sebuah kalung emas dengan liontin mutiara putih. Ia menariknya keluar dari kotak itu.

"Cantik, aku suka."

"Sama kaya kamu, sini biar aku pasang," ucap pria itu mengulurkan tangannya.

Syilla memberikan kalung di tangannya dengan wajah yang memerah panas. Melebihi efek dari minuman keras yang sudah ia minum, tubuhnya memanas. Terbakar habis ketika ia membalikkan tubuhnya, membiarkan tangan itu menyentuh lehernya. Memasang kalung yang terasa mengikatnya dalam ketidakmampuan. Dadanya naik turun seakan baru selesai lari maraton. Menyeimbangkan napas dan hormon gila yang keluar dari tubuhnya. Ia membalikkan tubuhnya, menatap lekat pria itu.

Pada saat tangan itu belum kembali pada pemiliknya, masih berada di leher jenjang milik Syilla. Sentuhan itu bergerak maju ke atas, jemari yang menyentuh lembut tengkuknya. Membuatnya menggelinjang luar biasa tentunya, pasti. Pria itu bergerak cepat mengusap rahang dan menuju dagu.

Ibu jari sebelah kanannya mengusap pipi Syilla yang memanas, sedang yang lainnya turun menjamah kembali tengkuknya. Dadanya naik turun menahan degupan kencang. Pria itu memajukan wajahnya, mendorong tengkuk Syilla menggunakan tangannya. Mencium bibir merah muda manisnya, ciuman pertama yang membuatnya gamang.

Syilla menutup matanya yang tadi seketika membelalak, mengikuti gerakan lembut pria itu di atas bibirnya. Ia menerima sentuhan yang membuatnya gila, tangannya bergerak mengalungi leher pria itu.

Bintang melumat habis bibir wanita di hadapannya. Ia menurunkan tangannya melingkari pinggang Syilla, mendorongnya untuk semakin merekat. Sekejap ia melepaskan ciumannya, menatap mata Syilla dalam. Kemudian menciumnya lagi, turun menuju leher jenjang yang tadi ia pasangkan kalung pemberiannya. Mendaratkan banyak kecupan di leher itu, mendorong Syilla hingga keduanya bertindihan di atas sofa.

Membuat Syilla menggeliat, meletakkan tangannya di dada pria itu. Berusaha mengatur napas yang bertempo cepat. Ketika pria itu melepaskan ciumannya lagi, ia mengusap lembut rambut Syilla dan mengecup keningnya.

"Tadi aku udah peringatin kamu, jangan paksa aku ingin menginap. Sayangnya aku gak bisa untuk tetap menyelamatkan kamu dari bahaya, senyum kamu terlalu jahat... "

"Aaaahhh!! Ke–kenapa bisa sih mimpi begituan tolong... " Syilla membenturkan wajahnya ke meja.

Cahaya matahari pagi masuk menyinari kamar Syilla melalui jendela. Membuatnya tak kunjung henti memikirkan mimpi yang cukup mengerikan.

"A–atau, ja–jangan-jangan itu bukan mimpi?!" ia mengangkat kepalanya lagi, menatap dirinya di cermin dengan mata terbuka sempurna.

"Oh enggak. Gak mungkin juga kali! Sadar woy! Masa iya Bintang yang cuma nganggap sahabat itu berani?" Syilla menyentuh bibirnya yang seakan-akan masih bisa merasakan sentuhan lembut dalam mimpinya.

Demi dewa Yunani yang naik kuda, gue kenapa?!

Syilla memijat dahi yang sejujurnya itu sangat penat. Terbayang-bayang mimpi yang mungkin hanya halusinasinya itu, cukup membuktikan kalau ia gila. Ia mencabut kertas yang tertempel di kacanya. Membaca ulang isi yang akan tetap sama. Ia meraih ponselnya, mengetikkan sebuah nama, berniat untuk meneleponnya. Tunggu, apa ia hendak menanyakan kebenaran mimpi itu pada Bintang? Bagaimana jika itu hanya halusinasinya saja? Tapi kalau halusinasi, kenapa bisa kalung itu benar-benar berada di lehernya?

Bodoh. Jarinya terlalu sering gemetaran, hingga kini tidak sengaja menekan tombol bergambar gagang telepon itu. Menghubungi pria dalam mimpinya. Ia akan mematikan itu jika bisa, tapi Bintang yang cekatan terlalu cepat mengangkatnya.

"Kenapa Syil?" tanya pria itu membuat Syilla memegang kuat ponselnya.

Tidak mungkin jika ia mengatakan. Maaf, tadi kepencet Bin...

Ia memilih diam, tidak mengeluarkan sedikitpun suaranya. Hingga pria itu memberikan pertanyaan yang sama.

"Ada apa Syilla?" Bintang masih mengatakan itu dengan lembut tanpa penekanan.

"Ka–kamu dimana?"

Oh ya Tuhan, pertanyaan apa itu Arsyilla?!

"Aku di rumah... lagi beres-beres, selama dua minggu aku ada penerbangan luar, jadi untuk sementara gak akan pulang... kamu udah sarapan?"

"Kamu mau ke mana emang?"

"Bulak balik Eropa sama Amerika mungkin... pertanyaan aku belum dijawab, kamu udah sarapan?"

Ia mengusap tengkuknya. "Oh. Belum."

"Tulisan aku di post-it nya kurang jelas?"

"Iya-iya, nanti aku makan. Aku baru bangun... "

Lihat selengkapnya