Papa dan Ayah

princess bermata biru
Chapter #3

Opus 2: Jam Dinding Tertawa

Opus 2

Jam Dinding Tertawa

-Fragmen si kembar

Dinding putih mengejeknya. Gelas minum tersenyum meremehkan. Meja, sofa biru laut, dan kisi-kisi jendela menertawakan pria tampan bermata sipit yang terkapar di ranjang. Selang oksigen menempel di hidungnya. Si pria berpiyama rumah sakit ingin sekali melepaskan benda kehijauan itu.

Pria lain, yang memakai jas hitam rapi, menarik bangku ke dekat tempat tidur. Ditatapnya saudara kembarnya penuh keprihatinan. Calvin benci tatapan Adica.

“Aku...tak suka...dikasihani.” Calvin berkata lambat-lambat, seolah tengah berbicara dengan anak down syndrome.

“Ya. Aku tahu. Aku tidak mengasihanimu, hanya menyesali kebandelanmu.”

Mata Calvin berkilat. Siapa yang bandel? Siapa yang akan menolong Silvi di hari pertama penebalan endomitriumnya?

“Harusnya tadi pagi kamu memanggilku,” sesal Adica.

Calvin tersenyum sinis. “Silvi berteriak-teriak memanggilmu, tapi kamu lebih mementingkan salindia presentasi.”

Adica tercenung. Sorot mata Calvin seakan menyalahkan. Benarkah dia telah seegois itu?

“Setelah meeting, apa lagi? Jatuh cinta? Mencari istri? Ingat aturan main kita ya.”

“Aku ingat. Jika kita ingin menikah, istri kita harus bersedia menjadi ibu untuk Silvi.”

“Tepat. Dan sepertinya, kamu yang akan menikah. Aku sudah berkomitmen 95%...”

“Kalkulator Tuhan lebih canggih ketimbang perhitunganmu.”

Pintu ruang rawat bergeser membuka. Seorang pria berjas putih dengan logo rumah sakit tersulam di dada berjalan masuk.

“Halo Calvin,” sapanya.

Calvin terbatuk-batuk. Tulang punggungnya serasa ditarik. Kenapa punggungnya amat sakit tiap kali batuk?

“Dia kelelahan. Sok kuat dengan menggendong anaknya. Jadi begini...” lapor Adica.

Sang Onkologis manggut-manggut. Dia mulai memeriksa Calvin. Adica berdiri cemas di sisinya.

“Ya, kondisi saudara kembarmu drop. Calvin, jangan capek-capek ya. Kasihan tubuhmu.”

“Dokter Tian, saya masih kuat.”

Dokter Tian tersenyum. “Kamu pasien saya yang paling kuat. Tapi, jangan pernah meremehkan NSCLC.”

Mendengar akronimnya saja sudah membuat bulu-bulu halus di tengkuk Adica berdiri. Saudara kembarnya sakit parah. Entah apa jadinya bila nyawa Calvin terenggut non-small cell lung cancer.

Masih segar dalam ingatan Adica. Betapa pucat wajah Calvin, betapa berantakan rambutnya yang biasa tertata rapi, dan betapa kusut jasnya sepulang ia dari rumah sakit di hari itu. Calvin melempar amplop berisi hasil tes dan membisikkan beberapa kata: kanker paru-paru. Waktu itu, Adica berhenti berkutat dengan aplikasi pemantau sahamnya.

“Calvin, kamu bercanda! Kanker paru-paru? Penyakit laknat yang mematikan 1,59 juta orang di dunia selama tahun 2012! Calvin, tampar pipiku!”

Plak!

Adica terjajar mundur, kakinya menabrak sofa. Tamparan Calvin begitu kuat. Orang yang mengenal Calvin takkan percaya ia tega menampar orang sekeras itu.

“Aaaargh sakit, bodoh! Tapi, ini nyata! Ini bukan mimpi!” Adica meraung putus asa.

“Adica, tolong ambilkan iPadku.”

Suara bass nan empuk milik Calvin membangunkan lamunannya. Adica tergeragap, buru-buru meraih iPad.

**    

-Fragmen Silvi

Resah, kulirik jam tanganku. Kucocokkan dengan jadwal shalat di iPhoneku. Zuhur telah tiba. Namun, jangan harap dapat mendengar azan di sekolah Katolik ini.

Hmmm, waktu Zuhur makin maju saja. Pukul 11.40 sudah masuk waktunya. Beberapa minggu lalu, aku masih bisa ikut pelajaran sampai pukul 12.00. Lalu masih bisa ikut makan siang lima belas menit setelahnya. Sekarang...?

Aku membereskan tas Catharina melihat gelagatku. Dia menatapku bingung.

“Ngapain? Suster Mariana kan masih ngajar,” bisiknya.

“Shalat. Aku izin ya.”

Lihat selengkapnya