Papa dan Ayah

princess bermata biru
Chapter #4

Opus 3: Perabotan Menangis

-Fragmen Silvi

Pelajaran apa yang paling dibenci? Kalau kalian tanya aku, jawabannya Matematika. Memang tak sulit bagiku meraih angka sembilan di pelajaran ini. Namun, tetap saja aku tak menyukainya.

Celakanya, Matematika dijadwalkan paling siang. Siksaan dobel bagi kami, murid sekelas. Ruangan berAC, perut kekenyangan sehabis makan siang, ditambah lagi suara Bruder Marius yang mirip dengung penyedot debu, membuat kami terkantuk-kantuk. Aku membenamkan kepala di lengan. Aku berkhayal andai saja pelajaran ini diajarkan Frater Gabriel.

Ah, mana mungkin? Frater yang lagi TOP (Tahun Orientasi Pastoral) itu, kan, hanya mengajar pelajaran agama dan pelajaran musik. Belum tentu juga Frater Gabriel pintar ilmu hitung.

“Silvi...”

Rasanya aku mendengar suara. Ah, bodo amat. Kulanjutkan tidur siangku.

“Silvi!”

Suara apa itu? Apa ada yang sedang menggerakkan vacum cleaner di samping mejaku?

“Silvi Gabriella Tendean!”

Aku terlonjak. Penyedot debu itu berdengung di telingaku.

“Vacum cleaner...vacum cleaner.” gumamku tak jelas.

Seisi kelas menatapku. Mereka semua, kecuali Catharina, tertawa mengejek. Tawa Natasha paling lebar.

“I...iya Bruder?”

“Kerjakan soal logaritma itu!” tunjuk Bruder Marius ke whiteboard.

Aku berjalan lambat ke depan kelas. Mata biruku menjelajahi angka demi angka yang bergulir seperti ular. Spidol berdecit-decit di papan puih, menggoreskan jawaban. Jawaban berikut cara pengerjaan selesai kudaraskan. Aku berbalik ke bangku, masih dengan mata mengantuk.

Good job.”

Jawaban sempurnaku membungkam seluruh kelas. Rasakan kalian, salah sendiri meremehkan Silvi putri Ayah Calvin dan Papa Adica.

“Nggak usah dimasukkin hati ya,” hibur Catharina.

Aku mendengus tak peduli. Baru saja kubenamkan kembali kepala di lenganku, interkom sekolah berbunyi.

“Kepada seluruh calon pengurus OSIS, harap berkumpul di ruang 55 sepulang sekolah.”

Kantukku lenyap seketika. Inilah yang kutunggu. Catharina menoleh padaku, tersenyum penuh arti.

“Asal kegiatan non-akademis aja, kamu semangat banget.”

Ah, dia memang sahabatku. Catharina tahu persis apa yang kusuka dan yang tidak kusukai. Di sekolah ini, sahabatku hanyalah Catharina. Hampir semua murid hanya mendekatiku karena aku cantik dan pintar. Tak ada yang sungguh-sungguh mau berteman baik denganku.

Usai jam pelajaran, aku naik ke latai empat. Di sanalah ruang 55 berada. Aku calon pengurus OSIS yang tiba paling awal. Sengaja kutempati bangku di barisan paling depan.

Frater Gabriel datang. Aku menahan napas. Lagi-lagi aku hanya berdua dengannya.

“Kamu rajin banget ya. Datang duluan.” pujinya.

Aku melting. Frater Gabriel bisa aja bikin murid binaannya meleleh. Kalau aku sampai bisa membuatnya lepas jubah, namaku layak masuk Guiness Record.

“Frater, aku boleh minta nomor WA nggak? Siapa tahu aku mau konsultasi gitu.” pintaku.

“Nomor WA?” ulang Frater Gabriel.

“Iya. Kalau aku butuh bantuan Frater...”

Frater Gabriel menggeleng. Aku kecewa. Jangan-jangan aku dikira gadis penggoda.

“Saya nggak punya WA. Di Seminari, kami hanya punya satu HP. Kami menyebutnya HP angkatan. HP itu hanya digunakan kalau ada keperluan sangat penting, pakainya pun harus bergiliran.”

Oh, aku paham. Ternyata Frater Gabriel bukannya tak mau memberi nomor WA, tapi karena dia tak punya.

“Ok, nggak apa-apa. Kalau alamat e-mail ada?”

Lihat selengkapnya