Papa dan Ayah

princess bermata biru
Chapter #5

Opus 4: Komitmen 95%

-Fragmen si kembar

Hujan berdenting lembut. Suaranya teredam tembok dan kaca rumah. Angin berkesiur tajam, dingin dan menusuk. Cuaca belakangan ini membuat orang gampang sakit.

Dinginnya udara di luar sana terkalahkan oleh kehangatan di antara Calvin, Adica, dan Silvi. Ketiga anggota keluarga itu duduk berdekatan. Sofa merah kecoklatan di ruang santai bergembira memuati mereka.

Silvi duduk di atengah-tengah Ayah dan Papanya. MacBook terbuka di pangkuan. Ia baru saja mengirim e-mail untuk Frater Gabriel. Ini sudah kali kelima ia mengirim surat elektronik. Surat pertamanya saja belum dibalas.

“Chatting sama siapa?” selidik Adica.

“Bukan...bukan sama siapa-siapa.” Silvi berbohong seraya menutup laptopnya.

Adica mendengus tak percaya. Ia kembali menunduk, menekuri laporan yang dikirimkan auditor.

Ujung bibir Calvin terangkat membentuk senyuman tipis. Ia sempat melirik sekilas sebelum layar laptop mengecil. Terbaca olehnya nama Gabriel. Dengan bijak, Calvin tidak membocorkan informasi colongan ini pada kembarannya.

“Papa,” panggil Silvi, menarik-narik lengan t-shirt Adica.

“Hm?”

“Sabtu depan, Silvi ikut LKO. Anterin ya.”

Rupanya otak Adica belum connect dengan akronim ‘LKO’. Alih-alih menanggapi permintaan Silvi, dia bertanya apa itu LKO.

“Latihan Kepemimpinan OSIS, Adica. Anak kita sebentar lagi akan menjadi pengurus OSIS.” Calvin menerangkan.

Adica bergumam mengerti. Silvi menarik lengan baju Papanya lagi seperti anak kecil.

“Jadi, Papa mau anterin, kan?”

“Dianter Ayah aja ya. Minggu depan Papa ke Singapore.”

Silvi menelan saliva. Hatinya sedih bercampur gusar. Itu bukan jawaban yang diharapkannya.

“Pa, Silvi mau diantar Papa. Silvi mau Papa!” rengeknya.

“Silvi, berhentilah bersikap seperti anak kecil. Pengurus OSIS nggak boleh manja. Dan lagi, kamu calon pewaris perusahaan keluarga. Harus mandiri!” tegas Adica.

Gurat kecewa terpahat di wajah Silvi. Ia melepaskan tarikan bajunya. Percayalah, ini di luar konteks dewasa dan tidak dewasa, atau manja dan mandiri. Silvi butuh support dari orang tua yang disukainya.

Iba hati Calvin melihat perubahan raut wajah Silvi. Diberinya Adica tatapan mencela.

“Batalkan saja perjalanan ke Singapore. Suruh sekretarismu ganti jadwal.” usul Calvin.

Adica tertawa hambar. “Oh tidak semudah itu, kakak kembarku tersayang. Mr. Robert Wang bakal membatalkan kerjasama dengan perusahaan kita. Dia hanya punya waktu minggu depan.”

Calvin bersiap meluncurkan argumen. Namun, rasa sakit di dadanya memanipulasi. Sakit ini menyerang saat perdebatan terjadi.

“Adica, batalkanlah. Demi Silvi...uhuk.”

Demi mendengar kembarannya terbatuk, Adica menengadah. Silvi ikut berpaling. Susah payah Calvin menahan diri untuk tidak mencengkeram dada di depan Silvi.

“Tolong pikirkanlah. Aku ke kamar dulu. Good night.”

Adica menatap nanar punggung kakak kembarnya yang melenyap ditelan tangga pualam. Pastilah Calvin kesakitan lagi. Hanya saja, dia tak ingin Silvi mencium kesakitannya.

“Pa, Ayah kenapa ya? Kok Ayah batuk sambil nahan sakit gitu?” celetuk Silvi.

“Ah, palingan sakit biasa. Ayahmu kan gampang kena batuk. Kalau batuk, lama sembuhnya.”

Sisi lain hati Adica memberontak. Bukan, saudara kembarnya bukan sakit biasa. Justru dari batuk yang lama sembuh itulah terdeteksi cerita kelam.

“Aku nggak percaya. Aku susul Ayah dulu.”

Silvi berlari ke lantai atas. Sia-sia Adica mencegahnya.

**   

Calvin bersandar ke dinding. Satu tangannya meremas dada sebelah kanan. Ia bernafas cepat, seakan baru saja lari marathon.

Sakit ini, kenapa enggan sekali diajak toleransi? Tak tahukah kanker ini bila Calvin butuh sedikit kekuatan untuk membela Silvi?

“Mr. C....please. Nanti dulu sakitnya.” Calvin memohon, mencoba self-talk dengan penyakit yang bercokol di tubuhnya.

Mr. C tak juga pergi. Ia malah kian ganas menyiksa penyintasnya.

Calvin terbatuk. Darah menjatuhi telapak tangannya. Sekali, dua kali, tiga kali. Dada dan punggungnya sakit sekali saat terbatuk. Pria kelahiran 9 Desember itu melangkah ke kamar mandi pribadi di dalam ruang istirahatnya. Kesakitan membuat ia lupa menutup pintu kamar.

Air mengalir di wastafel putih. Sepersekian menit Calvin terbatuk berkali-kali. Dahak mengalir bersama dahak.

Betapa merepotkan menyandang NSCLC. Penyakit inilah alasan Calvin untuk membatasi aktivitas fisik di luar rumah. Bayangkan bila ia tetap aktif bekerja di kantor. Pasti mengganggu sekali bila harus bolak-balik ke wastafel bila serangan ini terjadi.

Lihat selengkapnya