Gadis kecil berparas cantik di atas sepeda biru itu tertawa kegirangan. Rambut panjangnya melambai dibelai angin sore. Sepeda baru yang dibelikan sang Papa persis warna matanya. Ia mengayuhnya, sementara pria orientalis bermata sipit lekat mengikuti dari belakang.
“Papa Adica, katanya mau pegangin sepeda Silvi.” protes si gadis manja.
Adica tersenyum, “Nggak ah. Silvi, kan, bisa sendiri. Papa temenin aja ya.”
Tak perlu bermain sepeda terlalu jauh. Sebab halaman rumah mereka seluas lapangan bola. Silvi dan Adica begitu asyik bermain hingga tak menyadari sesosok pria berparas pucat tengah menatap mereka dengan sedih dari puncak tangga. Pria yang juga berparas oriental itu, merapatkan jasnya.
“Dia lebih memilih Papanya dibandingkan Ayahnya. Aku tidak berguna...” lirih si pria, pilu.
Gurat kesakitan tercermin di wajah tampan Calvin. Ia mencengkeram dada. Sementara itu, darah segar mengalir dari hidungnya.
**
Mungkin ini memang jalan takdirku
Mengagumi tanpa diintai
Tak mengapa bagiku
Asalkan kau pun bahagia
Dalam hidupmu, dalam hidupmu
Telah lama kupendam perasaan itu
Menunggu hatimu menyentuh diriku
Tak mengapa bagiku
Mencintaimu pun adalah
Bahagia untukku, bahagia untukku
Kuingin kau tahu
Diriku di sini menanti dirimu
Meski kutunggu hingga ujung waktuku
Dan berharap rasa ini ‘kan abadi untuk selamanya
Dan izinkan aku
Memeluk dirimu sekali ini saja
‘Tuk ucapkan selamat tinggal untuk selamanya
Dan biarkan rasa ini
Bahagia untuk sekejap saja (Ungu-Cinta Dalam Hati).
Piano berdenting lembut di ruang sebelah. Silvi berhenti mengerjakan Prnya. Refleks Adica mengalihkan fokus perhatian dari laporan yang dikirimkan general managernya.
“Dengar, Ayahmu sedang main piano.” ujar Adica.
“Ayah nggak berguna. Silvi mau sama Papa aja.” cetus Silvi.
Sebelah alis Adica terangkat, “Jangan bilang begitu. Siapa yang jaga Silvi di rumah kalau Papa lagi ke luar negeri?”
Silvi manyun. Tetap saja menurutnya Ayah Calvin tak berguna.
“Ayah nggak pernah main di luar sama aku. Ayah nggak pernah temenin aku study tour, naik gunung, traveling, dan berenang.”
Cacian Silvi terhadap Calvin membuat Adica terenyak. Ia sedih mendengar kakak kembarnya dijelek-jelekkan oleh anaknya sendiri.
“Apakah rasa sayang seorang ayah hanya bisa dibuktikan dari kegiatan di luar rumah?” tanya Adica diplomatis. Sukses membuat Silvi bungkam.