-Fragmen Silvi
“Apa lagi ya? Baju olahraga, sabun, shampoo, sajadah, botol air, senter, lilin, jas hujan...”
Aku meraba-raba ransel besarku. Mengabsen barang demi barang yang telah kujejalkan ke dalamnya. Di samping ransel, tas lain yang berukuran lebih kecil menggembung penuh isi.
“Kurang dua, Sayang.” timpal Ayah.
Kutolehkan kepala. Ayah berlutut di belakangku. Ia menguncirkan rambutku. Hatiku menghangat. Sudah lamaaaa sekali aku tidak dikuncirkan oleh Ayah ataupun Papa.
“Dan jangan lupa berdoa sebelum berangkat.”
Aku mengangguk setuju. Kuakui, Ayah lebih religius dari Papa. Sebagian besar waktu Papa habis untuk urusan dunia. Sedangkan Ayah lebih banyak berkontemplasi, refleksi, dan rekoleksi.
Kupejamkan mata. Kurasakan tangan hangat Ayah menggenggam jemariku. Oh my God, kenapa tangan Ayah terasa lebih hangat dari biasanya? Apakah Ayah sakit lagi? Apakah obat-obat kemoterapi itu membuatnya demam lagi? Pikiranku berkecamuk.
“Ya, Allah, jagalah Ayahku. Angkatlah rasa sakitnya, lindungilah ia dari segala marabahaya.” doaku dalam hati.
Bukannya mendoakan kelancaran LKO, aku malah mendoakan Ayah. Kekhawatiran merobek dadaku. Bagaimana kalau Ayah ngedrop lagi saat tak ada siapa-siapa? Mana Sonia sering izin belakangan ini. Aduh, aku khawatir.
“Tadi kamu berdoa apa?” tanya Ayah kepo.
“Aku doain Ayah. Biar Tuhan jaga Ayah selama aku pergi.” jawabku jujur.
Ayah mengusap lembut rambutku yang terkuncir rapi. Kulihat pancaran haru di matanya.
Kenapa terasa berat begini? Aku berat meninggalkan Ayah sendirian. Bayang-bayang pikiran negatif bergumul di kepalaku.
“Kenapa, Silvi?”
“Aku nggak bisa tinggalin Ayah sendiri. Aku takut Ayah sakit, aku takut Ayah kenapa-napa.”
Ekspresi ganjil menyapu wajah Ayah. Sepertinya aku salah bicara.
“Berhenti berpikiran negatif, Sayangku. Kamu mau Ayah beneran sakit?” tegur Ayah halus.
Aku menggeleng kuat-kuat. Bibirku terkatup rapat.
“Terus berpikiran negatif sama saja berdoa jelek untuk Ayah. Sudah ya, Nak. Kamu harus fokus dengan LKO.”
Kugigit bibirku. Perlahan aku bangkit, menyandang ransel, dan menggandeng tangan Ayah. Kami berjalan menuruni tangga. Masih ada waktu dua jam lagi sebelum LKO. Jarak rumah dengan sekolah bisa ditempuh lima belas menit kalau bermobil.
Kuhentikan langkah di depan grand piano. Ayah menatapku bingung. Sebelum pergi, aku ingin bernyanyi untuk Ayah. Ketika kusodorkan selembar partitur, Ayah paham. Ia rampas partitur di tanganku, membacanya cepat-cepat, lalu mulai menekan tuts piano.
Kutahu kamu bosan
Kutahu kamu jenuh
Kutahu kamu tak tahan lagi
Ini semua salahku
Ini semua sebabku
Kutahu kamu tak tahan lagi
Jangan sedih, jangan sedih
Aku pasti setia
Aku takut kamu pergi
Kamu hilang, kamu sakit
Aku ingin kau di sini
Di sampingku selamanya
Jangan takut, jangan sedih
Aku pasti setia
Aku takut kamu pergi
Kamu hilang, kamu sakit
Aku ingin kau di sini
Di sampingku selamanya
Aku takut (Jangan takut) kamu pergi (Takkan pergi)
Kamu hilang, kamu sakit
Aku ingin (Aku juga) kau di sini (Bersamamu)
Di sampingku selamanya
Aku takut (Jangan takut) kamu pergi (Takkan pergi)
Kamu hilang, kamu sakit
Aku ingin (Aku juga) kau di sini (Bersamamu)