Aku hanya butuh kamu, cukup kamu. Tidak lebih dari itu.
Syilla memejamkan matanya. Menghela napas panjang, mencengkeram kuat bagian depan kemejanya. Tepat di bagian dada, ia berusaha menahan sesak. Mengendalikan emosi serta amarah yang menggebu.
Mata yang tak mau terbuka, kini mulai mengalirkan air mata. Rasa sakit ini, tak kuat ditahannya lagi. Setelah Rama mengantarkan sampai rumah orang tuanya, ia bergegas pergi ke rumahnya sendiri. Menenggelamkan diri dalam kehampaan lagi.
Tangan yang masih mencengkeram erat itu mulai memukuli dadanya sendiri. Entah ucapan Putri memang sekejam itu, atau karena rasa percaya dirinya, mungkin juga karena Syilla memang selemah ini.
Syilla pikir, kehidupan yang baik bukan berarti menggantikan kehidupan buruk. Lebih tepatnya, hanya memperbaiki. Itu saja. Dalam sepersekian detik, masa lalu bukan hanya menikamnya. Itu seperti melahap habis dirinya yang sekarang.
Harta, uang, kekuasaan maupun jabatan. Ternyata bukan itu yang sesungguhnya. Kekuatan adalah hal terbaik untuk menghadapi segalanya. Jangan tanya kata siapa, karena semua manusia pasti selalu membutuhkannya. Sama seperti Syilla.
Hingga sebuah vas berhasil melayang dari tangannya. Terpecah belah, di depan matanya. Ia memekik, sakit. Bukan karena pecahan vas tadi. Melainkan sebuah kenangan.
"Heh! Sini lo!" teriak Putri dengan segerombolan temannya, masih teman sekelas Syilla juga. Meriuhkan suasana kantin.
"Ke–kenapa?" Syilla meletakkan kembali sendoknya.
"Makan di kantin? SPP udah lunas emang?"
Ia menunduk, bisu.
Dagunya ditarik oleh tangan lentik wanita itu. Menatap Syilla kecut, penuh kecaman. "Sampah-sampah sekolah kaya gini, masih bisa makan?"
Putri menghempaskan wajah Syilla kuat, membuat tubuh wanita itu ikut tersungkur di lantai. "Gak malu?"
"Gak tau malu, kali ah!" sahut Nita.
Semua mata tampak tertuju padanya sekarang, bukan kagum. Ataupun iba.
"Kalo gak punya duit, gak usah deh sok-sokan masuk sekolah elite! Ujung-ujungnya juga malah jadi sampah sekolah kan?"
"Maaf."
"Cih! Pindah sekolah sana! Bukannya minta maaf!" sentak Nita, lalu mereka pergi meninggalkan kantin.
Syilla berusaha bangun, dengan mata yang mulai meneteskan air matanya. Melebihi rasa malu yang ada, ia tidak berani untuk bertemu seorang pun siswa. Meskipun itu hanya berpapasan mata. Ia meninggalkan nampan makanannya, menuju gedung belakang sekolah.
Bukan dirinya yang meminta untuk sekolah di sini. Ini murni keinginan Helena, setelah Syilla menolak keras permintaan itu dan memilih untuk membantu orang tuanya bekerja. Ia sadar, kemampuan ekonomi keluarganya tidak akan bisa memenuhi kebutuhannya belajar dengan layak. Akan tetapi, Helena bersikeras agar Syilla sekolah di tempat ini.
Perusahaan Ardi gulung tikar beberapa hari setelah Syilla lulus SMP. Memaksanya melalui kehidupan yang sulit. Ia ingat saat Helena mengatakan, bahwa dirinya masih memiliki tabungan pendidikan untuk Syilla. Helena kekeh dengan pendiriannya untuk menyekolahkan Syilla dengan baik. Meski puluhan kali ia menolak, karena ia sadar otaknya tidak sepandai itu.
Ia hanya hobi menggambar sejak kecil, dan tidak terlalu tertarik pada pelajaran umum. Seperti yang dilakukannya sekarang, membolos jam pelajaran setelah bel yang menandakan istirahat selesai, berbunyi. Membubarkan semua siswa kembali ke kelasnya.
Gedung belakang sekolah adalah pilihan terbaiknya untuk bersembunyi. Karena selain sepi, tidak ada seorang pun yang berani kemari. Baik itu guru BK sekalipun. Banyak rumor beredar soal arwah gentayangan yang bunuh diri di sana. Pohon besar tempat Syilla duduk dan berteduh saat ini.
Angin yang berembus melalui dedaunan itu menghapus air matanya. Seakan alam kembali menenangkan amarah dalam tubuhnya. Walaupun rumor itu menakutkan, Syilla tetap bergeming menikmati udara sejuk yang mengibaskan rambut. Dengan sebuah buku harian dan pensil mekanik, tangannya menggambar sebuah gaun cantik.
Sampai suara itu mengagetkannya, dan berpikir arwah itu memang ada.
"Bagus."
Syilla terperanjat, memalingkan wajahnya ke belakang. Arah suara dan hembusan napas hangat yang mengenai telinganya itu berasal.
"Kamu nga–"
Pria itu meloncat dari akar pohon besar yang keluar dari tanah, duduk bersebelahan dengan Syilla.
Sial! Jangan-jangan dia mau laporin gue ke guru BK!
"Lagi ngapain di sini?" tanya pria itu. Demi apapun suaranya membuat Syilla tidak bisa berkedip!
"Bintang," ucapnya seraya mengulurkan tangan.
"Kita sekelas, kan?"
Syilla menjabat tangan itu. "A–arsyilla."
Pria bernama Bintang itu terkekeh. "Aarsyilla? Dua kali baca huruf A-nya?"
Ia ikut tertawa mendengarnya. Lelucon kecil dari kegagapannya itu berhasil menghibur hatinya.
Syilla kembali tersadar dari lamunannya. Bersamaan dengan suara petir yang menyambar. Lengkungan kecil di wajahnya kembali hilang. Tangisnya kembali pecah, ia menjerit dan mengumpat sejadi-jadinya. Disembunyikan oleh suara hujan, ia memeluk lututnya.
Apa aku bisa dengar lelucon kamu lagi? Atau kamu juga beranggapan sama, seperti mereka?
***
"Siapa sih pagi-pagi begini udah namu?!" Syilla meletakkan kembali sepatunya begitu mendengar suara bel rumahnya berbunyi.