Aku hanya ingin memiliki kemampuan menjinakkan bom waktu. Tapi ternyata, Tuhan tidak sebaik itu.
"Kamu masih kuat berdiri di sini?" bisik Bintang tepat di telinganya.
Iya!
Syilla masih tak bergerak sedikitpun dari posisinya. "Ma–mau apa kamu?"
Pria itu mendorongnya semakin menempel dengan bagian dalam lemari. Tangannya menyusup melalui pinggang Syilla, yang kerap membuatnya berdebar hebat. "Aku mau ambil celana... gak mungkin cuma pake kaos kan?"
Ia menarik sebuah celana panjang dari sana. Tentu saja, Syilla bernapas lega. Bersyukur karena hal konyol di pikirannya tidak benar-benar terjadi.
"Kamu pikir aku mau apa?" tanya Bintang mundur dari posisinya, memberikan ruang untuk wanita itu bernapas.
Syilla mengusap tengkuknya. Dengan wajah kikuk, ia terkekeh. "Apa? Aku gak mikir apa-apa... cepet pake bajunya, dingin. A–aku mau mandi dulu," ucapnya lalu berlari cepat menuju kamar mandi.
***
Bintang meraih sebuah panci yang digantung, juga beberapa bahan makanan dari kulkas. Sebagian ia potong, dan yang lainnya dicampurkan dalam sebuah mangkuk. Tangannya cukup cekatan menggunakan pisau dapur ataupun peralatan lainnya.
"Kamu lagi ngapain lagi di situ?" tanya Syilla begitu keluar kamar, jemarinya menyisir rambut yang sudah dikeringkan.
"Aku baru inget, kita belum makan," jawab pria itu kemudian melanjutkan potongannya.
Syilla menghampiri dengan sedikit keheranan, ia duduk di kursi bagian depan meja marmer itu. "Terus, kamu masak? Bisa, emang?"
"Apa sih... yang enggak bisa aku lakuin?"
Bintang menggerakkan tangannya yang lihai lagi, menyalakan kompor. Wanita itu kagum dibuatnya. Ia memperhatikan bagaimana pria itu menggunakan pisau dengan sangat cepat, mengaduk masakan yang aromanya bisa tercium harum. Dengan sesekali pria itu melirik ke arahnya, tersenyum manis di hadapan api kompor yang mungkin saja menyambar saat lengah. Andai ia bisa melihat Bintang setiap harinya seperti ini, bukan hanya terima kasih yang akan ia ucapkan.
Entah apa yang direncanakan Tuhan, dengan mengirim makhluk ini ke hidupnya. Pikir Syilla.
"Boleh saya bantu, chef?" Syilla menghampirinya.
"Bisa?" Bintang memalingkan wajahnya, menatap tajam wanita itu.
"Waaahh, sembarangan! Kamu pikir buat apa aku beli rumah yang ada dapurnya?" tangannya bergerak merebut pisau itu. Membuka kulkasnya, mengambil lagi beberapa sayuran.
"Pajangan?"
"Wah dia gak tau... aku punya kenalan chef tau!" ia memotong semuanya, berusaha untuk tak kalah cepat. Hendak menunjukkan kemampuannya. Tapi sayang, mungkin lain kali. Pisau itu meleset dari kendalinya, mengenai jari. Menyayat jemari lentik itu hingga cairan merah pekat menetes di atas talenan.
Syilla melempar pisau itu sembarang, menarik jarinya yang gemetar meneteskan darah. Sontak juga menghentikan Bintang dari kegiatannya. Pria itu mematikan kompor, dan menarik lengan Syilla cepat. Mengemut jari yang bercucuran darah. Mencoba menghentikan pendarahan yang ada, ia membawa Syilla menuju wastafel, membasuh luka itu.
Luka yang membuat Syilla terdiam, bukan meringis kesakitan. Ia masih terpaku pada pria itu. Ini beneran Bintang?
"Kalo gak bisa ya udah diem aja! Punya kenalan chef bukan berarti kamu juga chef!" bentak Bintang, selagi membersihkan jarinya dengan air. Sejenak Syilla tersentak, baru kali ini ia melihat Bintang marah. Bahkan setelah lama mengenalnya pun, Syilla baru pertama kali melihat ekspresi Bintang yang tercampur seperti sekarang. Mungkin perpaduan antara khawatir, dan juga marah.
"Tunggu di sini! Gak usah pegang apa-apa!" Bintang meninggalkan wanita itu di sofa. Kemudian bergegas menuju kamar, membawa sebuah kotak P3K dari dalam nakas.
"Untung cuma luka kecil, lain kali gak usah ikut-ikutan lagi! Biar aku aja yang siapin makanan... " ucapnya mengoleskan obat merah di jari Syilla.
Lain kali? Uwaaaww.
"Awwhh! Perih tau! Pelan-pelan! Lagian aku juga bisa masak... tadi tuh emang sial aja... " Syilla menarik jarinya dari genggaman pria itu.
Bintang menariknya lagi. "Cerewet!"
Dering ponsel itu terlalu nyaring jika Bintang dan Syilla tak mendengarnya. Bintang melepaskan genggamannya, menuju meja di bawah televisi. Ternyata bukan milik pria itu yang bergetar, melainkan ponsel di sebelahnya. Pria itu terdiam sejenak menatap layar ponsel yang menyala.
Syilla terlalu penasaran untuk tidak bertanya. "Siapa?"
Akhirnya Bintang mengangkat ponsel itu dari meja, hendak memberikannya pada wanita itu. "Rama."
Ia terperangah. "Hah?"
"Kamu gak akan angkat? Ini dari Rama," Bintang semakin menyodorkan ponsel di tangannya.
"Ah, iya. A–aku angkat teleponnya dulu... " Syilla beranjak dari sofa itu, melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Padahal jarinya yang tersayat belum selesai diobati. Ia hanya berharap, Bintang tidak bisa mendengar percakapannya dengan Rama.
"Halo? Kenapa Ram?" tanya wanita itu setelah berhasil bersembunyi di balik dinding kamar.
"Kamu lagi ada acara? Kok lama ngangkatnya?"
"Enggak. Aku di rumah, ada apa?"
Jika boleh jujur, Syilla tidak terlalu tertarik dengan pembicaraan ini. Ia lebih mengkhawatirkan pria di luar kamarnya. Apa yang Bintang pikirkan soal Rama? Lebih pada pertanyaan itu Syilla tertarik.