-Fragmen si kembar
Sore ini spesial untuk Calvin. Apakah karena ia dinyatakan sembuh oleh Dokter Tian? Bukan, Onkologis itu justru menyuruhnya lebih banyak istirahat. Apakah karena laporan penjualan di lima gerai supermarketnya naik dua ratus persen? Tidak, bisnis retail konvensional justru sedang resesi. Lantas, karena apa?
Satu-satunya yang membuat Calvin bahagia hanyalah Silvi. Hari ini, hari terakhir LKO sekaligus hari pelantikan pengurus OSIS. Para wali murid diundang. Tak lepas Calvin menatapi surat undangan berwarna putih dengan logo rosario cantik di kopnya.
Kebanggaan meletup di dada. Dua jam tiga puluh menit tiga puluh detik lagi, ia akan melihat putrinya dilantik sebagai pengurus organisasi paling bergengsi di seluruh sekolah. Orang tua mana yang tidak bangga?
Calvin menatap refleksi dirinya di cermin. Pria tampan berparas pucat balas memandangnya. Ia gerakkan tangan untuk merapikan lipatan jas. Obsesinya kali ini adalah tampil sempurna di acara spesial Silvi.
Selesai bercermin, Calvin meraih iPhonenya. Orang tua Silvi ada dua. Tak adil bila si workaholicitu ketinggalan informasi. Dicobanya request Skype. Gagal. FaceTime, sama saja. Nampaknya, Adica tak mau video call.
“Jangan video call. Telpon biasa aja.”
Nah, benar kan? Adica mengirimkan seuntai pesan. Tak buang tempo, Calvin menelepon saudara kembarnya.
“Ada apa?” tanya Adica pendek.
“Anak kita dilantik sebagai pengurus OSIS.” jawab Calvin, tak bisa menutupi nada bangga dalam suaranya.
“Ok.” Adica membalas datar.
Sejujurnya, Calvin sedikit kecewa dengan sikap Adica. Kenapa responnya datar begitu? Tidakkah dia ingin mengucap selamat pada Silvi?
“Kamu kok gitu? Ini momen penting buat Silvi. Kasih selamat dong, atau hal lain.” kata Calvin kecewa.
“Calvin, terus terang aja ya. Aku lebih suka Silvi fokus sekolah. Nggak usahlah dia jadi pengurus OSIS segala. Pengurus OSIS banyak dispen tau. Ntar nilainya terganggu. Masa calon pewaris perusahaan besar nilainya kayak bebek berenang?”
Mendengar itu, Calvin terenyak. Egois sekali saudara kembarnya. Hanya akrena Adica tidak suka berorganisasi semasa sekolah. Hanya karena ia sangat berbeda dari kakak kembarnya. Jauh di dalam hati, Calvin senang karena Silvi mengikuti jejaknya.
“Silvi selalu menginginkan kehadiranku, tapi dalam banyak hal dia mirip kamu.” sindir Adica.
“Pikiran seorang anak bukan milik orang tuanya, Adica. Hanya dia dan Tuhan yang memegang remote pengontrol pikiran. Kamu tak bisa memaksakan orang lain menjadi dirimu.” Calvin menimpali, bijak.
Adica mendengus. Dia sebal dikuliahi pelajaran hidup oleh Calvin. Calvin pun enggan berdebat. Semenit kemudian, telepon diputus.
Selama menyetir mobil ke sekolah, Calvin memikirkan sesuatu. Hadiah apa yang akan diberikannya untuk Silvi? Teraas kurang manis bila keberhasilan Silvi menjadi pengurus OSIS hanya diganjar ucapan selamat. Calvin ingin memberi kado terindah untuk belahan jiwanya.
Diingatnya benda-benda kesukaan Silvi. Boneka? Gadis itu punya lemari kaca berisi penuh boneka, dari yang ukurannya sekecil anak tikus sampai sebesar badannya sendiri. Koleksi boneka Silvi lengkap, mulai dari Teddy Bear, Kermit, sampai Barbie. Sepatu? Terakhir kali Silvi dibelikan sepatu, sebulan lalu oleh Adica. Silvi penggila sepatu branded. Something Borrowed, Velvet, Rubi, Melissa, dan Keds, semuanya ia punya. Tas dan gaun? Sama saja. Kamar Silvi sudah penuh dengan koleksi tiga benda itu.
Menghadiahi sepatu, tas, dan gaun sudah biasa. Calvin ingin memberi sesuatu yang lebih spesial. Sesuatu yang memorable, dapat dikenang Silvi sepanjang hidupnya. Sebuah ide melintas di kepalanya.
**
Aula berlangit-langit biru itu dipenuhi gemuruh tepuk tangan. Belasan wali murid bangga dan terharu. Para pengurus OSIS yang telah dilantik berdiri gagah dengan mengenakan blazer hitam dan lencana. Mulai sekarang, blazer itulah yang membedakan mereka dengan murid lainnya.
Silvi dipeluk hangat oleh Ayahnya. Binar bahagia terpancar di mata biru gadis itu. Akhirnya, setelah empat hari empat malam digembleng fisik dan mental, ia resmi menjadi pengurus OSIS. Jabatan keorganisasian yang telah lama diincarnya sejak masih SMP. Barulah saat SMA Silvi mendapatkannya.
Calvin dan Silvi menjadi pusat perhatian. Anak yang cantik, didampingi ayah yang rupawan. Semua mata tertuju pada mereka. Si kembar Rossa dan Yasmin berbisik-bisik mengagumi ketampanan Calvin.
Acara selesai. Calvin dan Silvi bergandengan tangan menuju mobil. Segala letih, pegal, dan lapar yang dirasakan gadis itu terbayar tunai.
“Selamat, Sayangku. Ayah bangga sekali sama kamu.” Calvin berkata dengan ketulusan yang amat nyata.
Bibir Silvi mengguratkan senyum. Ia bergelayut manja di lengan Ayahnya.
“Ayah, Papa tahu nggak?” tanya Silvi.
“Tahu kok. Papa kan sayang sama Silvi.”
Mobil Calvin meluncur mulus. Langit sore berselimut awan putih. Mentari menjatuhkan bayangannya di sepanjang jalan beraspal. Silvi heran karena Calvin tidak mengemudi ke arah rumah.
“Ayah, kita mau kemana?” Gadis berambut panjang itu tak dapat menahan keingintahuannya.
“Ayah mau ajak kamu ke suatu tempat. Kamu nggak terlalu capek, kan? Tempatnya bagus, kamu pasti suka.”
Demi melihat wajah berseri Ayahnya, Silvi tak tega merusak suasana. Ia kesampingkan rasa lelahnya. Dibiarkannya saja Calvin membawanya kemana pun ia suka.
Sepanjang perjalanan, mereka bertukar cerita. Silvi menceritakan tentang LKO dan Calvin menceritakan kesepiannya. Tanpa Adica dan Silvi, rumah sesunyi krematorium.
Krematorium? Silvi merinding. Kenapa Ayahnya menggunakan perumpamaan itu? Tak suka dirinya bila sang ayah menyinggung soal kematian.
Tak terasa, sudah satu jam mereka berkendara. Cahaya mentari perlahan meredup. Bilur-bilur keemasan masih terpeta di langit. Mentari sore melambai, mengucap perpisahan sebelum berganti tugas dengan bulan.
Bulan pucat mengintip di balik lipatan awan. Calvin waswas. Ia berdoa dalam hati agar malam ini tidak hujan. Kalau malam ini hujan, rusaklah rencananya.
Doa Calvin terkabul. Bintang-bintang berkerlipan menemani bulan. Tepat ketika langit berselimut biru gelap, Calvin dan Silvi tiba di tempat tujuan. Mobil terparkir di tanah lapang.
“Sayang, kamu tutup mata dulu ya.” ujar Calvin seraya menyelubungkan kain hitam ke mata Silvi.
“Tapi...kenapa harus tutup mata?” Silvi sedikit keberatan.
“Nanti Ayah nggak bisa kasih surprise sama kamu.”
Bibir Silvi terkatup rapat. Ia takut kegelapan. Calvin menenangkannya. Mereka pun turun dari mobil.
Calvin menuntun Silvi mendaki bukit. Jalanan terjal dan berbatu-batu. Beberapa tanjakan licin dibasuh sisa hujan kemarin. Silvi takut, tetapi ia percaya pada Ayahnya. Ayahnya bisa menuntunnya dengan baik.
Bukan keselamatan dirinya yang ada dalam prioritas. Kecemasan tentang kondisi Calvin lebih menyita pikiran Silvi. Bagaimana bila Calvin sesak nafas? Bagaimana bila dada Calvin sakit? Pendakian tidak baik untuknya.
Kekhawatiran Silvi keliru. Calvin baik-baik saja sesampai di atas bukit. Kedua tangannya melepas lembut penutup mata. Disuruhnya Silvi membuka mata.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Silvi terpesona. Sebuah bukit penuh bunga terhampar indah. Bintang-bintang menyala sangat terang dan jelas, berpadu dengan kerlip lampu kota di bawah sana. Sebuah pemandangan yang luar biasa indah.