Papa dan Ayah

princess bermata biru
Chapter #2

Opus 1: Ayahku Ada Dua

-Fragmen Silvi

Seumur hidup aku tinggal bersama mereka. Bahagia? Tentu saja. Tapi, kalau boleh jujur, aku lebih senang ada di dekat Papa ketimbang di samping Ayah.

Papa memulas monokrom di lembar hariku dengan butiran warna pelangi. Senyumnya, tawanya, keceriaannya, optimismenya, dan semangatnya menyegarkan hatiku. Energiku selalu terisi penuh tiap kali Papa di sisiku. Hmmm, sayang sekali. Papa sering asyik sendiri di perusahaan. Aku paling sebal kalau Papa tidak mengangkat telponku hanya karena rapat ini dan itu.

Kalau Papa kelewat sibuk, aku hanya ditemani Ayah. Ayahku pendiam. Ia jarang sekali membuka pembicaraan. Aku yang mendominasi percakapan selama aku membersamainya.

Buatku, Ayah tak berguna. Ia tak seperti ayah teman-temanku yang pergi ke kantor saat mentari terbit dan pulang ketika bulan memeluk malam. Ayah menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah. Sempat aku berpikir kalau Ayah tidak punya pekerjaan. Namun, Papa menegurku.

“Kamu jangan bilang gitu, Silvi. Ayahmu orang hebat.”

Orang hebat apaan? Berdiam diri seharian di rumah, sesekali bermain laptop dan iPhone, dianggap hebat? Mungkin Papa hanya ingin menyenangkan hati Ayah.

Walaupun kembar, Ayah selalu menyebut Papa lebih tampan darinya. Papa merasa jengah. Tapi, dia tak bisa membantah.

Entahlah. Bagiku, Papa dan Ayah sama tampannya. Aku beruntung bisa diasuh dua pria orientalis.

Pernah aku membawa teman-teman ke rumahku untuk mengerjakan tugas kelompok. Kebetulan Papa ada di rumah. Ia dan Ayah sedang menulis sesuatu di notebook. Ketika melihat Papa dan Ayah, teman-temanku speechless.

“Silvi, enak banget sih jadi kamu. Kakak-kakakmu ganteng maksimal.”

Mendengar itu, aku terkikik geli. Ayah dan Papa ikut tertawa. Kudengar Ayah berkata lembut sambil bertoast dengan Papa.

“Wah, kita awet muda ya, Adica.”

“Betul, Calvin. Umur 35 aja dianggap kakaknya Silvi. Masih laku nih kita.”

Sontak semua temanku membelalak. Mereka kaget waktu kuberi tahu kalau kedua pria yang mereka kira kakakku, ternyata Ayah dan Papaku. Kekagetan itu berganti ketidakpercayaan.

“Ayah dan Papa? Jadi, ayah kamu ada dua? Masa sih?” Catharina, sahabatku, memasang ekspresi tak percaya di wajah ovalnya.

“Yups. Kamu nggak percaya?”

Catharina menggeleng. Satu tangannya memilin-milin rambut hitam keritingnya.

“Terserahlah. Yang penting mereka memang Ayah dan Papaku.”

Natasha membuka mata segarisnya lebar-lebar. Keningnya berkerut seperti Wizzard pembawa apel beracun dalam Snow White. Gadis yang selalu menganggapku rivalnya itu menatapku, Papa, dan Ayah bergantian.

“Mirip...tapi nggak mirip. Kalian bertiga sama-sama putih. Tapi, mata dua ayah kamu sipit. Nah lho, mata kamu biru. Kamu bukan anak mereka ya?” tuduhnya.

“Memang bukan!” sahutku lantang.

Untung aku sudah punya amunisi untuk menjawab pertanyaan Natasha. Terima kasih buat pendidikan demokratis ala Ayah Calvin Wan dan Papa Adica Wirawan.

“Ortu aku meninggal pas umurku tiga bulan. Waktu itu, Papa dan Ayah masih kuliah. Mereka dapat amanah buat rawat aku.”

Kulihat bibir teman-temanku membundar membentuk huruf “O”. Natasha melongo seperti patung gargoyle di serial Harry Potter.

“Cerita hidupmu kayak sinetron.” komentarnya.

“Bedanya, kamu nggak nangis histeris pas ceritain ini semua.”

“Iyalah. Aku kan bukan drama queen.”

Lihat selengkapnya