Pantas

bloomingssy
Chapter #13

Pantas - 13 | Maaf

Ia menggenggam ponsel erat-erat, berharap benda itu bisa berhenti bergetar tanpa harus menyentuh tombol berwarna merah di sana. Selain karena sudah cukup lama tangannya itu bersembunyi di bawah meja, menunduk terlalu lama bukan hal baik juga.

Syilla berdoa dengan segenap hati, agar pria di hadapannya itu tidak mendengar getaran ponselnya.

Sayangnya, Tuhan tidak sedang berpihak pada Syilla kali ini. "Handphone kamu geter gak? Bukan punya aku soalnya... "

Syilla membulatkan matanya. "Hah? Apa?"

Wanita itu terlampau kaget. Sebelah tangannya semakin meremas ponsel itu, memohon dengan sangat untuk kedua kalinya agar getaran itu berhenti. Ia menatap Rama, kikuk. Sebelum pria itu bertanya lagi hal yang sama, akhirnya orang di seberang sana berbaik hati untuk tidak menghubunginya lagi.

"Enggak," jawabnya setelah beberapa detik menunggu layar ponsel itu kembali menghitam. "Mungkin punya orang lain." Ia mengeluarkan persegi tipis itu dari persembunyiannya, ditunjukkannya dengan percaya diri layar yang telah kembali gelap.

"Oh, iya juga sih. Lagian suaranya juga emang samar-samar, tapi kayanya telepon penting–" ucap pria itu terpotong karena Syilla menghentikannya sebelum melebar.

"Udahlah Ram... kita gak usah urusin orang lain. Iya, kan?" ia berusaha mengatakannya dengan tidak gugup.

Padahal sejujurnya wanita itu pun sama penasarannya dengan Rama. Entah sudah berapa kali Bintang menelepon, ia pun lupa. Setengah hatinya cemas, berpikir apa terjadi sesuatu pada pria itu. Sempat terbesit juga, bagaimana kalau Bintang mengikutinya dan pria itu tengah menatapnya yang bersama dengan Rama.

"Iya sih," Rama menyuapkan kue di piringnya.

Setelah dipikir-pikir, sudah hampir satu jam lebih ia menghabiskan waktu dengan pria itu. Tak heran juga, kalau Bintang menelepon sampai berkali-kali.

"Kamu beneran gak akan pesen makanan?" tanya Rama berusaha menggodanya dengan sepotong kue yang memang menggiurkan itu.

Syilla tersenyum lebar. "Aku mau minum kopi aja." Aku udah punya janji sama Bintang, Ram.

Rama menyuapkan potongan kue terakhirnya, juga tak henti menggoda. "Ini enak banget loh... kamu yakin gak akan coba?"

"Aku udah sering makan itu, jadi udah tau rasanya." Syilla menyeruput lagi kopi yang tersisa. "Entar aku pesen buat di bawa pu–" matanya tertuju pada pantulan dinding kaca itu, ia menurunkan gelasnya dengan sangat hati-hati.

Seseorang dengan sweter abu-abu, berkacamata hitam yang tengah duduk beberapa meja di belakang Syilla. Tidak mungkin apa yang dipikirkannya beberapa menit lalu itu benar, bukan? Namun terlalu dini juga untuk percaya, kalau itu memang bukan Bintang. Sweter itu terlalu mudah dikenalinya.

Ia membalikkan kepalanya cepat. Tapi entah bagaimana bisa, pria itu menghilang. Begitu pun dengan pantulannya.

"Kenapa?"

Itu halusinasi kamu, Syilla. "Ah, enggak kok."

Hatinya berat untuk mengatakan ini, tapi bagaimanapun juga ia harus melakukannya. "Ram."

Rama menghabiskan kopinya, lalu beralih menatap Syilla dalam. "Ya?"

"Aku minta maaf banget sebelumnya, bukannya aku mau ninggalin kamu... tapi aku kan, sebelumnya juga udah bilang sama kamu... kalo aku ada janji. Boleh gak, kalo aku pergi sekarang? Maaf bangettt... aku jadi gak enak sama kamu," ujarnya memohon.

"Ya ampun Tuan Putri... kenapa kamu gak bilang dari tadi?"

Syilla terdiam. Sejujurnya, ia tidak menyangka kalau Rama akan mengatakan itu dibanding menahannya untuk tetap tinggal.

"Ya udah, ayo! Kasian kalo temen kamu nunggunya kelamaan," ucap Rama beranjak dari tempat duduknya.

"Kamu beneran gapapa?" tanya wanita itu meyakinkan.

Rama bergerak maju, mencubit kecil pipi Syilla. Lengannya dikaitkan di bahu wanitanya. "Cantik. Aku gapapa, emang aku tuh kangennn bangetttt... sama kamu, tapi aku gak bisa kekang kamu untuk gak ketemu sama temen-temen kamu juga."

Untuk beberapa saat Syilla sempat terenyuh mendengar itu.

"Asal bukan temen cowok aja, aku gak masalah... " sambung pria itu menghentikan langkah Syilla.

"Jangan bilang yang mau kamu temuin itu cowok?"

"Apa? Oh, enggak. Aku lupa mau bawa pulang kuenya... " ujar Syilla dengan wajah kikuk bergegas memesan dua potong kue yang sama. Yang sebetulnya hanya sebuah alasan untuk menghindar dari Rama.

Setelah lima menit, Syilla kembali dengan dua kotak kecil berisi kue tadi. Menghampiri Rama yang telah berdiri di depan mobilnya, menunggu.

"Udah? Kamu beli dua, buat siapa?"

Buat Bintang lah, masa buat kamu. "Kamu juga tau ini enak banget kan, makanya aku gak bisa kalo cuma makan satu... "

"Oh, kirain. Ini mobil kamu? Baru lagi?" tanya Rama menunjuk SUV hitam di sebelahnya.

Entah untuk yang ke berapa kalinya, Syilla berbohong hari ini. "Enggak baru, cuman yang waktu itu lagi aku service."

Tak ingin berlama-lama lagi, ia membuka pintu mobil. Meletakkan kantong plastik berisi kotak kue tadi di jok sebelahnya. "Aku pergi, ya. Sekali lagi maafin aku, Rama."

Bukan Rama namanya, kalau tidak memeluk Syilla tanpa rencana. "Nanti malem aku telepon, harus cepet angkatnya." Pria itu melepaskan pelukannya, beralih mendaratkan kecupan manis di kening Syilla. "Aku harap kamu jadi milik aku seutuhnya, secepat mungkin!"

"Ramaaa... kita lagi di luar! Udah ah, aku pergi sekarang ya!" Syilla melepaskan pegangan pria itu di pinggangnya. Menutup pintu mobil itu cepat.

"Tunggu," ucapnya setelah Syilla selesai memasang sabuk pengaman.

"Apa lagi, Ram? Katanya, aku boleh pergi... "

Pria itu membuka pintu mobilnya, mengeluarkan setangkai bunga dari sana. "Ini. Cuma satu, yang artinya cuma kamu satu-satunya di hati akuuu... "

Lihat selengkapnya